Minggu, 22 Mei 2011

PERDEBATAN SEPUTAR LIBERALISASI
DAN PILIHAN KEBIJAKAN INDONESIA


Mendengar kata liberalisasi, para intelektual secara reaksioner memiliki argumennya masing-masing baik yang pro ataupun kontra. Adanya kutub kontradiktif ini dapat diidentifikasi dari asal disiplin ilmu, cara pandang, pemahaman dan pengalaman yang dihadapi. Bahkan asal negara mereka pun (negara maju, berkembang atau terbelakang) terkadang turut memberikan andil. Diskursus akademik bahkan menimbulkan suatu perdebatan yang cukup sengit. Dari perspektif keilmuan, proses dialektika ini merupakan kelaziman, ketika muncul suatu konstruksi pemikiran atau teori baru langsung mematik respon dari pihak-pihak lainnya. Tak pelak, kita akan selalu dituntut melakukan ikhtiar penajaman pikiran secara konsisten dan berkesinambungan agar tak tertinggal gerbong kereta perkembangan yang terjadi. Sebagai ilustrasi, dalam mazhab ekonomi saja telah muncul sederet warna pemikiran baik yang bercorak liberalis, sosialis ataupun pertautan diantara keduanya. Mazhab Merkantilisme, Klasik, Neo-klasik, Sosialis, Keynes dan Neo-keynes adalah sebagian kecil diantaranya.

Pada hakekatnya silang pandang antar pihak yang menentang dan mendukung liberalisasi terkonsentrasi pada penempatan posisi peran negara dalam mengatur aktivitas ekonominya. Merujuk pada pemikiran George Jellinek, apakah status mereka dalam posisi yang positif (campur tangan) atau status negara dalam posisi yang negatif (tidak ikut campur tangan)? Penulis beranggapan muara dari segala bentuk perseteruan ini sesungguhnya berasal dari keinginan manusia itu sendiri. Jeremy Bentham mengatakan bahwa kehidupan manusia sesungguhnya didorong oleh dua keinginan kuat yakni berusaha untuk mencapai kesenangan dan berusaha untuk menghindari penderitaan. Paradigma egosentris ini menyebabkan manusia selalu gigih mempromosikan cara-cara baru untuk memuaskan libido keinginannya itu. Sederet cara pun ditempuh termasuk menggunakan isu liberalisasi sebagai dalil dan intervensi pemerintah sebagai proteksi keinginan mereka.

Saham penting kontribusi pemikiran kaum liberalis merupakan konstruksi pembiaran pengambilan keputusan secara terdesentralisasi dalam aktivitas perekonomian untuk mendorong terciptanya efisiensi dan menghindari high cost economy. Tiada ruang kompromi bagi peran negara dan ia pun harus terpinggirkan karena merupakan sumber inefisiensi. Sementara itu, mereka yang kukuh menginginkan intervensi pemerintah berargumen bahwa fungsi pemerintah sebagai pemegang otoritas dan legitimasi diperlukan untuk mengeliminir repetisi masalah akibat pemberlakuan liberalisasi yang kerap meninggalkan borok berupa jurang perbedaan diantara konfigurasi negara-negara di dunia.

Berangkat dari realitas di atas, tujuan adanya pengantar mengenai perdebatan liberalisasi ialah memberikan kilasan singkat tentang ide, pemikiran, dan teori ahli-ahli ekonomi, hukum dan politik seraya mencermati dasar analisis mereka dalam merespon fenomena liberalisasi modern. Pada alur ekspektasi berikutnya, kita mampu melihat dan menganalisisnya dengan mengkaitkannya dengan kondisi aktual di Indonesia utamanya terkait liberalisasi pariwisata. Sejauh mana kesiapan kita dan bagaimana masa depan pariwisata kita tentu berangkat dari pemahaman kita terhadap apa yang seyogyanya terjadi (das sollen) dengan apa yang senyatanya terjadi (das sein).

