Senin, 30 November 2009

Kapita selekta hukum perdata internasional

PERSOALAN PENDAHULUAN
DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Oleh
IGN Parikesit Widiatedja

a. Istilah dan Pengertian

Istilah persoalan pendahuluan diintrodusir dari istilah question preamble dan incidente ou prejudicielle (Prancis), Vvoorvraag (Belanda), vorfrage, inzident frage (jerman) dan incidental question dan preliminary question (Inggris).

Persoalan pendahuluan merupakan suatu problema hukum HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan dan/atau ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh hakim.

Persoalan pendahuluan lahir apabila putusan suatu persoalan hukum bergantung pada ketentuan sah atau tidaknya suatu hubungan atau persoalan hukum lain.

Contoh penerapan persoalan pendahuluan dapat dilihat dari contoh berikut ini:

1. Dalam perkara yang menyangkut perkawinan (Persoalan Pokok), bila salah seorang atau kedua mempelai telah pernah melakukuan perkawinan sebelumnya, maka perlu diselidiki dulu apakah perceraian dari pihak yang pernah melakukan perkawinan sebelumnya itu sah atau tidak (Pesoalan pendahuluan).
2. Dalam perkara yang menyangkut pewarisan (persoalan pokok), maka sebelumnya harus ditentukan dulu apakah perkawinan dari si pewaris sah adanya (persoalan pendahuluan).

Terkadang, persoalan pendahuluan kerap terjadi lebih dari satu kali dalam serentetan peristiwa tertentu. Misalnya dalam masalah warisan, persoalan pendahuluannya meliputi tiga tahap:

1. Tahap pertama: menentukan terlebih dahulu sah atau tidaknya kedudukan ahli waris atau kedudukan anak.
2. Tahap kedua : untuk menentukan sah atau tidaknya kedudukan ahli waris / kedudukan anak, maka terlebih dahulu harus ditentukan apakah perkawinan kedua orang tua tersebut sah adanya.
3. Tahap ketiga : Bila salah seorang dari kedua orang tua anak itu telah pernah kawin sebelumnya,maka perlu juga ditentukan apakah perceraian dari perkawinan itu sah adanya.

Demikian proses penelusuran fakta-fakta tersebut berlangsung, hingga hakim memandang tidak ditemukan lagi persoalan pendahuluan yang harus ditentukan sebelumnya.



b. Persyaratan persoalan pendahuluan

Untuk memutuskan adanya suatu persoalan pendahuluan dalam suatu perkara harus memenuhi tiga persyaratan yakni;

1. Masalah utama berdasarkan kaidah HPI lex fori seharusnya diatur berdasarkan hukum asing;
2. Dalam perkara harus ada masalah pendahuluan atau maslah subsider yang menyangkut suatu unsur asing, yang sebenarnya dapat timbul secara terpisah dan dapat diatur oleh kaidah HPI lain secara independen.
3. Kaidah HPI yang diperuntukkan bagi masalah pendahuluan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dicapai, seandainya hukum yang mengatur masalah utama yang digunakan.

c. Alternatif cara penyelesaian persoalan pendahuluan

Dalam teori HPI, berkembang tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan.

1. Absorption

Setelah hakim memutuskan untuk menggunakan kaidah hukumnya ( lex causae), maka terhadap persoalan pendahuluan ditundukkan berdasarkan kaidah hukum (lex causae) yang digunakan tadi. Cara ini lazim dikenal sebagai penyelesaian model lex causae.
Cara penyelesaian persoalan pendahuluan dengan absorption ini lebih banyak digunakan oleh pengadilan-pengadilan di Inggris.

2. Repartition

Dengan mengabaikan sistem hukum apa yang merupakan lex causae untuk menyelesaikan masalah utama, hakim akan menggunakan kaidah HPI lex fori untuk menentukan keabsahan persoalan pendahuluan. Cara semacam ini dikenal sebagai cara penyelesaian berdasarkan lex fori atau repartition. Hakim tidak memperhatikan sistem hukum yang menjadi lex causae untuk menyelesaikan masalah utamanya.

Cara penyelesaian persoalan pendahuluan dengan repartition banyak digunakan oleh pengadilan-pengadilan di Belanda.

