Pendahuluan
1. Pengertian Hukum InternasionalPertama-tama harus ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah “Hukum Internasional” adalah hukum internasional publik, yaitu keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan internasional, atau persoalan yang melintasi batas-batas nasional negara-negara, yang bukan bersifat perdata. Perbedaannya dengan hukum perdata internasional adalah bahwa dalam hukum perdata internasional hubungan hukum yang diatur ialah hubungan perdata antara subjek-subjek atau pelaku-pelaku yang masing-masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berbeda-beda. Jadi, pada dasarnya, hukum perdata internasional adalah bagian dari hukum nasional.
Hubungan yang melintasi batas-batas nasional negara-negara (hubungan internasional) tersebut dapat terjadi baik hubungan yang diadakan negara dengan negara maupun negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang bukan negara. Dengan demikian, secara lebih rinci, hukum internasional dapat diberi pengertian sebagai keseluruhan kaidan dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang bukan bersifat perdata yang melintasi batas-batas nasional negara-negara yang diadakan oleh:
a. negara dengan negara; maupun
b. negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang bukan negara.
Dalam kepustakaan, hukum internasional kerap juga diistilahkan sebagai “hukum bangsa-bangsa”, “hukum antarbangsa”, atau “hukum antarnegara”. Namun, dalam istilah-istilah yang disebut belakangan itu terkandung kelemahan, yaitu:
• Istilah “hukum bangsa-bangsa” (law of nations, atau droit de gens, atau volkerrecht). Istilah ini pada mulanya berasal dari istilah dalam Bahasa Romawi, ius gentium. Bidang hukum ini (ius gentium), menurut sejarahnya, bukan hanya mengatur hubungan antar bangsa-bangsa tetapi juga mengatur hubungan antara orang Romawi dan bukan orang bukan Romawi serta hubungan antar sesama orang yang bukan Romawi. Dengan kata lain, menurut sejarahnya, pada istilah “hukum bangsa-bangsa” (dalam arti ius gentium) hubungan yang diatur di dalamnya bukan hanya hubungan-hubungan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan hukum publik (kerajaan, republik) tetapi juga hubungan-hubungan antarpribadi (hubungan perdata). Baru belakangan dibuat pembedaan antara ius gentium (yaitu hubungan hukum yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan hukum publik) dan ius inter gentes (yaitu hubungan hukum yang dilakukan antarpribadi atau antarindividu);
• Istilah “hukum antarnegara” (interstates law). Kelemahan istilah ini adalah bahwa dengan istilah itu seakan-akan subjek dari bidang hukum ini (hukum internasional) hanyalah negara-negara. Meskipun benar bahwa negara merupakan pelaku utama dalam hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional namun dalam perkembangannya hingga saat ini negara bukanlah satu-satunya subjek hukum internasional (catatan: akan dibahas lebih jauh pada pembahasan tentang subjek-subjek hukum internasional);
• Istilah “hukum antarbangsa” (law among nations). Saat ini hampir seluruh negara yang ada di dunia merupakan negara-bangsa (nation-state), yaitu negara-negara yang paham kebangsaannya tidak didasarkan atas dasar bangsa dalam arti ras atau kesamaan darah melainkan atas dasar wilayah atau teritori. Artinya, orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai satu bangsa bukanlah karena kesamaan ras atau kesamaan hubungan darah melainkan lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka hidup dalam suatu wilayah atau teritori tertentu. Atas dasar itulah kemudian mereka membentuk negara. Dengan demikian, kelemahan yang ada pada istilah “hukum antarbangsa” di atas sekaligus pula menjadi kelemahan pada istilah “hukum antarnegara”.
2. Perwujudan Khusus Hukum Internasional
Sampai dengan saat ini kita menjumpai di samping ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku umum (general) atau universal juga terdapat ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku untuk suatu kawasan (region) tertentu. Sehingga, dalam kepustakaan kerap pula disebut adanya global international law atau general international law, yang merujuk pada hukum internasional yang berlaku umum, dan istilah regional international law, yang merujuk pada hukum internasional yang hanya berlaku di kawasan tertentu.
Salah satu contoh dari hukum internasional regional (regional international law) itu adalah apa yang dinamakan Hukum Internasional Amerika Latin (Latin American International Law), yakni hukum internasional yang berlaku di kawasan Amerika Latin. Bentuk perwujudan hukum internasional ini merupakan hasil pertumbuhan atau perkembangan hukum kebiasaan yang berlaku di kawasan itu (Amerika Latin) yang didorong oleh keadaan-keadaan khusus tertentu yang ada di kawasan tersebut. Munculnya bentuk perwujudan hukum internasional regional ini ternyata memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan hukum internasional yang berlaku umum (general international law). Misalnya, konsep landas kontinen (continental shelf) yang mula-mula merupakan hukum internasional yang berlaku di kawasan Amerika Latin, kini (melalui Konvensi Hukum Laut PBB 1982) telah diterima sebagai bagian dari hukum internasional yang berlaku umum. Demikian pula halnya dengan konsep konservasi sumber daya hayati laut (conservation of the living resources of the sea).
Ada pula bentuk khusus lain dari hukum internasional yang juga hanya berlaku bagi sekelompok negara tertentu namun bukan berkembang melalui hukum kebiasaan melainkan melalui perjanjian internasional. Salah satu contoh yang paling menonjol untuk hukum internasional khusus ini adalah perkembangan yang terjadi di kawasan Eropa yang dimulai dengan ditandatanganinya Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights) hingga kemudian menjadi Uni Eropa pada saat ini (akan dibahas lebih lanjut dalam bab tersendiri).
3. Hukum Internasional dan Hukum Dunia
Ada satu istilah lain yang – jika tidak dijelaskan – dapat mengacaukan pengertian hukum internasional, yaitu istilah “hukum dunia” (world law). Meskipun sepintas tampak tidak ada perbedaannya dengan istilah “hukum internasional”, kedua istilah itu berpijak dari konstruksi pemikiran yang sangat berlainan.
Hukum internasional adalah suatu tertib hukum koordinatif (coordinative legal order) yang berangkat dari dasar pemikiran tentang adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas negara-negara yang merdeka dan berdaulat dan masing-masing berdiri sendiri. Tidak ada suatu pemerintahan dunia (world government) ataupun suatu badan yang bersifat supra-negara atau suatu badan yang berdiri di atas negara-negara. Anggota masyarakat internasional – dalam hal ini, negara-negara yang merdeka dan berdaulat tersebut – tunduk atau mengikatkan dirinya kepada hukum internasional bukan karena suatu badan supra-negara yang memiliki kekuasaan untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional itu. Negara-negara yang merdeka dan berdaulat tadi tunduk kepada hukum internasional karena mereka secara sukarela menerimanya sebagai seperangkat kaidah yang mengatur hubungan di antara mereka.
Sedangkan pengertian “hukum dunia” berangkat dari konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda. Hukum dunia adalah suatu tertib hukum subordinatif (subordinative legal order). Maksudnya, negara-negara yang ada di dunia ini dibayangkan sebagai semacam anggota suatu federasi yang berada di bawah suatu pemerintahan dunia (world government). Pemerintahan dunia inilah yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum, yaitu hukum dunia, yang dapat dipaksakan berlakunya kepada negara-negara.
Meskipun secara teoritis kedua konsep itu sama-sama mungkin, faktanya hingga saat ini menunjukkan bahwa konsepsi hukum dunia itu masih jauh dari kenyataan. Sebab, sampai dengan saat ini, masyarakat internasional masih tetap merupakan masyarakat yang terikat oleh tertib hukum koordinatif, yaitu hukum internasional.
Masyarakat Dan Hukum Internasional
1. Masyarakat Internasional Sebagai Landasan Sosiologis Hukum Internasional
Landasan sosiologis hukum adalah masyarakat. Artinya, hukum itu ada dan berlaku jika ada masyarakat. Demikian pula halnya hukum internasional. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada dan berlakunya hukum internasional maka terlebih dahulu harus dibuktikan adanya masyarakat internasional. Dengan kata lain, masyarakat internasional adalah landasan sosiologis bagi berlakunya hukum internasional.
Untuk dapat dikatakan ada masyarakat internasional, ada sejumlah syarat atau unsur tertentu yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut mencakup baik syarat materiil maupun non-materiil.
Syarat materiil dari adanya hukum internasional adalah berupa fakta-fakta eksitensi fisik yaitu:
a. Adanya negara-negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada saat ini terdapat ratusan negara merdeka dan berdaulat. Dengan demikian, syarat adanya negara-negara merdeka dan berdaulat sudah menjadi fakta yang tidak mungkin dibantah.
b. Adanya hubungan yang tetap dan berkelanjutan antar negara-negara yang merdeka dan berdaulat tersebut.
Syarat ini pun sudah merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Dalam kehidupan dunia saat ini, tak ada satu pun negara yang mengisolasi dirinya dari pergaulan internasional. Sebab, suka atau tidak, negara-negara itu harus mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, mereka saling bergantung satu dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya.
c. Adanya hukum yang mengatur hubungan tetap antar negara-negara merdeka dan berdaulat itu.
Hubungan yang tetap dan berkelanjutan antara negara-negara hanya mungkin berlangsung tertib apabila ada hukum yang mengaturnya. Artinya, hukum dibutuhkan untuk menjamin kepastian kelangsungan hubungan itu. Ini pun sudah merupakan fakta yang tak dapat dibantah. Sebab tidaklah mungkin suatu negara berhubungan dengan negara lain tanpa landasan dan ikatan kaidah hukum, betapa pun sederhana dan tidak formalnya hubungan itu. Hukum itu baik yang berupa kaidah hukum tertulis yang lahir dari perjanjian maupun berupa kaidah hukum kebiasaan.
Sementara itu, syarat non-materiil dari masyarakat internasional adalah adanya kesamaan asas-asas hukum. Bagaimanapun berbedanya corak hukum positif yang berlaku di masing-masing negara yang ada di dunia saat ini, mereka pasti mengakui dan terikat oleh adanya kesamaan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum. Inilah yang dinamakan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations – akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan tentang sumber-sumber hukum internasional). Adanya kesamaan asas-asas hukum ini dapat dikembalikan kepada rasio dan naluri mempertahankan diri yang ada pada manusia. Masyarakat bangsa-bangsa, yang terdiri atas sekumpulan manusia, pun tunduk kepada rasio dan naluri demikian.
