Kamis, 25 November 2010

OPTIMALISASI PERAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
oleh
IGN Parikesit Widiatedja

1. Latar Belakang

Kemajuan suatu negara bertumpu pada kemampuannya dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan melaksanakan pembangunan yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Sekilas, Indonesia sejatinya merupakan salah satu negara terkaya di Asia apabila dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya bahkan termasuk yang berklaster miskin. Penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya yang bukan hanya terlihat dari sisi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Tak ayal, fakta menyakitkan ini menjadi cikal bakal terjadinya korupsi di Indonesia.

Bagi beberapa kalangan, korupsi di Indonesia dewasa ini sudah menjelma menjadi suatu patologi social yang sangat berbahaya dan mengancam segenap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat masif. Berdasarkan laporan pemberantasan korupsi oleh Kwik Kian Gie yang dimuat di harian Kompas 25 Oktober 2003 jumlahnya telah mencapai Rp 444 triliun. Dengan asumsi bahwa jumlah APBN kita yang mencapai 1000 triliun, maka jumlah uang yang dikorupsi mencapai 40 persen dari total APBN tersebut.

Realitas di atas didukung pula oleh hasil survei lembaga konsultan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang berbasis di Hong Kong. Dari laporannya, dinyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang paling korup di antara negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67). Sementara itu, Thailand, Malaysia, dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berikhtiar dalam mengatasi praktek-praktek korupsi yang semakin merajalela. Aksi keterpihakan sebagai refleksi politik hukum pemerintah dilaksanakan melalui sederet produk kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-undang Dasar Tahun 1945 sampai dengan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disamping itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsinya adalah mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan aktivitas pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan berhasil. Di samping pengawasan internal, terdapat pula model pengawasan dan pemeriksaan aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Selain instansi formil pemerintah di atas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama menyangkut kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi sekaligus melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA) dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).

Untuk menaikkan intensitas upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, pemerintah wajib menerapkan secara konsisten dan berkelanjutan prinsip-prinsip penyelenggaraan yang baik yang belakangan dikenal sebagai prinsip good governance. Jika dihubungkan dengan negara secara keseluruhan, prinsip good governance merupakan prinsip yang mengkonstruksikan keseimbangan hubungan antara masyarakat (society) dengan negara (state), serta negara dengan pribadi-pribadi (personals). Dengan demikian, setiap kebijakan public (public policy) mau tidak mau harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta dengan aturan main yang jelas. Pada alur ekspektasi berikutnya, penerapan good governance di Indonesia berpotensi menciptakan format politik demokratis dan melahirkan model alternatif pembangunan yang mampu mereduksi terjadinya korupsi di Indonesia.


2. Konstruksi Dasar Prinsip Good Governance
2.1 Konsepsi Good Governance

Good governance pertama kali dicetuskan oleh Bank Dunia yang mengasosiasikannya sebagai program pengelolaan sektor publik dalam rangka penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik dalam koridor persyaratan bantuan pembangunan. Ia merupakan mekanisme kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat. Secara harfiah good diartikan sebagai baik, dan governance sebagai kepemerintahan, sehingga kepemerintahan yang baik adalah proses interaksi sosial-ekonomi-politik antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan berlangsung secara efektif dan efisien.

Abdul Gani Abdullah lantas menyatakan bahwa good governance memiliki hubungan erat dengan manajemen pengelolaan kebijakan pembangunan. Apabila seorang pejabat publik akan mengambil keputusan dalam melaksanakan pemangunan, terlebih dahulu dia harus menerapkan prinsip- prinsip penyelenggaran pemerintahan yang baik sehingga hasil akhirnya secara menyeluruh adalah suatu perintah yang baik. Ciri good governance di sini adalah keputusan tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas, dan benar.

Dari perspektif hukum administrasi, prinsip good governance bertumpu pada dua landasan hukum tata negara dan hukum administrasi yaitu demokrasi dan negara hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh G.H Addink bahwa:
“….. more and more especially in the last decade of the passed century, the idea was growing that there were some universal principles which also should be more developed; promote and protected by collective international processes. Mostly the principles on democratitation; rule of law and human right are mentioned…”

2.2 Pengaturan Prinsip Good Governance di Indonesia

Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, asas-asas pemerintahan yang menjadi nilai–nilai etika pemerintahan, terwakili dengan pernyataan dalam Mukaddimah UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan: ”...untuk membentuk pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia dan perdamaian yang abadi ...” Sedangkan nilai-nilai filosofi yang melandasinya adalah ideologi negara, yaitu Pancasila.