3. Pendekatan kasuistik

Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex causae untuk persoalan pendahuluan harus dilakukan berdasarkan pendekatan kasuistik, dengan memperhatikan sifat dan hakikan perkara atau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara.

Untuk persoalan hukum HPI menyangkut pewarisan benda-benda bergerak, sebaiknya digunakan cara absorption, sedangkan untuk perbuatan melawan hukum atau kontrak sebaiknya digunakan cara repartition.

KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG TELAH DIPEROLEH

oleh
IGN Parikesit Widiatedja

a. Istilah dan Pengertian

Pranata ketertiban umum merupakan padanan dari istilah oder publicio (Spanyol), ordre public (Perancis), openbare orde (Belanda), vorbehalt klausel (Jerman), dan public policy (Inggris).

Pemikiran tentang ketertiban umum berpangkal pada asumsi dasar bahwa sebuah pengadilan adalah bagian dari struktur kenegaraan yang berdaulat dan karena itu pengadilan berwenang untuk memberlakukan hukumnya sendiri dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

Namun apakah perkara-perkara yang mengandung unsur asing, sejalan dengan kaidah penunjuk di dalam sistem HPI-nya, pengadilan harus selalu memberlakukan hukum asing yang seharusnya menjadi lex causae di dalam wilayah yurisdiksinya? Jawabannya tidak selalu. Pengadilan atau para pihak dalam perkara mungkin akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk mengesampingkan pemberlakuan hukum asing di wilayahnya.

Prinsipnya, jika pemberlakuan hukum asing dapat menimbulkan pelanggaran atau bertentangan dengan sendi-sendi pokok hukum setempat (lex fori), maka hukum asing tersebut dapat dikesampingkan atas dasar demi kepentingan umum atau ketertiban umum.

b. ruang lingkup dan penggunaan ketertiban umum.

Penolakan atau pengeyampingan suatu hukum asing yang seharusnya berlaku didasarkan pada tiga alasan:

1. merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan yang mendasar sifatnya;
2. bertentangan dengan konsepsi yang berlaku mengenai kesusilaan yang baik;
3. bertentangan dengan suatu tradisi yang sudah mengakar.

Dalam kondisi-kondisi itulah, maka ketertiban umum dapat menjadi dasar pembenar bagi hakim untuk tidak menerapkan kaidah hukum yang seharusnya berlaku dan menunjuk ke arah berlakunya suatu sistem hukum asing.

Argumentasi ketertiban umum ini harus digunakan seminimal mungkin dan jangan mengarah pada egoisme dan chauvinisme hukum yang dapat menghambat perkembangan HPI itu sendiri. Sudargo Gautama mengibaratkan lembaga ketertiban umum tak ubahnya seperti rem darurat pada kereta apai yang hanya digunakan apabila bener-benar diperlukan saja.

Penggunaan ketertiban umum dapat terlihat dari contoh berikut ini:
Seorang warganegara Indonesia, beragama islam dan sudah menikah di Indonesia, ketika ia bertempat tinggal di Jerman hendak menikah lagi dengan seorang perempuan warganegara Jerman. Perkawinan yang kedua ini tidak dapat dilangsungkan di Jerman, karena bertentangan dengan paham ketertiban umum dalam sistem hukum Jerman. Monogami dianggap sebagai suatu sendi asasi sistem hukum perkawinan Jerman.

Di dalam sistem HPI Inggris, ketertiban umum pernah digunakan oleh hakim dalam perkara-perkara hukum menyangkut:

a. hubungan-hubungan internasional
b. hubungan perdagangan dengan musuh
c. kontrak-kontrak yang mempengaruhi kebebasan kompetisi dalam perdagangan
d. penyelundupan hukum

c. Pengaturan ketertiban umum di Indonesia

Berdasarkan pasal 66 UU No. 30 tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter suatu negara yang terikat baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, dapat dilaksanakan di Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. hak-hak yang diperoleh

Sunarjati Hartono menyatakan hak-hak yang diperoleh berkaitan dengan apakah hak-hak dan kewajiban yang dimiliki sesorang berdasarkan kaidah-kaidah hukum asing tertentu, perlu diakui atau tidak oleh lex fori. Jadi, hak-hak yang diperoleh seseorang berdasarkan hukum asing tertentu selalu berkaitan dengan status hukum yang diterbitkan oleh sistem hukum asing itu.