2. Hakikat Kedaulatan dan Fungsinya dalam Perkembangan Hukum Internasional
Sebagaimana diketahui, kedaulatan (souvereignty) berarti kekuasaan tertinggi (dari istilah Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” atau “yang teratas”). Dengan kata lain, suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi darinya. Pengertian inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam hubungannya dengan hukum internasional karena seolah-olah kedaulatan itu menghambat perkembangan hukum internasional atau bahkan bertentangan dengan hukum internasional. Bagaimana mungkin sesuatu yang menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan tunduk pada kekuasaan lain? Dengan kata lain, tidak mungkin hukum internasional itu mengikat negara-negara jika negara-negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi (yaitu, dalam hal ini, hukum internasional).
Pandangan demikian, meskipun sepintas tampak masuk akal, sesungguhnya tidak benar. Pandangan demikian lahir karena didasari oleh pemahaman yang keliru mengenai dua hal. Pertama, pandangan demikian keliru dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Kedua, pandangan demikian juga keliru dalam memahami hakikat kedaulatan.
Tentang kekeliruan yang pertama: kekeliruan dalam memahami masyarakat internasional (dan sifat hakikat hukum internasional). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, struktur masyarakat internasional bukanlah struktur masyarakat atau negara dunia melainkan suatu masyarakat yang terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka yang tidak memiliki suatu pemerintahan dunia (world government). Sementara itu tertib hukum yang mengaturnya, yaitu hukum internasional, bukanlah tertib hukum yang bersifat subordinatif melainkan tertib hukum koordinatif. Jadi, pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar apabila masyarakat internasional itu adalah masyarakat atau negara dunia dan tertib hukum yang mengaturnya adalah tertib hukum dunia yang merupakan tertib hukum yang bersifat subordinatif.
Tentang kekeliruan yang kedua: kekeliruan dalam memahami hakikat kedaulatan. Benar bahwa kedaulatan berarti kekuasaan yang tertinggi. Benar pula bahwa suatu negara berdaulat tidak mengakui adanya kekuasaan lain yang lebih tinggi di luar dirinya. Namun, kekuasaan yang tertinggi bukanlah berarti kekuasaan yang tidak terbatas.
Kedaulatan, sebagai kekuasaan tertinggi, ada batas-batasnya. Negara berdaulat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun ada batas-batasnya sampai di mana kekuasaan itu dapat atau boleh dilaksanakan. Pembatasan pertama dari kedaulatan suatu negara adalah kedaulatan yang dimiliki oleh negara lain. Di sini terkandung dua pengertian, yaitu: pertama, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara yang bersangkutan; kedua, kedaulatan atau kekuasaan tertinggi suatu negara itu berakhir di mana kedaulatan negara lain dimulai. Jadi, sesungguhnya dalam sifat hakikat kedaulatan suatu negara itu sendiri telah dengan sendirinya terkandung pembatasan.
Pembatasan yang kedua terhadap kedaulatan negara adalah hukum internasional. Artinya, jika pada tahap pertama pembatasan terhadap kedaulatan negara itu terletak pada kedaulatan negara lain maka pembatasan terhadap kedaulatan seluruh negara terletak pada hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat itu. Sebab, tidak mungkin akan tercipta hubungan antarnegara (hubungan internasional) yang tertib dan teratur tanpa adanya penerimaan akan pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antarnegara atau hubungan internasional itu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa selama masyarakat internasional masih tetap berupa masyarakat yang anggotanya terdiri atas negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat, bukan masyarakat yang merupakan negara dunia, maka kedaulatan negara bukanlah penghambat perkembangan hukum internasional dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan bertentangan dengan hukum internasional dan sekaligus menghambat perkembangan hukum internasional baru menjadi benar hanya jika masyarakat internasional itu telah menjadi masyarakat atau negara dunia dan hukum internasional itu sudah merupakan hukum dunia.
Hakikat Dan Mengikatnya Hukum Internasional
1. Sifat Hakikat Hukum Internasional
Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional (yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional) tidak terdapat lembaga-lembaga yang disangkutpautkan dengan hukum dan pelaksanaannya:
• dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif;
• dalam hukum internasional tidak terdapat lembaga legislatif;
• dalam hukum internasional tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial);
• dalam hukum internasional tidak terdapat lembaga kepolisian.
Lembaga-lembaga atau badan-badan di atas adalah lembaga-lembaga yang diperlukan guna memaksakan berlakunya suatu ketentuan hukum.
Dikarenakan keadaan yang demikianlah sehingga beberapa pihak menyangkal sifat mengikat hukum internasional, misalnya Hobbes, Spinoza, Austin. Menurut John Austin, hukum internasional itu bukanlah hukum melainkan sekadar aturan-aturan moral positif (rules of positive morality). Namun pendapat Austin tersebut terbantahkan oleh dua hal:
• Pertama, tidak adanya badan pembuat atau pembentuk hukum bukanlah berarti tidak ada hukum. Misalnya hukum adat;
• Kedua, harus dibedakan antara persoalan ada-tidaknya hukum dan ciri-ciri efektifnya hukum. Tidak adanya lembaga-lembaga yang diasosiasikan dengan hukum dalam tubuh hukum internasional (eksekutif, legislatif, kehakiman, kepolisian, dsb) adalah ciri-ciri atau pertanda bahwa hukum internasional belum efektif tetapi bukan berarti bahwa hukum internasional itu tidak ada.
2. Teori-teori tentang Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Jika pada kenyataannya hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, eksekutif, yudisial, maupun kepolisian tetapi pada kenyataannya pula hukum internasional itu mengikat, maka timbul pertanyaan: mengapa hukum internasional itu mengikat? Bagaimana penjelasannya?
Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu:
1. Mazhab atau Ajaran Hukum Alam;
2. Mazhab atau Ajaran Hukum Positif; dan
3. Mazhab Perancis.
1. Mazhab/Ajaran Hukum Alam.
Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antarmereka karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”. Tokoh-tokoh dari mazhab ini, antara lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel, dll.
Kontribusi terbesar ajaran atau mazhab hukum alam bagi hukum internasional adalah bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antarbangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.
Meskipun demikian, ia juga mengandung kelemahan yang cukup mendasar yaitu tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan “hukum alam” itu. Akibatnya, pengertian tentang hukum alam itu menjadi sangat subjektif, bergantung pada penafsiran masing-masing orang atau ahli yang menganjurkannya.
2. Mazhab/Ajaran Hukum Positif
Ada beberapa mazhab yang termasuk ke dalam kelompok Mazhab atau Ajaran Hukum Positif, yaitu:
a. Mazhab atau Teori Kehendak Negara atau Teori Kedaulatan Negara;
b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara;
c. Mazhab Wina (Vienna School of Thought).
a. Mazhab/Teori Kehendak Negara.
Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari ajaran atau mazhab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional.
Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Para pemuka mazhab ini, antara lain, Georg Jellinek, Zorn, dll.
Kritik dan sekaligus kelemahan dari ajaran ini adalah bahwa ajaran ini tidak mampu menjelaskan bagaimana jika negara-negara itu secara sepihak menyatakan tidak hendak lagi terikat kepada hukum internasional, apakah dengan demikian hukum internasional tersebut tidak lagi mengikat?
Ajaran ini juga tidak mampu menjelaskan negara-negara yang baru lahir sudah langsung terikat oleh hukum internasional terlepas dari mereka setuju atau tidak?
b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara.
Mazhab ini berusahan untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena bukan karena kehendak negara-negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama negara-negara itu di mana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik.
Inilah inti dari ajaran Vereinbarungstheorie yang dikemukakan oleh Triepel. Melalui ajarannya itu Triepel sesungguhnya berusaha untuk mendasarkan teorinya pada cara mengikat hukum kebiasaan internasional. Maksudnya, dengan mengatakan bahwa kehendak bersama negara-negara untuk terikat pada hukum internasional itu tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik ia sesungguhnya bermaksud mengatakan bahwa negara-negara itu telah menyatakan persetujuannya untuk terikat secara implisit atau diam-diam (implied).
Kendatipun telah berusaha menjawab kritik terhadap kelemahan Mazhab/Teoeri Kehendak Negara, Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negara-negara ini tetap saja mengandung kelemahan, yaitu:
• Pertama, mazhab ini tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap pertanyaan: kalaupun negara-negara tidak dimungkinkan menarik persetujuan untuk terikat kepada hukum internasional secara sendiri-sendiri, bagaimana jika negara-negara tersebut secara bersama-sama menarik persetujuannya untuk terikat pada hukum internasional? Apakah dengan demikian berarti hukum internasional menjadi tidak ada lagi?
• Kedua, dengan mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara, maka (seperti halnya pada Mazhab/Teori Kehendak Negara) mazhab ini pun sesungguhnya hanya menganggap hukum internasional itu hanya sebagai hukum perjanjian antar negara-negara. Pendapat ini, sebagaimana telah disinggung di atas, telah terbukti sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab hukum internasional bukan semata-mata lahir dari perjanjian internasional.
c. Mazhab Wina
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal dari aliran ini adalah Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan Mazhab Wina (Vienna School of Thought).
Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt servanda.
Kelemahan dari mazhab atau teori ini adalah bahwa memang sepintas tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam menerangkan dasar mengikatnya hukum internasional. Namun, mazhab ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat? Lagipula, dengan mengatakan bahwa kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan sesuatu yang belum pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti. Dengan demikian, seluruh konstruksi pemikiran yang mulanya tampak logis itu pada akhirnya menjadi sesuatu yang menggantung di awang-awang.
Lebih jauh lagi, dengan mengatakan bahwa grundnorm itu sebagai persoalan di luar hukum atau tidak dapat dijelaskan secara hukum maka berarti persoalan tentang dasar mengikatnya hukum internasional akhirnya dikembalikan lagi kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yaitu rasa keadilan dan moral – yang berarti sama saja dengan mengembalikan dasar mengikatnya hukum internasional itu kepada hukum alam.
3. Mazhab Perancis
Suatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya (Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Hukum Positif) muncul di Perancis. Karena itu, Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab Perancis. Pelopornya, antara lain, Leon Duguit, Fauchile, dan Schelle.
Dalam garis besarnya, mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mazhab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.
Hubungan HI dan Hukum Nasional
Terdapat 2 pandangan mengenai HI, yaitu
1) Voluntarisme
Bahwa berlakunya HI terletak pada kemauan negara. Berdasarkan pandangan ini maka muncul paham dualisme yang melihat bahwa HI dan HN merupakan dua perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah. Paham ini pelopornya adalah Triepel (Jerman) dan Anzilotti (Italia).