Berdasarkan tugas pemerintahan negara dan filosofi negara itulah pemerintahan negara Indonesia menjalankan fungsinya. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 beserta ketentuan dalam amandemennya, menjadi kerangka pedoman kebijakan dan tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik tercermin dalam Ketetapan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Dalam Pasal 3 dan Penjelasannya ditetapkan mengenai asas-asas umum pemerintahan yang mencakup:
1. Asas Kepastian Hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan dan penyelenggaraan negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asas pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk mendukung pelaksanaan good governance, pemerintah juga menetapkan peraturan hukum lain seperti mengenai pemberantasan korupsi misalnya UU No. 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai keuangan negara misalnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, juga peraturan pelaksana lainnya seperti Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

3. Diskursus Pemberantasan Korupsi di Indonesia
3.1 Deskripsi Singkat Korupsi

Dari segi semantik korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptos dalam bahasa Yunani. Istilah ini kemudian berkembang dalam bahasa Inggris dan Prancis menjadi corruption, bahasa Belanda koruptie dan dalam bahasa Indonesia yaitu korupsi. Arti dari kata korupsi itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral kesucian. Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Dari sisi hukum, korupsi merupakan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan, atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.

3.2 Dampak Destruktif Korupsi di Indonesia

Korupsi merupakan suatu bentuk patologi sosial yang sangat berbahaya dan mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada era Orde Baru, korupsi masih dilakukan secara tersembunyi. Tetapi pada era reformasi, disamping yang dilakukan secara sembunyi muncul pula korupsi gaya baru dalam bentuk perampasan atau pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan sebagainya dengan di luar batas kewajaran secara lebih terbuka. Korupsi jenis ini hampir terjadi di seluruh pelosok tanah air. Pada gilirannya, ia mempunyai dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dampak langsung yang paling terasa adalah kerugian negara secara material yang sangat besar.
Disinyalir, Kekayaan negara yang dikorup tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan APBN tahun 2003 yang berjumlah Rp 370 triliun. Hal ini berarti, jika tidak terjadi korupsi terhadap kekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan melalui APBN dapat meningkat. Pada gilirannya, pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor dapat lebih ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan pembiayaan sektor yang bersifat strategis, seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian akan dapat mendongkrak peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada masa depan dan diharapkan dapat berimbas pula pada peningkatan produktivitas secara nasional.

Di samping kerugian material juga terjadi kerugian yang bersifat immaterial, yaitu citra dan martabat bangsa kita di dunia internasional. Predikat kita sebagai negara yang terkorup di kawasan Asia Tenggara merupakan citra yang sangat memalukan. Korupsi juga membawa dampak pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi. Uang pelicin, sogok/suap, pungutan dan sejenisnya akan membebani komponen biaya produksi.
Alatas lantas mengemukakan enam dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari korupsi, yaitu: (1) timbulnya berbagai bentuk ketidakadilan, (2) menimbulkan ketidakefisienan, (3) menyuburkan jenis kejahatan lain, (4) melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban, (5) mengurangi kemampuan negara dalam memberikan pelayanan publik, dan (6) menaikkan biaya pelayanan.
Di tingkat daerah, berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya terdapat lima titik rawan korupsi meliputi korupsi APBD, korupsi dalam pilkada, korupsi daerah pemekaran, korupsi dana bencana, dan korupsi “kiriman” dari pusat. Korupsi di daerah bisa terjadi karena lemahnya pengawasan, kuatnya pengaruh unsur muspida, dan tiada berdayanya media massa dan masyarakat sipil.

4. Optimalisasi Peran Prinsip Good Governance dalam Upaya Permberantasan Korupsi di Indonesia.
4.1 Optimalisasi Peran Preventif

Upaya mewujudkan good governance di Indonesia merupakan suatu prioritas dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih sejahtera, jauh dari korupi, kolusi, dan nepotisme. Seiring dengan itu, perjuangan dalam menciptakan pemerintahn yang bersih tidak boleh berhenti dan harus tetap dilanjutkan dan diupayakan semaksimal mungkin untuk mengembalikan citra bangsa yang berkomitmen, bertanggung jawab, dan memiliki harga diri.

Di dalam bukunya Robert Klitgoard disebutkan bahwa jika sistem pemberantasan korupsi belum terbangun, begitu juga sistem politik dan sistem hukumnya, maka pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat atas atau pemimpinnya. Hal tersebut berhasil diterapkan di Singapura, Hongkong dan Thailand. Kenyataan inilah yang nampaknya belum kita temukan di Indonesia.

Salah satu program good governance adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi menurut Klitgoard ditimbulkan karena ada monopoli, kekuasaan, dan diskresi yang begitu besar. Selama masih ada sentralisasi kekuasaan, dan aturan-aturan yang tidak jelas serta tidak ada pertanggungjawab publik maka kondisi ini akan menimbulkan peluang korupsi. Di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa peluang korupsi begitu besar. Kenyataan ini terlihat dengan alur birokrasi yang demikian panjang, gaji pegawai negeri yang relatif kecil, dan konstruksi hampir semua partai politik yang berlomba-lomba mencari uang demi membesarkan partainya.
Patut disadari bahwa masalah pemberantasan korupsi tidak hanya cukup dilaksanakan dengan pendekatan hukum semata-mata, mengingat penyakit sosial ini sudah menyebar luas ke seluruh tatanan sosial dan pemerintahan hampir di semua negara. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan seharusnya bersifat preventif sekaligus represif.
Optimalisasi peran preventif dari prinsip good governance diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangakan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan diantaranya dengan membangun kode etik di sektor publik, membangun kode etik di sektor parpol, organisasi profesi dan asosiasi bisnis, meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan, penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM), dan peningkatan kesejahteraan pegawai yang kesemuanya telah mengadopsi prinsip-prinsip good governance. Di samping itu, pengharusan pembuatan perencanaan strategik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah, peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, menjadi strategi selanjutnya.