Sudargo Gautama mengatakan bahwa masalah hak-hak yang telah diperoleh dalam HPI dikemukakan untuk menegaskan bahwa perubahan terhadap fakta-fakta tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah hukum yang semula digunakan. Misalkan: seseorang yang telah menjadi dewasa menurut ketentuan hukum negara X kemudian menjadi warganegara Y yang mengatur batas kewarganegaraan yang berbeda. Apakah perubahan kewarganegaraan ini akan mengakibatkan yang bersangkutan menjadi tidak dewasa lagi? Maka, diputuskan bahwa sekali seseorang itu dinyatakan dewasa maka ia akan tetap dianggap dewasa sekalipun telah berpindah kewarganegaraan. Disinilah diterapkan prinsip hak-hak yang telah diperoleh.


Aspek Hukum Perdata Internasional
Dalam Hukum Keluarga

Oleh
IGN Parikesit Widiatedja


a. Pengantar

Berbicara tentang hukum keluarga, maka pada dasarnya tak ubahnya berbicara mengenai perkawinan. Hal ini dalam pengertian luas mencakup persyaratan materiil/formil perkawinan, keabsahan perkawinan, akibat-akibat perkawinan, harta perkawinan dan berakhirnya perkawinan.

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan perkawinan yang mengandung unsur asing terdapat dalam pasal 57 undang-undang perkawinan. Disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

b. Keabsahan perkawinan

Persyaratan atau validitas perkawinan dapat dibedakan menjadi dua, yakni persyaratan materiil dan persyaratan formil. Persyaratan materiil antara lain berkaitan dengan persyaratan umur untuk menikah. Kemudian persyaratan formal antara lain berkaitan dengan pendaftaran, kesaksian, tempat, dan waktu perkawinan.

Berkaitan dengan syarat-syarat formal umumnya dalam berbagai sistem hukum didasarkan pada asas locus regit actum, yaitu berdasar tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis). Dalam sistem hukum Inggris dan umumnya common law dianut asas bahwa asas keabsahan (formal) suatu perkawinan didasarkan pada hukum dimana perkawinan dilaksanakan.

Sementara itu terkait keabsahan perkawinan secara substantial menggunakan beberapa asas utama meliputi:

a. asas lex loci celebrationis yang bermakna bahwa keabsahan materiil perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat dimana perkawinan dilangsungkan.
b. Asas yang menyatakan bahwa keabsahan materiil suatu perkawinan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan berlangsung.
c. Asas yang menyatakan bahwa keabsahan materiil perkawinan berdasarkan pada sistem hukum dari tempat masing-masing pihak berdomisili sebelum perkawinan dilangsungkan.
d. Asas yang menyatakan bahwa keabsahan materiil perkawinan harus berdasarkan kepada sistem hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan, tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan.

c. akibat-akibat perkawinan

Mengenai akibat hukum perkawinan, seperti hak dan kewajiban suami istri, hubungan orang tua dan anak, kekuasaan orang tua dan harta kekayaan perkawinan, dalam HPI berkembang beberapa asas yang menyatakan akibat perkawinan tunduk pada:

1. sistem hukum tempat perkawinan dilangsungkan (lex loci celebrationis)
2. sistem hukum dari suami-istri bersama-sama menjadi warga negara setelah perkawinan (joint nationality)
3. sistem hukum dari tempat suami-istri berkediaman tetap bersama-sama setelah perkawinan (joint residence) atau tempat suami berdomisili tetap setelah perkawinan.

d. Perceraian

Perceraian adalah terputusnya hubungan perkawinan antara suami istri secara hukum pada saat keduanya masih hidup. Mengenai perceraian dengan segala akibat hukumnya, di dalam HPI berkembang beberapa asas yang menyatakan bahwa hal tersebut harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari tempat:

1. lex loci celebrationis
2. joint nationality
3. joint residence
4. tempat diajukannya perceraian (lex fori)

e. Pewarisan

Pada dasarnya pewarisan adalah pemindahan segala hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya. Persoalan pewarisan akan menjadi masalah HPI bilamana di dalamnya mengandung sejumlah unsur asing, yang pada akhirnya memunculkan permasalahan tentang hukum mana yang harus dipergunakan untuk mengatur pewarisan tsb.