Alasannya:
a. HI dan HN mempunyai sumber yang berlainan, HN bersumber dari kemauan negara, sedangkan HI besumber pada kemauan bersama masyarakat negara. Kelemahan: Pada dasarnya baik HI maupun HN bersumber dari kemauan negara yaitu kemauan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat. Jadi baik HI dan HN bersumber dari kebutuhan manusia untuk hidup teratur dan beradab.
b. HI dan HN mempunyai subyek hukum yang berlainan. Subyek HN (baik dalam perdata maupun pidana) adalah orang perorangan, sedangkan subyek HI adalah negara. Kelemahan: Pada kenyataan dewasa ini perorangan pun dapat menjadi subyek HI.
c. HI dan HN memiliki struktur yang berbeda. HN memiliki mahkamah dan organ dalam bentuk yang sempurna, sedangkan HI tidak memiliki hal yang serupa itu. Kelemahan: Perkembangan HN jauh lebih tinggi daripada HI jadi, wajar saja HN memiliki bentuk organ yang lebih sempurna dari HI.
d. HN tetap berlaku secara efektif meskipun bertentangan dengan HI. Kelemahan: pada kenyataannya seringkali HN tunduk pada HI, pertentangan antara keduanya bukan bukti perbedaan struktural tetapi hanyalah kurang efektifnya HI.
Akibat dari pandangan ini yaitu (1)bahwa tidak akan mungkin dipersoalkan mengenai hirarki antara keduanya, karena menurut paham ini HI dan HN pada hakikatnya tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lain, tetapi juga terlepas satu sama lain.(2) Tidak mungkin ada pertentangan diantara keduanya yang mungkin ada hanya penunjukan. (3) HI memerlukan transformasi terlebih dulu untuk dapat berlaku dalam lingkungan HN.
2) Objektivis
Bahwa berlakunya HI terlepas dari kemauan negara. Berdasarkan pandangan tersebut, maka muncullah paham monisme yang melihat HI dan HN merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat dari pandangan ini bahwa antara HI dan HN mungkin ada hubungan hirarki. Paham ini melahirkan 2 teori, yaitu: (1) monisme dengan primat HN dan(2) monisme dengan primat HI.
a. Monisme dengan primat HN
Menurut teori ini HI adalah lanjutan HN untuk urusan luar negeri (penganutnya dinamakan mazhab Bonn yang salah satu pelopornya adalah Max Wenzel).Jadi menurut teori ini HI adalah bersumber dari HN.
Alasannya:
a. Tidak terdapat satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia.
b. Dasar HI yang mengatur hubungan internasional adalah terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi ini adalah wewenang konstitusional. Kelemahan: hanya memandang hukum sebagai hukum tertulis dalam hal ini perjanjian internasional.
b. Monisme dengan primat HI
HN bersumber dari HI yang secara hirarkis lebih tinggi. HN tunduk pada HI dan kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari HI. Penganut teori ini disebut dengan Mazhab Vienna. Kelemahan: (1) jika memandang bahwa HN bersumber dari HI, ini artinya HI ada terlebih dulu daripada HN, hal ini tentu saja bertentangan dengan kenyataan sejarah, yang menyebutkan bahwa HN ada lebih dulu daripada HI. (2) wewenang mengadakan pejanjian terletak pada HN.
Kedua paham dualisme dan monisme ternyata tidak mampu menjelaskan hubungan HI dan HN.
Primat HI Menurut Praktik Internasional
Pada kenyataannya HI cukup memiliki wibawa terhadap HN, artinya pada umumnya HI ditaati dan pada hakikatnya HN tunduk pada HI.
Praktik:
• Setiap negara saat ini saling menghormati batas wilayah negara masing-masing.
• Hukum yang mengatur perjanjian internasional antar negara.Pada umunya negara-negara mentati kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian internasional dengan negara lain.
• HI yang mengatur kekebalan dan keistimewaan diplomatik ditaati oleh negara-negara yang melakukan hubungan diplomatik dan konsuler.
• Perlindungan terhadap orang asing dan hak milik asing yang diberikan oleh HI ditaati oleh negara-negara.
Hubungan Antara HI Dan HN Menurut Hukum Positif Beberapa Negara
Inggris
Dikenal doktrin inkorporasi, artinya HI adalah hukum negara (international law is the law of the land). Doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh Blackstone (abad 18). Daya berlaku doktrin ini dibedakan untuk dua hal: (1)hukum kebiasaan internasional dan (2) HI yang tertulis.
Untuk hukum kebiasaan internasional, doktrin ini berlaku dengan 3 pengecualian:
a. tidak bertentangan suatu undang-undang baik yang lebih tua maupun yang akan ada kemudian.
b. Sekali ruang lingkup suau ketentuan hukum kebiasaan internasional ditetapkan oleh keputusan mahkamah tertinggi, maka semua pengadilan di bawahnya terikat oleh keputusan itu, walaupun di kemudian hari ternyata kebiasaan tersebut bertenangan dengan HN.
c. Ketentuan hukum kebiasaan tersebut harus merupakan ketentuan yang umum diterima oleh masyarakat internasional.
Penerapan doktrin inkorporasi di Inggris meliputi dua dalil, yaitu:
a. Dalil konstruksi hukum, yaitu bahwa undang-undang yang dibuat oleh parlemen harus ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan HI. Artinya, dalam melakukan penafsiran terhadap undang-undang ada pra-anggapan bahwa parlemen tidak berniat melakukan pelanggaran terhadap HI.
b. Dalil tentang pembuktian suatu ketentuan HI, yaitu bahwa HI tidak memerlukan kesaksian para ahli di pengadilan Inggris.
Mengenai hukum yang bersumberkan pada perjanjian (HI tertulis), hukum Inggris menyatakan bahwa perjanjian yang memelukan persetujuan parlemen, memerlukan pula pengundangan nasional, sedangkan perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan parlemen dapat berlaku langsung setelah penandatanganan.
Pejanjian yang memerlukan persetujuan parlemen:
• Perjanjian yang memerlukan diadakannya perubahan perundang-undangan nasional.
• Perjanjian yang menyebabkan perubahan status atau garis batas wilayah negara.
• Pejanjian yang mempengaruhi hak sipil WN Inggris.
• Pejanjian yang akan menambah beban keuangan negara.
Amerika Serikat
Juga menganut doktrin inkorporasi. Undang-undang yang dibuat dengan persetujuan DPR (Congress) diusahakan tidak bertentangan dengan HI, namun jika kemudian suau undang-undang baru ternyata bertentangan dengan HI, maka yang harus dimenangkan adalah undang-undang.
Perbedaan AS dengan Inggris tampak jelas dalam hubungan antara perjanjian internasional dengan HN. Di AS perlu atau tidaknya pengundangan secara nasional suau perjanjian internasional ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) apakah bertentangan dengan konstitusi? Dan (2) apakah perjanjian internasional tersebut merupakan golongan self executing treaties atau non self executing treaties?
Jika pengadilan AS menetapkan bahwa suatu perjanjian internasional tidak bertentangan dengan konstitusi dan termasuk golongan perjanjian internasional self executing, maka perjanjian tersebut dianggap bagian dari HN AS dan tidak memerlukan pengundangan nasional. Sedangkan jika perjajian internasional tersebut termasuk perjanjian non self executing maka diperlukan pengundangan nasional.
Jerman Dan Perancis
Dalam UUD Jerman dan UUD Perancis disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan HI merupakan bagian dari HN Jerman. Ketentuan HI tersebut kedudukannya lebih tinggi daripada UU nasional dan langsung menimbulkan hak dan kewajiban bagi penduduk wilayah federasi Jerman.
Dalam sistem hukum Jerman dan Perancis tidak dipersoalkan transformasi perjanjian internasional ke dalam HN, menurut sistem hukum kedua negara tersebut, pengesahan perjanjian dan pengumuman resmi sudah mencukupi syarat suatu perjanjian internasional merupakan bagian dari HN.
Indonesia
Indonesia terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian internasional yang telah disahkan (diratifikasi) setelah sebelumnya dikeluarkan undang-undang mengenai pengesahan perjanjian internasional tersebut.
Subyek Hukum Internasional
Untuk dapat disebut sebagai subyek HI, suatu entitas harus memiliki personalitas HI. Sebelumnya, agar suatu entitas dapat dikatakan telah memiliki personalitas HI harus memiliki beberapa kecakapan tertentu, yaitu:
a. Mampu mendukung hak dan kewajiban internasional (capable of possessing international rights and duties);
b. Mampu melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional (endowed with the capacity to take certain types of action on international plane);
c. Mampu menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional (they have related to capacity to treaties and agreements under international law);
d. Memiliki kemampuan untuk melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban internasional (the capacity to make claims for breaches of international law);
e. Memiliki kekebalan dari pengaruh/penerapan yurisdiksi nasional suatu negara (the enjoyment of privileges and immunities from national jurisdiction);
f. Dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi internasional (the question of international legal personality may also arise in regard to membership or participation in international bodies).
Jenis-jenis Subyek HI
a. NEGARA. Untuk dapat disebut negara, menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 suatu entitas harus memenuhi syarat-syarat: (1) adanya penduduk yang tetap ,(2) adanya daerah/teritorial yang pasti, (3) adanya pemerintahan dan (4) adanya kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain. Pada negara FEDERAL : kapasitas negara bagian untuk melakukan hubungan internasional tergantung dari sistem distribusi kekuasaan yang dianut oleh negara federal tersebut. Contoh Republik Byelo Russia dan Ukraina dapat menjadi anggota PBB, demikian juga dengan sistem yang dianut Australia. Sedangkan sistem yang dianut AS; hanya pemerintah federal yang dapat bertindak keluar.
b. TAHTA SUCI VATICAN. Merupakan subyek HI dalam arti penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara lain. Hal ini terjadi setelah diadakannya Perjanjian Lateran pada tanggal 11 Februari 1929 antara Italia dan Tahta Suci, yang isinya adalah mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Tahta Suci dan memungkinkan didirikannya negara Vatican, dan berdasarkan perjanjian tersebut Negara (Tahta Suci) Vatican dibentuk dan diakui sebagai subyek HI. Saat ini Tahta Suci memiliki perwakilan diplomatik di berbagai negara di dunia yang sejajar kedudukannya dengan perwakilan diplomatik negara-negara lain.
c. PALANG MERAH INTERNASIONAL. Adalah subyek HI yang bersifat terbatas yang lahir karena sejarah, yang kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi Palang Merah. Saat ini PM Internasional diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subyek HI walaupun dalam ruang lingkup yang sangat terbatas.
d. ORGANISASI INTERNASIONAL. Baru diakui sebagai subyek HI setelah adanya advisory opinion yang diberikan oleh MI. Ketika itu PBB meminta pendapat hukum dari MI terkait masalah terbunuhnya Pangeran Bernadotte dari Swedia yang bertindak sebagai mediator PBB di Israel pada tahun 1948, yaitu tentang apakah PBB mempunyai kemampuan hukum untuk mengajukan klaim ganti rugi terhadap pemerintah de yure atau de facto yang bertanggung jawab. MI secara tegas menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subyek HI dan mampu mendukung hak –hak dan kewajiban-kewajiban internasional, dan juga bahwa organisasi internasional memiliki kapasitas untuk mempertahankan hak-haknya dengan melakukan tuntutan internasional.
e. INDIVIDU. Tahap terpenting pengakuan individu sebagai subyek HI adalah ketika adanya penuntutan penjahat-penjahat perang di hadapan MI yang diadakan khusus untuk itu oleh negara-negara sekutu yang menang perang. Dalam proses peradilan yang diadakan di Nurnberg dan Tokyo, para penjahat perang tersebut dituntut sebagai individu untuk perbuatan yang diklasifikasikan sebagai : (1) kejahatan terhadap perdamaian; (2) kejahatan terhadap perikemanusiaan; (3) pelanggaran terhadap hukum perang; dan (4) permufakatan jahat untuk mengadakan perang. Dengan adanya peradilan Nurnberg dan Tokyo tersebut maka seseorang dianggap langsung bertanggung jawab sebagai individu atas kejahatan perang yang dilakukannya.
f. PEMBERONTAK DAN PIHAK DALAM SENGKETA. Dalam hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu. Personalitas internasional pihak-pihak dalam sengketa sepenuhnya tergantung pada pengakuan.
