Jumat, 20 April 2012

MEMAKNAI EMANSIPASI WANITA DI ERA MODERN: MENDOBRAK ALUR PEMAHAMAN KONSERVATIF NAN MENGHAMBAT

oleh
IGN Parikesit Widiatedja
Putu Eka Rosariani

 Tak dapat dipungkiri bahwa emansipasi menginterpretasi persilatan makna dan persepsi dengan selalu mengundang beragam tanggapan dan pendapat. Di era modern, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi serta kecepatan akses informasi, wanita telah banyak berkiprah di luar ranah domestiknya, sebagai ibu rumah tangga. Mereka yang umumnya berkisar pada usia 18 sampai 35 tahun, telah mencapai jenjang atau jalur karir yang potensial dan strategis, dan menempati posisi sederajat dengan lawan jenisnya. Tak ada lagi tempat yang tabu bagi wanita untuk berebut, bertengger di posisi puncak pemerintahan, ataupun top-level perusahaan.

 Pada hakikatnya, emansipasi wanita merupakan ikhtiar pendobrakan dari belenggu status sosial ekonomi yang rendah atau pengerdilan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang sejalan dengan potensinya. Ia dapat pula dikatakan sebagai suatu gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk meningkatkan harkat dan martabatnya dari kesenjangan kaum pria demi teraihnya kesetaraan. Segala realitas asimetris ini lahir sebagai akibat dari proses indoktrinasi dan habituasi dari kalangan-kalangan tertentu yang primordial, egois, dan elitis.

 Kesetaraan yang jamak diperjuangkan wanita bukan dimaknai dengan kesamaan dalam setiap hal mengingat perbedaan secara kodrati tak dapat dihindarkan. Pria dan Wanita tetap memiliki jati diri, identitas, dan karakter sejalan dengan tugas, pokok, dan fungsi yang tidak dapat digeneralisasi. Kesetaraan lebih dimaknai sebagai kesamaan dalam penghargaan manusiawi atas harkat dan martabat pria dan wanita sebagai sesama makhluk Tuhan. Tentu tidak dibenarkan apabila pria dengan segala kelebihannya selalu “menjajah” kaum wanita seperti yang terjadi pada era Kartini. Wanita pun berhak mengisi diri dengan pendidikan yang tinggi dan berkualitas, serta berlatih diri menjadi mandiri dan pemberani yang kan menjelma menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Bagi beberapa kalangan, emansipasi yang diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ini belum berdampak signifikan. Argumentasi ini merujuk pada masih banyaknya kasus yang menimpa wanita akibat perlakuan diskriminatif yang tak jarang justru dilakukan oleh kalangan terdidik dan berpenampilan religius. Sementara di sisi lain, beberapa kalangan lainnya justru menuding kebablasan dan bahkan merendahkan harkat dan wanita itu sendiri. Proses dialektika ini tentu tak lepas dari “taksu” wanita yang merupakan perpaduan kelembutan, sensualitas dan ketegaran sehingga tak akan pernah habis untuk di kupas lebih jauh.

 Emansipasi: Antara Mimpi dan Realitas

 Lantas bagaimana dengan kenyataan emansipasi di era modern? Emansipasi mengajak wanita untuk mendapatkan kebebasan layaknya laki – laki, hak untuk berkarir, hak untuk bercampur baur dengan laki – laki, dan hak untuk melakukan pekerjaan yang biasanya didominasi oleh kaum Pria. Sekilas emansipasi telah menunjukkan gaungnya dimana banyak wanita yang telah berada di puncak karier setelah merintis usaha dan prestasinya dari nol seperti Megawati Soekarnoputri, Sri Mulyani, Meutia Hatta, Marie Elka Pangestu, Karen Agustiawan, dan Susi Susanti.

 Dibalik guratan prestasi dan lautan apresiasi yang dialamatkan oleh kaum wanita, tentu kita harus berbesar hati mengakui bahwa masih terdapat kasus-kasus yang mengindikasikan emansipasi wanita bagi sebagian kalangan adalah kemustahilan. Banyak kasus menimpa wanita lemah selalu terkungkung dalam ketidakberdayaan. Kasus – kasus yang terjadi pada kehidupan rumah tangga misalnya menyangkut perceraian dengan alasan beragam bentuk dan versinya, Sebagai contoh kasus mantan anggota DPRD Bali yang tega memalsukan tanda tangan demi bisa menikahi wanita idaman lain (WIL). Tak ayal, peristiwa memilukan ini seakan menjadi dasar pembenar bagi kaum pria untuk selalu menjajah wanita dalam berbagai kondisi dan situasi. Tentu masih tergiang dalam ingatan kita kasus yang menimpa Siti Nurjazilah alias Lisa. Wanita yang berasal dari Malang tersebut mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang cukup tragis. Bagaimana tidak, kekerasan yang dilakukan oleh suaminya tersebut telah mengakibatkan wajah dan leher lisa rusak akibat penyiraman dengan air raksa yang dilakukan secara membabi buta dan biadab. Akibatnya, ia pun harus menjalani operasi face off selama kurang lebih 16 kali.