Dengan semakin diterapkannya prinsip good governance utamanya yang menyangkut prinsip transparansi dan partisipasi aktif masyarakat, maka peran preventif ini akan mengarah pada upaya untuk memberdayakan seluruh komponen dalam masyarakat, baik tua maupun muda, serta melalui lembaga-lembaga peradilan. Pada fase selanjutnya, semua lapisan masyarakat memiliki semangat, idealism, sikap, dan perilaku untuk membenci korupsi sehingga diharapkan dapat menciptakan budaya anti korupsi di kalangan masyarakat luas.

Dalam konteks hubungan pemerintahan pusat dan daerah sesuai dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka optimalisasi peran good governance sebagai salah satu pendekatan preventif akan mencegah praktek korupsi di daerah utamanya terkait pelimpahan wewenang sebagian tugas pusat ke daerah.. Langkah ini dapat direalisasikan dengan mengembangkan sistem check and balance sebagai refleksi prinsip good governance, baik secara internal kelembangaan maupun secara eksternal melalui pemberdayaan masyarakat luas untuk merasa memiliki dan berkepentingan atas maju mundurnya daerah masing-masing. Oleh karena itu untuk adanya keharmonisan antara pemerintahan pusat dan daerah, perlu diatur dalam satu perangkat perundang-undangan yang memadai baik tingkat tingkat pusat maupun tingkat daerah yang mendorong terjadinya kemajuan pesat dalam konteks pengembangan potensi dan kewenangan daerah dalam koridor prinsip-prinsip good governance.

4.2 Optimalisasi Peran Represif

Optimalisasi peran represif dari good governance akan terlihat ketika kasus korupsi telah memasuki proses penyidikan hingga pada fase penghukuman atau penjatuhan vonis terhadap kasus-kasus korupsi. Peran represif ini dilakukan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat, dengan biaya murah, sehingga kepada para pelakungan dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Strategi represif ini dapat dilakukan dengan transparansi proses penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar, penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas berdasarkan prinsip keadilan dan kewajaran, pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terpadu, publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya, dan publikasi dasar argumentasi para hakim dalam menjatuhkan vonisnya.

5. Penutup

Sejarah membuktikan bahwa korupsi merupakan masalah fundamental bangsa yang telah ada sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Berbagai strategi dan upaya telah dilakukan oleh ketiga rezim tersebut untuk memberantas korupsi di Indonesia. Namun demikian, angka korupsi masih demikian tinggi di Indonesia sehingga membutuhkan suatu usaha yang luar biasa (extraordinary effort) untuk mengatasi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tersebut.

Prinsip good governance sejatinya merupakan prinsip yang mengkonstruksikan keseimbangan antara masyarakat dengan negara serta negara dengan pribadi-pribadi. Artinya, setiap kebijakan public (public policy) harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta dengan aturan main yang jelas berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Optimalisasi peran prinsip good governance dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dianalisis berdasarkan perannya yang bersifat preventif dan represif yang berpotensi mampu menekan tingginya angka korupsi di Indonesia

Daftar Pusataka
Buku-buku
Andi Hamzah. 1991.Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia.
Amundsen, Inge. 2000. Corruption: Definitions and Concepts. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights.
Alatas, S. H., 1987. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta; LP3ES.
Emmy Hafild.2004. Transparancy International Annual Report, Jakarta: Transparancy International.
Fathullah. 2000.Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat Konsultan Hukum Otonomi Daerah. Jakarta: CIDES.
Hadjon, Philipus M.2000. Pokok-pokok Pikiran tentang Jenjang Tingkatan Aturan Hukum.Surabaya: FH Airlangga
Iskatrinah. 2004.Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang Departemen Pertahanan.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Identification of Gap between Laws/ Regulations of the Republic of Indonesia and the United Nations Convention Against Corruption. Jakarta: KPK.
Kartono, K. 2002. Patologi Sosial. Jilid I. Divisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta; PT Raja Gravindo Persada.
Poerwadaminta WJS. 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Robert Kligaard.2005 Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jurnal-jurnal
Abdul Gani Abdullah. Legal Drafting & Good Governance. Jurnal Keadilan, Vol2. No. 5 Tahun 2002.
Amir Syamsuddin. Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 5 Tahun 2005.
IGN Wairocana. Good Governance dalam Aturan Hukum atau Kebijaksanaan Publik. Jurnal Kertha Patrika Vol 31 No.2, Juli 2006

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...