Konsep Wilayah Dalam Hukum Internasional
Konsep wilayah sangat penting dibicarakan dalam HI:
a. HI adalah kaidah atau asas hukum yang mengatur persoalan yang melintas batas negara. Salah satu syarat suatu negara adalah wilayah.
b. Konsep atau paham kedaulatan dibatasi oleh wilayah negara.
Cara-cara perolehan wilayah oleh suatu negara:
a. AKRESI. Penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Misalnya terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan lumpur muara sungai; mengeringnya bagian sungai disebabkan oleh terjadinya perubahan aliran sungai; terbentuknya pulau baru disebabkan oleh letusan gunung berapi.
b. CESSI. Penyerahan wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui perjanjian perdamaian untuk mengakhiri perang, atau dengan cara-cara yang berbeda, misalnya pembelian Alaska pada tahun 1816 oleh AS dari Rusia, atau ketika Denmark menjual beberapa daerahnya di West Indies kepada AS pada tahun 1916.
c. OKUPASI. Penguasaan terhadap suatu wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara manapun, yang dapat berupa suatu terra nullius yang baru ditemukan. Penguasaan tersebut harus dilakukan oleh negara dan bukan oleh orang perorangan, secara efektif dan harus terbukti adanya kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hal itu harus ditunjukkan misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukkan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan bendera atau pembacaan proklamasi. Penemuan saja tidak cukup kuat untuk menunjukkan kedaulatan negara, karena hal ini dianggap hanya memiliki dampak sebagai suatu pengumuman. Agar penemuan tersebut mempunyai arti yuridis, harus dilengkapi dengan penguasaan secara efektif untuk suatu jangka waktu tertentu.
d. PRESKRIPSI. Pelaksanaan kedaulatan oleh suatu negara secara de facto dan damai untuk kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius melainkan terhadap wilayah yang sebenarnya berada di bawah kedaulatan negara lain.
e. ANEKSASI. Perolehan wilayah secara paksa.
f. PEROLEHAN WILAYAH OLEH NEGARA BARU.
Sumber Hukum Internasional
Mempunyai dua arti :
1. Sumber HI dalam arti Material :
Yang dipersoalkan adalah apa sebabnya hukum itu mengikat/ apa yang menjadi dasar kekuatan mengikat, dalam hal ini HI.
2. Sumber HI dalam arti Formal :
Sumber di mana dapat ditemukan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan dalam suatu persoalan konkrit sebagai suatu kaidah hukum.
Yang akan kita bicarakan adalah Sumber HI dalam arti Formal, yaitu yang terdapat dalam :
a. Pasal 7 Konvensi Den Haag XII 18 Oktober 1907, yang mendirikan MI Perampasan Kapal Di Laut (sampai saat ini tidak pernah dibentuk);
b. Pasal 38 (1) Statuta MI 26 Juni 1945, yang terdiri :
o Perjanjian Internasional baik yang bersifat umum atau khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh pihak-pihak dalam sengketa;
o Kebiasaan internasional
o Prinsip Hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
o Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana.
Yang akan kita bicarakan hanyalah butir b saja.
Klasifikasi Sumber HI dalam arti Formal:
1. Sumber Hukum Utama / Primer :
o Perjanjian Internasional
o Kebiasaan Internasional
o Prinsip Hukum Umum
2. Sumber Hukum Tambahan / Subsider, yaitu Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana. Dapat digunakan untuk membuktikan adanya kaidah HI tentang suatu persoalan yang didasarkan atas sumber hukum primer.
Mana yang lebih Penting dari ketiga sumber HI Primer?
1. Ditinjau dari sudut sejarah, maka KI adalah sumber HI yang tertua;
2. Ditinjau dari kenyataannya, semakin luas dan banyaknya persoalan dewasa ini yang diatur dalam PI, maka PI yang terpenting;
3. Ditinjau dari sudut fungsinya dalam perkembangan hukum, maka Prinsip Hukum Umum adalah sumber HI terpenting, karena memberi kebebasan bagi Mahkamah Internasional untuk membentuk atau menemukan kaidah hukum yang baru, dan kemudian mengembangkannya.
Perjanjian Internasional
Adalah perjanjian yang dilakukan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu.
Macam-Macam Perjanjian Internasional :
a. Berdasarkan tahap pembentukan dan materi yang diatur, ada 2 macam yaitu :
1. PI yang melalui 3 tahap pembentukan, yaitu : perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Digunakan untuk hal-hal yang sangat penting, misalnya, yang mempengaruhi haluan politik dalam negeri dan luar negeri. Menurut Mochtar Kusumaatmadja disebut Traktat.
2. PI yang melalui 2 tahap pembentukan, yaitu perundingan dan penandatanganan. Digunakan untuk hal-hal yang kurang penting. Menurut Mochtar Kusumaatmadja disebut Persetujuan.
b. Berdasarkan jumlah peserta, yaitu :
1. Perjanjian Bilateral
2. Perjanjian Multilateral.
c. Berdasarkan fungsi, ada 2 yaitu :
1. Treaty Contract, adalah perjanjian dalah hukum perdata yang hanya akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak penanda tangan. Perjanjian tersebut semata-mata mengenai pihak-pihak dalam perjanjian, yang tidak berkepentingan tidak dapat ikut serta dalam perjanjian tersebut.
2. Law Making Treaties, adalah perjanjian yang meletakkan kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Perjanjian tersebut selalu terbuka bagi para pihak yang tidak ikut dalam perjanjian, karena yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah mengenai seluruh anggota masyarakat internasional.
Keberatan Mochtar Kusumaatmadja :
1. Secara yuridis, menurut bentuknya setiap perjajian baik yang Treaty Contract maupun Law Making Treaties adalah suatu kontrak, yaitu perjanjian antara para pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para peserta.
2. Secara fungsinya, baik Treaty Contract maupun Law Making Treaties adalah Law Making, atau membentuk hukum.
Tahapan Pembentukan Perjanjian Internasional :
1. Perundingan
2. Penandatanganan
3. Ratifikasi.
Berakhirnya Perjanjian Internasional :
1. Karena telah tercapainya tujuan;
2. Karena habis waktu berlakunya;
3. Karena punahnya salah satu pihak dalam perjanjian atau musnahnya obyek perjanjian;
4. Karena adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut;
5. Karena adanya perjanjian antara para pihak yang isinya untuk meniadakan perjanjian terdahulu;
6. Karena dipenuhinya syarat-syarat pengakhiran perjanjian yang termuat dalam perjanjian;
7. Karena diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak, yang disetujui oleh pihak lainnya.
Kebiasaan Internasional
Adalah kebiasaan yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Agar dapat dikatakan sebagai sumber hukum, maka kebiasaan tersebut harus memenuhi untur-unsur :
1. Unsur Material, yaitu kebiasaan itu harus merupakan kebiasaan yang bersifat “umum”. Umum artinya (i)adanya pola tindak yang berlangsung lama tentang hal yang serupa;(ii)harus bertalian dengan hubungan internasional.
2. Unsur Psikologis, kebiasaan tersebut diterima sebagai hukum oleh negara-negara, yang ditandai dengan tidak adanya protes dari negara-negara.
Hubungan PI Dengan KI
KI dapat menimbulkan kaidah hukum yang kemudian dikukuhkan dalam Konvensi Internasional akan menjadi perjanjian internasional. Sedangkan PI yang berulang kali diadakan mengenai hal yang sama akan menjadi KI.
Prinsip Hukum Umum
Adalah prinsip hukum yang melandasi sistem hukum modern, sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat.
“Umum” artinya tidak hanya prinsip yang ada pada HI tetapi juga pada bidang-bidang hukum lainnya.
Arti penting Prinsip Hukum Umum :
1. Dengan adanya sumber hukum ini maka Mahkamah Internasional, tidak dapat menyatakan non-liquet (menolak menangani perkara karena tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai masalah tersebut).
2. Memperkuat kedudukan Mahkamah Internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hukum.
Keputusan Pengadilan Dan Ajaran Para Sarjana
Digunakan untuk membuktikan adanya kaidah HI tentang suatu persoalan yang didasarkan atas sumber hukum primer. Tidak mengikat, artinya tidak menimbulkan suatu kaidah hukum.
“Pengadilan” berarti pengadilan dalam arti yang luas, meliputi segala macam peradilan baik internasional maupun nasional yang termasuk juga di dalamnya mahkamah dan komisi arbitrase.Walaupun tidak mengikat, keputusan MI mempunyai pengaruh besar dalam perkara HI.
Pendapat atau ajaran para sarjana, penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh para sarjana terkemuka, sering dapat dipakai sebagai pegangan dalam menemukan apa yang menjadi Hukum Internasional.