Fakta-fakta dalam perkara pewarisan yang potensial dapat mempertautkan perkara dengan suatu sistem hukum lokal atau asing adalah:

1. status dan kedudukan benda (harta peninggalan);
2. penentuan kapasitas hukum/kemampuan hukum pewaris;
3. penentuan validitas substantial/ formil dari testamen.

Di dalam HPI berkembang beberapa asas untuk menentukan hukum yang berlaku dalam persoalan pewarisan, diantaranya adalah:

1. Umumnya diterima asas bahwa dalam hal benda menjadi objek pewarisan adalah benda tetap, pewarisan diatur berdasarkan hukum tempat terletaknya benda tetap tsb. (lex rei sitae);
2. Bila benda tersebut benda bergerak, proses pewarisan diatur berdasarkan kaidah-kaidah hukum waris dari tempat si pewaris menjadi warga negara (lex patriae).

Menyangkut kecakapan hukum dari si pewaris, terdapat beberapa asas yang dapat memecahkan masalah dengan menunjuk kearah:

1. hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga negara pada saat testamen dibuat;
2. hukum dari tempat pewaris berdomisili atau warga negara pada saat ia meninggal dunia.





































Aspek Hukum Perdata Internasional
Dalam Tenaga Kerja Indonesia

Oleh
IGN Parikesit Widiatedja

a. Latar belakang

Sejalan dengan pengertian Hukum Perdata Internasional yang merupakan keseluruhan peraturan dan keputusan-keputusan yang menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan kuasa tempat, (pribadi) dan soal-soal.Dengan penekanan adalah perbedaan dalam lingkungan kuasa tempat dan soal-soal serta pembedaan dalam sisitem satu negara dengan lain negara, artinya adanya unsur luar negerinya ( foreign element, unsur asing).

Sejalan dengan perkembangan dunia kerja yang akhir-akhir ini telah melintasi batas negara, terdapat beberapa hal yang menjadi pokok pengkajian utamanya menyangkut tenaga kerja Indonesia yang tentunya akan melakukan suatu perbuatan atau peristiwa-peristiwa hukum di suatu negara dimana ia bekerja.

Status personal dan system Kontraktual merupakan dua aspek yang akan menimbulkan suatu akibat hukum bagi tenaga kerja Indonesia dalam melakukan kegiatan atau aktivitas di negara dimana mereka bekerja.

b.Status Personal

Dalam menentukan status personal seseorang , terdapat dua prinsip yang dianut oleh negara-negara yaitu negara dengan prinsip nasionalitas dan prinsip domisili. Prinsip Nasionalitas menentukan bahwa status personil seseorang (baik warganegara maupun asing ) yang ditentukan oleh hukum nasional mereka, menurut system yang dianut dalam negara-negara eropa kontinental, segi personalistis yang dikedepankan dimana menurut teori ini, hukum-hukum yang bersangkutan dengan status seseorang adalah erat sekali hubungannya dengan orang-orang tersebut.Oleh karena adanya ikatan antara orang dengan hukumnya itu, maka hukum asal orang tersebut dikaikan kepadanya seerat-eratnya dan hukum asal atau hukum nasionalnya ini tetap mengikutinya kemanapun ia pergi. Hukum personil dari seseorang adalah hukum nasionalnya, hukum yang ditentukan oleh kewarganegaraannya. Setiap warga negara ini tetap takluk di bawah hukum nasional daripada negaranya kemanapun ia pergi.

Dalam prinsip status personil yang ditentukan oleh domisili, menurut system ini hal yang dikedepankan adalah segi teritorialitas daripada hukum sehingga semua hubungan –hubungan daripada orang-orang yang berkenaan dengan soal-soal tentang perseorangan, kekeluargaan, warisan ditentukan oleh domisilinya. Lingkungan kuasa territorial daripada hukum sesuatu negara yang dikedepankan. Dengan demikian semua orang yang berada di dalam wilayah suatu negara dianggap takluk di bawah hukum negara itu.

Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 16 A.B yang menyatakan : “ Ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai status dan wewenang dari orang-orang tetap mengikat untuk kaula negara Belanda ( kini WNI ), jikalau mereka berada di luar negeri. Akan tetapi apabila mereka kini menetap di negeri Belanda atau salah satu jajahan Belanda lainnya, selama mereka memiliki tempat tinggal mereka di situ, akan tunduk mengenai bagian dari pada hukum Perdata tersebut, kepada perundang-undangan yang berlaku setempat itu “.

Berdasarkan ketentuan tersebut , prinsip nasionalitas tampaknya lebih dikedepankan dalam menangani persoalan tersebut. Jika dikaitkan dengan status personal para TKI maka para TKI tersebut tetap tunduk terhadap ketentuan hukum Indonesia kemanapun mereka bekerja. Para TKI akan tunduk pada ketentuan Hukum yang berlaku di negara ia bekerja apabila ia telah memiliki tempat tinggal secara permanen dan tetap dan melakukan perbuatan hukum yang mengakibatkan mereka kehilangan kewarganegaraannya seperti Perkawinan. Apabila ia melakukan suatu tindak pidana di negara tersebut maka berdasarkan tempat tindak pidana dilakukan maka ia tunduk pada aturan negara tersebut.

c. Hal Kontraktual

Dalam menjalankan pekerjaannya di suatu negara, para TKI tentunya tidak lepas dari hal-hal yang bersifat kontraktual seperti adanya kontrak kerja atau perjanjian jual-beli. Untuk mengatasi hal tersebut, terdapat tiga prinsip untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu Partijautonomie, Lex loci Contractus dan Lex loci solutionis.

Partijautonomie
Hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian ditentukan pertama-tama oleh maksud dari para pihak, apa yang dikehendaki para pihak, artinya para pihaklah yang menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki. Jadi di bidang hukum perjanjian para pihak dapat menentukan sendiri hukum mana yang berlaku bagi perjanjian mereka. Dalam hal ini apabila Tenaga Kerja Indonesia melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum seperti Kontrak atau perjanjian maka TKI ataupun pihak lawan dapat bersepakat untuk menentukan hukum yang berlaku menyangkut perbuatan hukum mereka apakah menurut hukum Indonesia atau hukum negara dimana TKI tersebut mengadakan perbuatan hukum.

Lex loci Contractus
Tempat dimana perbuatan hukum dilangsungkan atau perjanjian dibuat merupakan factor yang menentukan akan hukum yang harus diberlakukan. Dalam hal TKI mengadakan suatu perbuatan hukum maka tempat dilangsungkan perjanjian tersebut menentukan hukum yang berlaku sebagai contoh : apabila TKI yang ditempatkan di malaysia mengadakan perjanjian Kontrak kerja dengan majikannya yang warga negara Malaysia maka hukum malysialah yang berlaku dalam perjanjian tersebut.

Kelemahan Lex Loci Contractus adalah bahwa seringkali terjadi kontrak-kontrak tidak lagi melalui suatu pertemuan pribadi di bursa-bursa atau di pasaran-pasaran karena dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kontrak atau perjanjian dapat berlangsung dengan surat-menyurat, telepon bahkan melalui internet sehingga sukar untuk menentukan hukum dari tempat ditutupnya kontrak.

Lex Loci Solutionis
Berkenaan dengan pertalian sekunder dari Lex loci Contractus, kita melihat bahwa orang memakai pula tempat di mana harus dilaksanakan sesuatu kontrak sebagai hukum yang harus diberlakukan sebagai contoh : apabila TKI mengadakan kontrak pemborongan kerja tentang hotel di Malaysia dengan pihak kontraktor dari Jepang, maka hukum Malaysia yang akan dipakai jika para pihak tidak menentukan lain dalam kontrak itu karena bangunan hotel bersangkutan telah berlangsung di Malaysia.

Dipandang Lex Loci Solutionis hanya dapa dipertanggungjawabkan jika tempat pelaksanaan ini memang essensiel untuk hubungan hukum bersangkutan dan bahwa memang dapat dilakukannya pada tempat bersangkutan saja.

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...