Namun dibalik rentetan cobaan yang dialaminya, keikhlasan, ketegaran, dan kepasrahan yang ditunjukkan Lisa telah menginspirasi wanita-wanita Indonesia lainnya untuk selalu tabah dan pantang menyerah dalam memperjuangkan hak-haknya. Merujuk data yang dilansir oleh Komnas Perempuan, pada periode 1998-2010 terdapat kasus kekerasan terhadap kaum wanita yang mencapai 295.836 kasus. Sepertiga dari jumlah tersebut adalah kekerasan yang menyangkut seksual. Dari sisi lokasi kejadian, lebih dari dua pertiga kasus di atas terjadi dalam ranah personal atau domestik. Itu artinya, dalam banyak kejadian korban memiliki hubungan darah atau relasi intim dengan korban. Maka tak heran apabila data tersebut juga menyatakan bahwa 96% dari jenis kekerasan yang dilakukan merupakan bentuk dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Serentetan kasus yang menimpa para wanita di atas menjadi batu sandungan bagi gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Tentu realitas ini tak dapat dilepaskan dari pemahaman konservatif nan menghambat dari kalangan-kalangan tertentu yang tidak setuju dan tidak ikhlas emansipasi berjalan konsisten di Indonesia. Pengaruh kurangnya akses pendidikan, keterbatasan ekonomi, pengaruh struktur sosial dan budaya primordial hingga yang paling berbahaya, yakni ego-pribadi, menjadi beberapa modus utamanya. Tak ayal, para penggiat emansipasi pun harus bersatu padu untuk secara progresif dan berkelanjutan selalu menyuarakan gerakan yang dipelopori oleh R.A Kartini ini.

 Emansipasi dan Pintu Kemajuan Bangsa

 Ditinjau dari segi kodrati, kaum wanita memiliki andil yang kontributif bagi kemajuan bangsa, khususnya dari sisi generasi muda. Merekalah yang akan menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anak yang dilahirkannya. Lalu menjadi ibu yang dapat membimbing anak-anaknya menjadi anak yang sehat, cerdas, dan berintegritas yang kan menjelma menjadi para generasi muda wujud unggul. Maka, sangatlah beralasan apabila keberadaan kaum wanita harus di hormati dan dilindungi dari berbagai kekerasan dan penganiayaan yang mengakibatkan segala potensinya menjadi sia-sia dan percuma. Apabila dicermati lebih jauh, kebangkitan gerakan emansipasi di Indonesia memiliki korelasi yang sangat erat dengan kemajuan bangsa.

Dari berbagai pengamatan dan survey empiris, wanita-wanita yang telah memperlihatkan tindakan emansipatif menjadi sumber inspirasi bagi beberapa kalangan, yang umumnya adalah generasi muda. Mereka telah menjadi panutan baru alias guru kehidupan sejati layaknya oase ditengah krisis keteladanan yang menyelimuti bangsa kita. Kisah inspiratif Ibu Hj. Andi Rabiah atau yang lebih populer dengan nama Suster Apung layak menjadi contoh. Ia merupakan refleksi perawat dedikatif yang menghabiskan hidupnya untuk membantu sesama di daerah kepulauan. Walaupun hasil gaji yang diterima tidaklah besar dan tanpa menerima jaminan asuransi, ia tetap mengabdikan dirinya untuk membantu pasien yang membutuhkan jasanya. Dalam menjalankan tugasnya, ia harus menggunakan perahu dan menerjang ombak dengan tujuan mendatangi orang yang membutuhkan pertolongannya. Seakan tak peduli dengan keselamatan jiwanya, di pelosok mana pun ia datang untuk menolong. Tak terasa, 30 tahun ia telah mendedikasikan hidupnya untuk masyarakat lemah dan terpinggirkan.


 Di samping kisah menyentuh di atas, terdapat pula wanita muda, para profesional di bidangnya, yang menjalani karier dan pekerjaannya dengan semangat dan dedikasi luar biasa hingga menuai prestasi dan layak menjadi inspirasi. Mereka diantaranya: Novelis Ayu Utami, Aktris Agnes Monica, Penyanyi dan Novelis Dewi Lestari, Pecatur Irene Kharisma, Aktivis Perempuan Dita Indah Sari hingga politikus Rike Dyah Pitaloka. Mereka seakan membuktikan bahwa wanita pun dapat menunjukkan eksistensinya yang dalam beberapa hal justru lebih unggul dari kaum pria, tanpa harus meninggalkan kodratnya sebagai seorang wanita.


 Terlepas dari masih banyaknya perdebatan tentang gerakan emansipasi wanita di Indonesia, kita harus berbesar hati mengakui peranan dan kontribusi wanita bagi kemajuan suatu bangsa. Keberadaan pepatah di balik lelaki hebat terdapat wanita hebat, menjadi salah satu contohnya. Bahkan tungkilan ayat salah satu agama kurang lebihnya menyebutkan bahwa dimana para wanita berbahagia, disitulah para dewa bersemayam dan dimana para wanita menderita, segala ritual menjadi tiada berguna. Semoga, seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan, pendewasaan dari masyarakat tradisional, dan kebijaksanaan dari golongan primordial-elitis, gerakan emansipasi wanita menjadi pintu pembuka bagi terurainya satu demi satu segala permasalahan bangsa demi hari esok yang lebih baik.

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...