Suksesi Negara
(Succession of State)
Pengertian
Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of State) berarti “penggantian atau pergantian negara”. Namun istilah penggantian atau pergantian negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun kompleksitas persoalan yang terkandung di dalam subjek bahasan state succession itu. Memang sulit untuk membuat suatu definisi yang mampu menggambarkan keseluruhan persoalan suksesi negara. Tetapi untuk memberikan gambaran sederhana, suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam “pergantian negara” yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. Negara yang lama atau negara yang “digantikan” disebut dengan istilah Predecessor State, sedangkan negara yang “menggantikan” disebut Successor State. Contohnya : sebuah wilayah yang tadinya merupakan wilayah jajahan dari suatu negara kemudian memerdekakan diri. Predecessor state-nya adalah negara yang menguasai atau menjajah wilayah tersebut, sedangkan successor state-nya adalah negara yang baru merdeka itu. Contoh lain, suatu negara terpecah-pecah menjadi beberapa negara baru, sedangkan negara yang lama lenyap. Predecessor state-nya adalah negara yang hilang atau lenyap itu, sedangkan successor state-nya adalah negara-negara baru hasil pecahan itu.
Yang menjadi masalah utama dalam pembahasan mengenai suksesi negara adalah : apakah dengan terjadinya suksesi negara itu keseluruhan hak dan kewajiban negara yang lama atau negara yang digantikan (predecessor state) otomatis beralih kepada negara yang baru atau negara yang menggantikan (sucessor state)? Sebagaimana yang dikatakan oleh Starke,
“... dalam masalah suksesi negara, yang dimasalahkan terutama adalah mengenai pemindahan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang telah berubah atau kehilangan identitasnya kepada negara atau satuan lainnya yang menggantikannya. Perubahan atau hilangnya identitas itu disebabkan oleh perubahan seluruh atau sebagian dari kedaulatan negara itu”.
Dalam hukum internasional positif, masalah suksesi negara ini diatur dalam Konvensi Wina 1978, yaitu Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam Hubungan dengan Perjanjian Internasional (Vienna Convention on Succession of State in respect of Treaties).
Fokus Bahasan
Ada dua kelompok masalah penting yang menjadi fokus bahasan dalam persoalan suksesi negara, yaitu :
• Factual State Succession, yakni yang berkenaan dengan pertanyaan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa apa sajakah yang menunjukkan telah terjadi suksesi negara?
• Legal State Succession, yakni yang berbicara tentang apa akibat-akibat hukumnya jika terjadi suksesi negara.
Dalam hubungannya dengan substansi yang disebut terdahulu (Factual State Succession), kita akan melihat pendapat para sarjana dan pengaturan dalam Konvensi Wina 1978 yang telah disebutkan di atas.
Dalam pandangan para sarjana, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dipandang sebagai suksesi negara, yang bisa juga dikatakan sebagai bentuk-bentuk suksesi negara adalah:
1. Penyerapan (absorption), yaitu suatu negara diserap oleh negara lain. Jadi di sini terjadi penggabungan dua subjek hukum internasional. Contohnya, penyerapan Korea oleh Jepang tahun 1910.
2. Pemecahan (dismemberment), yaitu suatu negara terpecah-pecah menjadi beberapa negara yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam hal ini bisa terjadi, negara yang lama lenyap sama sekali (contohnya, lenyapnya Uni Soviet yang kini menjadi negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri) atau negara yang lama masih ada tetapi wilayahnya berubah karena sebagian wilayahnya terpecah-pecah menjadi sejumlah negara yang berdiri sendiri (contohnya, Yugoslavia).
3. Kombinasi dari pemecahan dan penyerapan, yaitu satu negara pecah menjadi beberapa bagian dan kemudian bagian-bagian itu lalu diserap oleh negara atau negara-negara lain. Contohnya, pecahnya Polandia tahun 1795 yang beberapa pecahannya masing-masing diserap oleh Rusia, Austria, dan Prusia.
4. Negara merdeka baru (newly independent states). Maksudnya adalah beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah negara lain atau berada di bawah jajahan kemudian memerdekakan diri menjadi negara-negara yang berdaulat.
5. Bentuk-bentuk lainnya yang pada dasarnya merupakan penggabungan dua atau lebih subjek hukum internasional (dalam arti negara) atau pemecahan satu subjek hukum internasional (dalam arti negara) menjadi beberapa negara.
Sementara itu, dalam perkembangannya, dalam Konvensi Wina 1978 memerinci adanya lima bentuk suksesi negara, yaitu :
1. Suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara itu kemudian berubah menjadi bagian dari wilayah negara itu (Pasal 15).
2. Negara merdeka baru (newly independent state), yaitu bila negara pengganti yang beberapa waktu sebelum terjadinya suksesi negara merupakan wilayah yang tidak bebas yang dalam hubungan internasional berada di bawah tanggung jawab negara negara yang digantikan (Pasal 2 Ayat 1f).
3. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih menjadi satu negara merdeka.
4. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih menjadi menjadi suatu negara serikat (Pasal 30 Ayat 1).
5. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat terpecah-pecahnya suatu negara negara menjadi beberapa negara baru (Pasal 34 ayat 1).
Sementara itu, untuk persoalan legal state succession, sebagaimana telah disebutkan tadi adalah berbicara tentang akibat hukum yang ditimbulkan oleh terjadinya suksesi negara. Dalam hubungan ini ada dua teori, yaitu teori yang dikenal sebagai Common Doctrine dan teori tabula rasa (Clean State).
Menurut common doctrine, dalam hal terjadinya suksesi negara, maka segala hak dan kewajiban negara yang lama lenyap bersama dengan lenyapnya negara itu (predecessor state) dan kemudian beralih kepada negara yang menggantikan (successor state). Sedangkan mereka yang berpegang pada teori tabula rasa (clean state) menyatakan bahwa suatu negara yang baru lahir (successor state) akan memulai hidupnya dengan hak-hak dan kewajiban yang sama sekali baru. Dengan kata lain, tidak ada peralihan hak dan kewajiban dari negara yang digantikan (predecessor state).
Sesungguhnya kedua pendirian ini sama tidak realistisnya. Sebab praktik menunjukkan ada hal-hal yang dianggap dapat beralih dari predecessor state kepada successor state. Sebaliknya, ada hal-hal yang memang tidak beralih, sebagaimana ditunjukkan oleh praktik negara-negara selama ini. Dengan kata lain, tidak mungkin dibuat kriteria yang bersifat general dalam hubungan ini melainkan harus dilihat kasus per kasus.
Kasus-kasus yang dimaksud, antara lain :
• Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap kekayaan negara (public property)?
• Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan kontrak-kontrak konsesional (concessionary contracts) yang ada?
• Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan hak-hak privat (private rights)?
• Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara dalam hubungan dengan tuntutan-tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum (claims in tort or delict)?
• Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap pengakuan (recognition)?
• Bagaimanakah akibat hukum suksesi negara terhadap keberadaan utang-utang negara (public debts)?
Suksesi negara dan kekayaan negara.
Dengan melihat praktik negara-negara yang ada, para ahli pada umumnya sependapat bahwa, jika terjadi suksesi negara, kekayaan negara, yang meliputi gedung-gedung dan tanah-tanah milik negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan di bank, alat-alat transportasi milik negara, pelabuhan-pelabuhan, dan sejenisnya, beralih kepada negara pengganti (successor state).
Suksesi negara dan kontrak-kontrak konsesional.
Yang menjadi persoalan dalam hubungan ini adalah apakah negara pengganti (successor state) mempunyai kewajiban untuk melanjutkan kontrak-kontrak konsesional yang dibuat oleh negara yang digantikan (predecessor state) ataukah konrak-kontrak itu otomatis berakhir dengan terjadinya suksesi negara. Studi terhadap sejumlah kasus yang berkaitan dengan persoalan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya negara pengganti (successor state) dianggap berkewajiban untuk menghormati kontrak-kontrak semacam itu yang dibuat oleh negara yang digantikan (predecessor state) dengan pihak pemegang konsesi (konsesionaris). Artinya, kontrak-kontrak tersebut seharusnya dilanjutkan oleh negara pengganti (successor state). Namun, bilamana demi kepentingan kesejahteraan negara kontrak-kontrak tersebut dipandang perlu untuk diakhiri maka pemegang konsesi harus diberikan hak untuk menuntut kompensasi atau ganti kerugian.
Suksesi negara dan hak-hak privat.
Yang menjadi persoalan di sini adalah, bagaimanakah keberadaan hak-hak privat yang diperoleh berdasarkan hukum negara yang digantikan (predecessor state) bilamana terjadi suksesi negara? Dalam hal ini, para sarjana berpendapat bahwa :
• Pada prinsipnya, successor state berkewajiban untuk menghormati hak-hak privat yang dipperoleh berdasarkan hukum predecessor state.
• Kelanjutan dari hak-hak privat itu berlaku selama perundang-undangan baru dari successor state tidak menyatakan lain (misalnya mengubah atau menghapusnya).
• Pengubahan atau penghapusan terhadap hak-hak privat yang diperoleh berdasarkan hukum predecessor state itu tidak boleh bertentangan dengan atau melanggar kewajiban-kewajiban internasional dari successor state, terutama mengenai perlindungan diplomatik.
• Berhubung hak-hak privat itu jenisnya bermacam-macam, maka prinsip-prinsip dasar sebagaimana disebutkan di atas perlu dirumuskan secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain, pemecahannya bersifat kasuistis.
Suksesi negara dan tuntutan-tuntutan terhadap perbuatan melawan hukum.
Persoalan utama dalam hubungan ini adalah, apakah successor state wajib menerima tanggung jawab yang timbul karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh predecessor state? Dalam kaitan ini para sarjana sependapat bahwa successor state tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab yang timbul akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh predecessor state.
Suksesi negara dan pengakuan.
Dalam hubungannya dengan pengakuan, yang menjadi masalah adalah, apakah dalam hal terjadi suksesi negara pengakuan yang pernah diberikan oleh suatu negara kepada negara yang mengalami suksesi itu juga berakhir? Dalam hal ini, yang menentukan adalah sifat atau jenis suksesi negara tersebut (lihat uraian di bawah). Bilamana suksesi negara itu bersifat universal, yang berarti hilangnya identitas internasional dari negara yang bersangkutan, maka pengakuan itu otomatis gugur. Sedangkan bila suksesi itu bersifat parsial, yang berarti negara yang lama (predecessor state) tidak kehilangan identitas internasionalnya, maka dalam hal ini berlaku “asas kontinyuitas negara” (continuity of state principle). Artinya, pengakuan yang pernah diberikan itu tetap berlaku. Namun, bilamana negara yang memberikan pengakuan tadi tidak lagi memandang negara yang pernah diberi pengakuan itu memenuhi syarat negara menurut hukum internasional, maka pengakuan itu dapat ditarik kembali. Pada umumnya, jika itu terjadi, penarikan kembali pengakuan itu tidak dilakukan secara tegas.
Suksesi negara dan utang-utang negara.
Yang menjadi masalah dalam hubungan ini adalah apakah negara pengganti (successor state) berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas utang-utang negara yang ditinggalkan oleh negara yang digantikan (predecessor state). Dalam hubungan ini tidak terdapat kesamaan pendapat di kalangan para sarjana maupun praktik negara-negara dan sifatnya sangat kasuistis. Pedomannya adalah sebagai berikut :
• Jika utang-utang tersebut dipergunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan wilayah yang digantikannya, maka successor state dipandang berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas utang-utang tersebut. Sebaliknya, jika manfaat utang-utang tersebut ternyata hanya dinikmati oleh golongan-golongan masyarakat tertentu yang memegang kekuasaan pada saat itu maka successor state tidak dianggap berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas utang-utang tersebut.
• Successor state juga dipandang tidak bertanggung jawab atas utang-utang predecessor state yang digunakan untuk membiayai perang melawan successor state atau maksud-maksud yang bermusuhan dengan successor state sebelum terjadinya suksesi negara.
• Dalam hal suksesi negara itu berupa terpecah-pecahnya satu negara menjadi beberapa bagian yang kemudian bagian-bagian itu masing-masing menjadi negara yang berdiri sendiri, successor states dipandang berkewajiban untuk bertanggung jawab atas utang-utang itu secara proporsional menurut suatu metode distribusi yang adil.
• Dalam hal suksesi negara itu bersifat parsial, maka successor state yang menggantikan wilayah yang terlepas itu dipandang berkewajiban untuk menanggung utang-utang lokal atas wilayah yang bersangkutan.
Cara Terjadinya Suksesi Negara
Ada dua cara terjadinya suksesi negara, yakni :
1. Tanpa kekerasan. Dalam hal ini yang terjadi adalah perubahan wilayah secara damai. Misalnya beberapa negara secara sukarela menyatakan bergabung dengan suatu negara lain dan menjadi bagian daripadanya. Atau sebaliknya, suatu negara tanpa melalui kekerasan (misalnya perang saudara) secara sukarela memecah dirinya menjadi beberapa negara yang masing-masing berdiri sendiri.
2. Dengan kekerasan. Cara terjadinya suksesi negara yang melalui kekerasan dapat berupa perang ataupun revolusi.
Jenis-jenis Suksesi Negara
Ada dua macam atau jenis suksesi negara, yaitu :
• Suksesi universal; dan
• Suksesi parsial.
Perbedaan dari kedua jenis suksesi negara ini terletak pada bagian wilayah dari suatu negara yang digantikan kedaulatannya. Bilamana suksesi itu terjadi terhadap seluruh wilayah suatu negara (berarti negara yang lama atau predecessor state lenyap) maka suksesi yang demikian dinamakan suksesi universal. Sedangkan bilamana suksesi negara itu hanya meliputi bagian tertentu saja dari wilayah suatu negara (berarti predecessor state masih ada hanya wilayahnya saja yang berubah), maka suksesi yang demikian dinamakan suksesi parsial.
Dengan demikian, pada suksesi universal, identitas internasional dari suatu Negara lenyap sebagai akibat lenyapnya seluruh wilayah negara itu. Di sini, “kepribadian hukum internasional” (international legal personality) dari negara itu hilang. Sedangkan pada suksesi parsial, identitas internasional dari negara itu tidak hilang melainkan hanya luas wilayahnya saja yang berubah. Dalam hubungan ini, negara itu tidak kehilangan kepribadian hukum internasionalnya.
Pengakuan Dalam Hukum Internasional
1. Teori-teori tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori :
1. Teori Deklaratoir
2. Teori Konstitutif
3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah.
Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu negara. Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional.
Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.
2. Macam atau Jenis Pengakuan
Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :
1. Pengakuan de Facto; dan
2. Pengakuan de Jure.
Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya.
Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila :
• Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya;
• Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa (baru) itu;
• Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum internasional.
3. Cara Pemberian Pengakuan
Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu :
1. Secara tegas (expressed recognition); dan
2. Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition).
Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu pernyataan resmi. Sedangkan pengakuan secara diam-diam atau tersirat maksudnya adalah bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui). Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam adalah :
o Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu);
o Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara diam-diam itu);
o Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu).
4. Penarikan Kembali Pengakuan
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional (Catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan mengenai suksesi negara).
Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara dapat ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan.
Terhadap persoalan di atas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan:
1. Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu;
2. Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang telah diakui tersebut.
Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu negara akan memberikan pengakuan kepada negara lain jikan negara yang disebut belakangan ini bersedia menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan.
Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi pengakuan.
Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam memberikan pengakuan (yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif negara yang bersangkutan.
Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran obejktif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara keilmuan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, dikarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitanya dengan substansi pembahasan tentang negara sebagai subjek hukum internasional.
5. Bentuk-bentuk Pengakuan
Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara):
1. Pengakuan negara baru. Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu negara (entah berupa pengakuan de facto maupun de jure).
2. Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). Hal ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangaat kontras perbedaannya.
3. Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.
4. Pengakuan beligerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.
5. Pengakuan sebagai bangsa. Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi.
Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”). Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo). Padahal Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa negara-negara penanda tangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanganinya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimson’s Doctrine of Non-Recognition.
Tanggung Jawab Negara
(STATE RESPONSIBILITY)
Dasar Pertanggungjawaban Negara
Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Dengan demikian, secara umum, unsur-unsur tanggung jawab negara adalah :
• Ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu negara;
• Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya.
Hingga akhir Abad ke-20 masih dipegang pendapat bahwa untuk lahirnya tanggung jawab negara tidak cukup dengan adanya dua unsur di atas melainkan harus ada unsur kerusakan atau kerugian (damage or loss) pada pihak atau negara lain. Namun, dalam perkembangannya hingga saat ini, tampaknya unsur “kerugian” itu tidak lagi dianggap sebagai keharusan dalam setiap kasus untuk lahirnya tanggung jawab negara. Contohnya, pelanggaran terhadap ketentuan hukum internasional yang berkenaan dengan hak asasi manusia, jelas merupakan perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional, walaupun tidak merugikan pihak atau negara lain. Pasal 24 Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia menyatakan, setiap negara peserta diperbolehkan mengajukan keberatan terhadap negara peserta lain tanpa mengharuskan negara yang mengajukan keberatan itu sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara yang dituduh melakukan pelanggaran tersebut.
Pasal 3 rancangan konvensi tentang tanggung jawab negara yang dibuat oleh ILC (International Law Commission) menghapus/meniadakan syarat kerugian dalam setiap definisinya mengenai perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional.
Tentang Pertautan (Imputability)
Persoalan pertautan (imputability) menjadi penting karena ia merupakan syarat mutlak bagi ada-tidaknya tanggung jawab suatu negara dalam suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum internasional. Pertautan itu dianggap ada bilamana perbuatan atau kelalaian (yang melanggar kewajiban hukum internasional) itu dilakukan oleh suatu organ negara atau pihak-pihak yang memperoleh status sebagai organ negara. Pengertian ‘organ” di sini harus diartikan merujuk pada seorang pejabat negara, departemen pemerintahan dan badan-badannya.
Teori-teori tentang Tanggung Jawab Negara
Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara, yaitu :
• Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.
• Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.
Kecenderungan yang berkembang akhir-akhir ini adalah makin ditinggalkannya teori kesalahan ini dalam berbagai kasus. Dengan kata lain, dalam perkembangan di berbagai lapangan hukum internasional, ada kecenderungan untuk menganut prinsip tanggung jawab mutlak.
Tentang Pembelaan dan Pembenaran (Defences and Justifications)
Ada dua hal yang kemungkinan dapat membebaskan suatu negara dari kewajiban untuk bertanggung jawab, yakni “Pembelaan” (Defences) dan “Pembenaran” (Justification). Menurut rancangan konvensi tentang tanggung jawab negara yang dibuat oleh ILC tahun 1970 dan 1980, yang termasuk dalam katagori pembelaan adalah jika:
a. Suatu negara dipaksa oleh negara lain untuk melakukan perbuatan yang dapat dipersalahkan atau melawan hukum;
b. Suatu negara melakukan tindakan itu telah dengan persetujuan negara yang menderita kerugian;
c. Suatu negara melakukan tindakan itu semata-mata sebagai upaya perlawanan yang diperbolehkan (permissible countermeasures); namn dalam hal ini tidak termasuk upaya perlawanan dengan menggunakan kekuatan senjata;
d. Para pejabat negara itu bertindak karena force majeure atau keadaan yang sangat membahayakan (extreme distress) dan tidak ada maksud sama sekali untuk menimbulkan akibat yang membahayakan .
Sedangkan yang dikatagorikan sebagai pembenaran hanya ada dua yaitu “keharusan” (necessity) dan “pembelaan diri” (self-defence).
Namun, dalam hubungan ini penting untuk dicatat penegasan bahwa “keharusan” (necessity) tidak bisa dijadikan pembenaran bagi pelanggaran kewajiban internasional suatu negara, kecuali :
a. tindakan itu merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan suatu kepentingan esensial negara itu dari suatu bahaya yang sangat besar dan sudah sedemikian dekat;
b. tindakan itu tidak menimbulkan gangguan yang serius terhadap kepentingan esensial dari negara tersebut yang di dalamnya melekat suatu kewajiban.
Sementara itu, tindakan pembelaan diri (self-defence) dapat digunakan sebagai pembenaran terhadap suatu tindakan jika pembelaan diri itu dilakukan sebagai pembelaan diri yang sah sesuai dengan ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang penting dicatat di sini adalah bukan berarti bahwa semua tindakan pembelaan diri adalah sah, melainkan hanya tindakan pembelaan diri yang sesuai dengan Piagam PBB saja yang dianggap sah. Ketentuan itu juga berarti bahwa untuk tindakan yang sama, tetapi jika tidak dilakukan dalam rangka pembelaan diri, maka tindakan itu adalah bertentangan dengan hukum (dan karenanya tidak dapat dijadikan alasan pembenar atau pembenaran).
Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum Internasional1
Tinjauan Umum
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.
Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Ia berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip dan menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC, sehingga kalaupun rancangan Artikel itu tidak menjelma sebagai konvensi, dapat dipastikan bahwa ia akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional itu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.
Sebelum masuk ke dalam hal-hal substansial yang lebih detail, ada tiga hal penting, semacam prinsip umum, yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
1. bahwa Artikel bersifat residual, maksudnya Artikel tidak berlaku dalam hal syarat-syarat atau kondisi bagi adanya suatu perbuatan yang dipersalahkan secara internasional (internationally wrongful act) atau isi maupun implementasi tanggung jawab internasional suatu negara diatur oleh ketentuan hukum internasional khusus;2
2. bahwa hukum kebiasaan internasional akan tetap berlaku terhadap masalah-masalah yang tidak dicakup oleh Artikel, sehingga tetap terbuka bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur tentang tanggung jawab negara, misalnya mengenai tanggung jawab atas akibat-akibat yang merugikan atau membayakan yang ditimbulkan oleh suatu tindakan yang tidak dilarang oleh hukum internasional;3
3. bahwa, tanpa mengabaikan ketentuan dalam Piagam PBB, kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam Pasal 103 Artikel diutamakan berlakunya daripada kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya.4 Maksud ketentuan ini adalah untuk menyatakan secara tegas bahwa ketentuan-ketentuan dalam Artikel tidak mengesampingkan tindakan yang diambil oleh PBB mengenai pembayaran kompensasi oleh suatu negara.
Perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional(Internationally wrongful act of a state)
Artikel menentukan bahwa setiap tindakan atau perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional melahirkan pertanggungjawaban internasional negara yang bersangkutan. Perbuatan tersebut dikatakan salah hanya jika (a) berdasarkan hukum internasional ia dapat diatribusikan kepada negara itu, dan (b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Namun Artikel tidak memberi pembatasan kapan suatu negara melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Hal itu ditentukan melalui penerapan sumber-sumber ketentuan primer (ketentuan perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum internasional lainnya). Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap pertanggungjawaban organisasi internasional dan individu atau orang-perorangan. 5
Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara (Attribution of conduct to a state)
Dalam keadaan bagaimanakah suatu perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara? Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara atau pemerintah atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apa pun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara. Juga termasuk di dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak diklasifikan demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.6
Perbuatan ataun tindakan yang murni merupakan tindakan pribadi yang dilakukan seseorang, meskipun orang yang bersangkutan adalah pejabat suatu negara, tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara.7 Namun, perbuatan yang dilakukan oleh orang atau entitas yang bukan meruapakan organ negara tetapi diberi kewenangan oleh hukum nasional suatu negara untuk melaksanakan “unsur-unsur kewenangan pemerintah” (elements of govermental authority) akan dianggap sebagai perbuatan negara jika dalam kasus tertentu orang atau entitas tadi bertindak dalam kapasitas demikian.8 Sementara itu, jika organ suatu negara sedang melaksanakan tugas untuk membantu negara lain, maka perbuatan organ negara tadi akan dianggap sebagai perbuatan negara yang disebut terakhir sepanjang organ negara itu bertindak atas persetujuan serta berada di bawah kewenangan, perintah, dan pengawasan negara yang disebut terakhir dan untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang disebut terakhir tadi.9
Tindakan organ negara, atau orang maupun entitas yang diberi wewenang untuk melaksanakan unsur-unsur kewenangan pemerintahan, dipandang sebagai tindakan negara jika organ negara, orang atau entitas tersebut bertindak dalam kapasitas itu bahkan jika mereka bertindak melampaui kewenangannya atau melanggar perintah.10 Ketentuan ini dimaksudkan agar suatu negara tidak menghindar dari tanggung jawabnya dengan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh organ-organnya itu adalah tindakan yang tidak sah. Namun, dalam hal ini, tidak mencakup tindakan yang murni merupakan tindakan atau perbuatan pribadi,11 melainkan tindakan yang diakui atau tampak dilakukan pada saat organ-organ negara, orang, atau entitas tadi sedang melaksanakan fungsi-fungsi resminya.
Bahkan tindakan seseorang atau sekelompok orang yang tidak merupakan tindakan pemerintah pun dapat dianggap sebagai tindakan negara jika orang atau kelompok orang itu bertindak berdasarkan perintah negara atau berada di bawah perintah atau pengawasan negara.12 Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab atas tindakan sekelompok orang yang, misalnya, melakukan teror berdasarkan perintah negara itu. Juga, suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara akan dapat diatribusikan kepada negara jika negara tersebut mengakui dan menerima tindakan tersebut sebagai tindakannya.13 Namun, dalam hubungan ini, jika sekadar berupa pernyataan dukungan yang dinyatakan oleh suatu negara tidak cukup untuk menyatakan perbuatan itu diatribusikan kepada negara tersebut.
Pelanggaran suatu kewajiban internasional (Breach of an international obligation)
Sekalipun suatu perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara, untuk melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus dibuktikan merupakan melanggar suatu kewajiban internasional negara yang bersangkutan. Untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional, Artikel menentukan bahwa hal itu harus ditentukan secara kasus demi kasus.14
Sementara itu ditentukan pula bahwa perbuatan suatu negara tidak dianggap pelanggaran kewajiban internasional jika perbuatan itu terjadi sebelum terikatnya suatu negara oleh suatu kewajiban internasional.15 Hal ini sudah merupakan asas hukum internasional yang berlaku umum yaitu bahwa suatu perbuatan harus dinilai menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu terjadi, bukan ketika terjadinya sengketa akibat perbuatan itu (yang bisa saja baru terjadi bertahun-tahun setelah perbuatan itu).
Keadaan-keadaan yang menghapuskan kesalahan (Circumstances precluding wrongfulness)
Keadaan-keadaan tertentu, meski tidak mempengaruhi suatu kewajiban internasional, dapat menjadi alasan pembenar atas terjadinya pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, yang dengan demikian menghapuskan unsur kesalahan dari perbuatan itu. Beban pembuktiannya berada pada negara yang hendak membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban.
Contohnya, adanya persetujuan dari suatu negara atas perbuatan yang dilakukan oleh negara lain yang jika tidak ada persetujuan tersebut perbuatan tadi adalah perbuatan yang dapat dipersalahkan.16 Demikian pula tindakan yang dilakukan dalam rangka pembelaan diri sesuai dengan ketentuan Piagam PBB.17 Namun, dalam hubungan ini penting dicatat bahwa kendatipun penggunaan kekuatan bersenjata (misalnya dalam rangka pembelaan diri tadi) itu sah, tanggung bagi terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter yang berlaku dalam sengketa bersenjata (jus in bello) atau pelanggaran terhadap hak asasi yang tergolong ke dalam non-derogable tetap berlaku.18
Terdapat beberapa hal lain yang dapat membebaskan suatu negara dari kesalahan, yaitu jika perbuatan itu dilakukan karena keadaan terpaksa (force majeure), atau jika pelaku tidak mempunyai pilihan lain yang masuk akal, dalam keadaan tertekan (distress), guna menyelamatkan hidupnya atau pihak lain yang berada di bawah pengawasannya.19 Yang juga dapat membebaskan negara dari kesalahan adalah jika tindakan yang dilakukan itu merupakan keharusan (necessity). Hal ini bisa terjadi dalam hal adanya pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara kepentingan mendasar suatu negara dan kewajiban internasional negara itu. Oleh karenanya, dalil necessity ini rentan terhadap kemungkinan penyalahgunaan. Untuk menghindari penyalahgunaan itulah Artikel menentukan bahwa dalil necessity baru dapat diterima sepanjang: (a) hal itu merupakan satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan kepentingan esensial suatu negara dari bahaya besar dan segera terjadi (grave and imminent peril), (b) tidak menimbulkan gangguan serius terhadap kepentingan esensial negara yang terikat oleh kewajiban internasional itu atau masyarakat internasional secara keseluruhan.20
Selanjutnya ditegaskan pula oleh Artikel bahwa hal apa pun tidak dapat membebaskan suatu negara untuk melanggar suatu norma hukum internasional yang sudah pasti (jus cogens, peremptory norms), misalnya larangan melakukan genosida, perbudakan, agresi, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.21
Isi pertanggungjawaban internasional suatu negara (Content of the international responsibility of a state)
Ketika suatu perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional terjadi maka lahirlah suatu hubungan hukum baru antara negara-negara yang terkait, terutama kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation). Akibat hukum dari suatu perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional tidak menghilangkan keharusan untuk mematuhi kewajiban yang dilanggar.22 Dengan kata lain, pelanggaran terhadap suatu kewajiban tidaklah menghilangkan kewajiban itu. Selanjutnya, Pasal 30 Artikel menentukan bahwa suatu negara yang dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional diwajibkan untuk (a) mengakhiri perbuatan itu, (b) menawarkan jaminan yang memadai atau jaminan tidak akan mengulangi perbuatan itu.
Negara yang dipertanggungjawabkan karena melakukan kesalah menurut hukum internasional berkewajiban untuk melakukan perbaikan penuh atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Kerugian itu mencakup kerugian material maupun moral. Bentuk atau jenis perbaikan (reparation) itu mencakup restitusi (restitution), kompensasi (compensation), dan pemenuhan (satisfaction).23
Restitusi adalah tindakan untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran sepanjang hal itu secara material tidak mustahil atau sepanjang tidak merupakan suatu beban yang tidak proporsional. Restitusi hanya mencakup pengembalian hal-hal sebelum kejadian, sedangkan kerugian lebih lanjut merupakan masalah kompensasi.24 Adapun kompensasi pengertiannya adalah bahwa suatu negara berkewajiban untuk memberi kompensasi atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya yang dipersalahkan menurut hukum internasional sepanjang hal itu tidak menyangkut hal-hal yang telah dilakukan secara baik melalui restitusi.25 Sementara itu, menyangkut soal pemenuhan (satisfaction), Artikel menentukan bahwa hal itu dilakukan sepanjang restitusi atau kompensasi tidak berlangsung baik atau tidak memuaskan. Ia dapat berupa pengakuan telah melakukan pelanggaran, pernyataan menyesal, atau permohonan maaf secara formal atau sarana-sarana lain yang dipandang tepat.26
Tindakan balasan (Countermeasures)
Negara yang menderita kerugian karena perbuatan negara lain diperbolehkan melakukan tindakan balasan yakni berupa tindakan tidak melaksanakan kewajiban internasional tertentu dalam hubungan dengan negara yang melakukan pelanggaran namun semata-mata dengan tujuan agar negara yang melakukan pelanggaran itu berhenti melakukan pelanggaran dan melakukan perbaikan penuh.27 Namun tindakan balasan ini mengandung bahaya atau risiko yaitu jika ternyata terbukti bahwa justru tindakan negara yang mulanya dianggap melanggar itu adalah tindakan yang sah menurut hukum internasional maka tindakan balasan itulah yang menjadi tindakan yang tidak sah. Di samping itu, harus dibedakan pengertian tindakan balasan dalam rangka tanggung jawab negara ini dan pembalasan (reprisal) yang dikenal dalam hukum yang berlaku dalam sengketa bersenjata atau hukum humaniter, juga berbeda dengan tindakan penjatuhan sanksi, penghentian atau pengakhiran suatu perjanjian. Countermeasures ini lazimnya terjadi dalam konteks bilateral.
Tanggung Jawab Individu Dalam Hukum Internasional
Tinjauan Umum
Seseorang yang bertindak atas nama suatu negara juga dapat dipertanggung-jawabkan secara individual.28 Sehingga, meskipun suatu negara bertanggung jawab atas suatu perbuatan yang dipersalahkan (a wrongful act) yang dilakukan oleh para pejabatnya, para pejabat itu secara individual juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana untuk perbuatan yang sama, khususnya yang menyangkut pelanggaran terhadap hukum sengketa bersenjata (hukum humaniter) dan tindak pidana internasional lainnya.29
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan Artikel, jika seorang individu melakukan suatu tindak pidana internasional ia tetap dapat dituntut pertanggung-jawabannya secara individual, meskipun orang yang bersangkutan pada saat melakukan perbuatan itu berkedudukan sebagai organ negara. Ketentuan ini menjadi penting untuk mencegah terjadinya keadaan di mana seseorang berdalih di balik statusnya sebagai organ negara untuk menghindarkan diri dari tanggung jawabnya atas tindak pidana yang telah dilakukannya.
Jenis-jenis tindak pidana internasional
Ada tiga sumber untuk menemukan perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana internasional, yaitu:30
1. tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang dalam praktik hukum internasional;
2. tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional;
3. tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia.
Dengan telah berlakunya Statuta Roma (Rome Statute, selanjutnya disebut “Statuta”), yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC), pada tanggal 17 Juli 1998, jenis-jenis tindak pidana menurut ketiga sumber itu terangkum dalam Pasal 5 Statuta, walaupun tidak seluruhnya, yang mengatur tentang yurisdiksi ICC, yaitu:
a. Kejahatan Genosida
b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan;
c. Kejahatan Perang;
d. Agresi.
Yang dimaksud dan termasuk ke dalam kejahatan Genosida adalah salah satu atau lebih dari perbuatan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama, seperti :
a. membunuh anggota kelompok;
b. menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
c. sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian;
d. memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam suatu kelompok;
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya.31
Sedangkan yang dimaksud dan yang termasuk ke dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah salah satu dari beberapa perbuatan berikut yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap penduduk sipil:
a. pembunuhan;
b. pembasmian;
c. perbudakan;
d. deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa, atau berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya;
h. penindasan terhadap suatu kelompok yang dapat dikenali atau terhadap suatu kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, jender/jenis kelamin, atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa;
j. kejahatan rasial (apartheid);
k. perbuatan tidak manusiawi yang serupa, yang dengan sengaja mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap badan, mental, atau kesehatan fisik seseorang.32
Adapun yang dimaksud dan yang termasuk ke dalam kejahatan perang adalah mencakup sejumlah perbuatan atau tindakan yang sangat luas yakni:
a. pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu:
1. sengaja melakukan pembunuhan;
2. penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk percobaan-percobaan biologis;
3. segaja menimbulkan penderitaan yang berat, atau luka badan maupun kesehatan yang serius;
4. perusakan secara luas dan perampasan terhadap harta benda, yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan secara melawan hukum dan semena-mena;
5. pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi lainnya untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh;
6. sengaja melakukan pencabutan hak tawanan perang atau orang-orang yang dilindungi lainnya atas pengadilan yang adil dan wajar;
7. deportasi atau pemindahan atau penahanan secara melawan hukum;
8. penyanderaan.
b. pelanggaran berat terhadap hukum dalam kerangka hukum internasional, mencakup 26 jenis perbuatan, yaitu:
1. dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil atau terhadap orang sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam pertempuran;
2. dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap sasaran sipil yang bukan merupakan sasaran militer;
3. dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap personel, instalasi-instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam PBB, sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum internasional tentang konflik bersenjata;
4. dengan sengaja melancarkan serangan yang diketahuinya bahwa serangan itu akan menimbulkan kematian atau cedera terhadap penduduk sipil, atau kerusakan terhadap sasaran sipil, atau mengakibatkan kerusakan yang meluas, sangat berat dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara tegas melampaui batas dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi keuntungan-keuntungan militer yang nyata dan langsung;
5. penyerangan atau peledakan kota, desa-desa, tempat tinggal, dan gedung yang tidak dilindungi dan bukan sasaran militer;
6. pembunuhan atau melukai kombatan yang sudah menyerah yaitu mereka yang sudah meletakkan senjatanya atau sudah tidak lagi memiliki sarana untuk melawan;
7. penggunaan bendera gencatan senjata, tanda-tanda atau seragam militer musuh atau PBB, juga emblem pembeda (distinctive emblem) yang diatur dalam Konvensi Jenewa, dengan tidak semestinya, yang mengakibatkan kematian atau luka berat;
8. pemindahan secara langsung maupun tidak langsung oleh kekuatan pendudukan (occupying power) terhadap sebagian penduduk sipilnya ke dalam wilayah yang diduduki, atau deportasi maupun pemindahan seluruh atau sebagian penduduk yang tinggal di daerah yang diduduki di dalam maupun keluar daerah mereka;
9. secara sengaja melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau amal, bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dan luka-luka dikumpulkan, sepanjang tempat-tempat itu bukan untuk kepentingan militer;
10. mewajibkan orang yang dalam kekuasaan pihak lawan untuk melakukan mutilasi fisik, atau untuk percobaan medis atau keilmuan apa pun yang tidak dibenarkan secara oleh medis, kesehatan gigi, atau perawatan rumah sakit terhadap seseorang yang dilakukan di luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya serius terhadap kesehatan orang itu;
11. membunuh atau melukai orang sipil dari negara atau tentara musuh;
12. menyatakan bahwa tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan;
13. penghancuran dan penyitaan barang milik musuh kecuali perusakan atau penyitaan tersebut terpaksa dilakukan demi kepentingan atau keperluan konflik;
14. menyatakan penghapusan, penangguhan, atau tidak dapat diterimanya hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak musuh dalam suatu pengadilan;
15. melakukan pemaksaan terhadap penduduk pihak lawan untuk ikut dalam operasi perang melawan negaranya sendiri, bahkan jikalaupun mereka berdinas dalam tentara musuh sebelum permulaan perang;
16. perampasan kota atau tempat bahkan dengan penyerangan;
17. penggunaan racun atau senjata beracun;
18. penggunaan asphyxiating, gas beracun atau gas-gas lainnya dan semua cairan, bahan-bahan, atau peralatan-peralatan yang beracun;
19. penggunaan peluru yang dengan mudah meluas dan hancur dalam tubuh manusia, seperti peluru dengan selubung keras yang tidak seluruhnya menutupi ujung peluru atau ujung peluru tersebut ditoreh;
20. menggunakan senjata, proyektil, atau bahan dan metode perang yang pada dasarnya dapat menyebabkan luka yang berlebihan atau tidak perlu atau secara inheren dan membabibuta, dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional mengenai konflik bersenjata, yang mana senjata, proyektil peluru, dan bahan-bahan, serta metode tersebut secara komprehensif dilarang dan dicantumkan dalam lampiran Statuta ini melalui amandemen berkaitan dengan Pasal 121 dan 123;
21. penghinaan terhadap martabat seseorang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan; atau
22. pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran dan kehamilan secara paksa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) f, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang juga diatur dalam Konvensi Jenewa;
23. penggunaan penduduk sipil atau orang yang dilindungi untuk membuat suatu wilayah militer atau pasukan militer immune dari operasi militer;
24. dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap bangunan, bahan-bahan, unit-unit, alat transportasi, dan personel medis yang menggunakan emblem pembeda (distinctive emblem) dalam Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
25. dengan sengaja menggunakan kelaparan penduduk sipil sebagai metode berperang dengan cara menghentikan persediaan bahan-bahan yang dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup, termasuk menghalangi bantuan bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa;
26. mempekerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah umur limat belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakan mereka untuk ikut serta secara aktif dalam pertempuran;
c. dalam hal konflik bersenjata nasional (non-international armed conflict), pelanggaran berat terhadap Pasal 3 ketentuan yang bersamaan (common articles)33 dari keempat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ikut serta secara aktif dalam pertempuran, termasuk di dalamnya anggota tentara yang telah meletakkan senjatanya serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka, ditahan atau sebab-sebab lainnya:
1. kekerasan terhadap jiwa dan raga, khususnya segala macam pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam, dan penyiksaan;
2. penghinaan terhadap martabat seseorang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan;
3. penyanderaan;
4. penghukuman dan pelaksanaan hukuman tanpa didahului dengan putusan dari pengadilan yang dibentuk secara teratur yang memberikan segenap jaminan hukum yang diakui sebagai keharusan.
d. pelanggaran berat lainnya terhadap hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata nasional dalam kerangka hukum internasional, yang mencakup 12 macam perbuatan, yaitu:
1. dengan sengaja melancarkan serangan terhadap penduduk sipil atau orang sipil yang tidak terlibat langsung dalam peperangan;
2. dengan sengaja menyerang bangunan, material, unit-unit, dan transportasi serta personel medis yang menggunakan emblem pembeda (distinctive emblem) dalam Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
3. dengan sengaja menyerang personel, instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi penjaga perdamaian PBB, sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum internasional tentang konflik bersenjata;
4. dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau amal, bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dan luka-luka dikumpulkan, sepanjang tempat-tempat itu bukan untuk keperluan militer;
5. merampas kota atau tempat bahkan dengan penyerangan;
6. melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran dan kehamilan secara paksa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) f, sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap Pasal 3 ketentuan yang bersamaan yang terdapat dalam keempat Konvensi Jenewa;
7. mempekerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah umur limat belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakan mereka untuk turut serta secara aktif dalam pertempuran;
8. memerintahkan pemindahan lokasi penduduk sipil untuk alasan-alasan yang berkaitan dengan konflik, kecuali untuk alasan keamanan atau alasan militer mengharuskannya;
9. membunuh atau melukai tentara lawan dengan curang;
10. menyatakan bahwa tidak akan ada tempat tinggal yang diberikan;
11. mewajibkan orang yang berada dalam kekuasaan pihak lawan untuk melakukan mutilasi fisik, atau untuk percobaan medis atau keilmuan apa pun yang tidak dibenarkan oleh perawatan medis, gigi, atau rumah sakit terhadap seseorang yang dilakukan di luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya serius terhadap kesehatan orang itu;
12. mengharuskan atau merampas harta benda pihak lawan kecuali tindakan-tindakan tersebut terpaksa dilakukan demi kepentingan atau kebutuhan konflik.