a. Mereka yang mendukung Liberalisasi

Mereka yang pertama kali meyatakan dukungan terhadap konstruksi liberalisasi digolongkan dalam mazhab Phisiokrat yang sejatinya merupakan oposisi ekstrim dari mazhab sebelumnya yakni mazhab Merkantilisme. Mazhab ini berakar dari falsafah dasar dan haluan dari segala rupa pandangan yang diatur berdasarkan kekuatan-kekuatan hukum alam atau the order of things according to natural law. Kehidupan bermasyarakat harus berjalan dalam koridor hukum kekuatan-kekuatan yang secara alamiah harus mengatur relasi intensif di antara individu di kalangan masyarakat. Pada gilirannya mazhab ini cenderung menganjurkan kebebasan individu dan ekonomi, Free Trade, Laissez Faire. Tokoh-tokohnya antara lain Francois Quesnay, Anne Robert, dan Jacques Turgot.

Penggalan pemikiran ini lantas dilanjutkan oleh para pemikir mazhab Klasik terutama Adam Smith sang ikon yang saat itu menganjurkan penerapan liberalisasi dan kebebasan ilmiah. Timbulnya keseimbangan dalam hal pengawasan dan permintaan serta pasar yang kompetitif, menjadi prima kausanya. Mazhab ini menolak campur tangan pemerintah dan mendukung sepenuhnya kebebasan bagi berbagai perusahaan. Para tokoh pemikir lainnya ialah Thomas R. Malthus, David Richardo, John Stuart Mill, Nassau William Senior, David Hume, dan Jean Baptis Say. Bagi mereka, pasar bebas diyakini sebagai ukuran absolut menuju pertumbuhan ekonomi yang akan menetes (trickle down effect) dan membuat kaum papa sejahtera.

Adam Smith dalam karya fenomenalnya “an Inquiry to The Nature and Causes of Wealth Nation mengemukakan gagasannya bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi bagi suatu negara, dibutuhkan 2 (dua) kondisi yakni desentralisasi kekuasaan dan ekonomi pasar. Dengan demikian, selama mekanisme pasar berlangsung maka tindakan individu yang didorong oleh kepentingan sendiri akan berjalan paralel dengan kebutuhan publik. Spektrum ini didukung oleh David Richardo yang berpendapat bahwa dua negara dapat menarik keuntungan dari perdagangan timbal balik bahkan jika salah satu diantaranya lebih efisien dalam memproduksi barang dan jasa. Ia berhasil merumuskan The Law od Diminishing Return yang menjadi salah satu tonggak eksistensi ilmu ekonomi. Lensa analisisnya menyebutkan bahwa jika semakin lama semakin banyak dosis input buruh dan modal dimasukkan ke sebidang tanah tertentu, maka lambat laun pertambahan outputnya semakin kecil dan menurun. Pada perkembangan selanjutnya, Paul Samuelson dan Richard Posner sepakat dengan kredonya bahwa segala sesuatu yang baik itu adalah efisien sejalan dengan kerangka pemikiran David Richardo.

Mazhab Neo-klasik kemudian mempertegas penjelasan Mazhab Klasik. Herman Heinrich Gossen misalnya berpendapat bahwa di satu pihak kebutuhan dan selera manusia akan barang dan jasa mencakup jumlah yang tak terbatas, disisi lain sumber daya dan dana yang tersedia selalu terbatas. Pemikiran ini tak berbeda jauh dari para pemikir Neo-klasik lainnya seperti Alfred Marshall, Irving Fisher, dan Vilfredo Pareto. Milton Friedman tokoh penerus mazhab Neo-klasik lantas menegaskan bahwa ada satu dan hanya satu tanggung jawab sosial ekonomi yakni menggunakan seluruh sumber dayanya untuk aktivitas yang mengabdi pada akumulasi laba.

Tengoklah pula Walter Nicholson yang mengatakan bahwa campur tangan pemerintah dalam kebijakan ekonomi dapat memunculkan rent seeking behavior yang beliau terjemahkan sebagai firm or individuals influencing government policy to increase their own welfare. Gejala tak sehat ini hanya akan memunculkan individu-individu yang tidak memiliki daya saing kuat, akan memperoleh kesejahteraan dengan mempengaruhi kebijakan pemerintah kearah yang lebih menguntungkan kepentingannya sendiri atau kroninya. Kegelisan ini oleh Yoshihara Kunio diistilahkan sebagai kapitalisme semu (ersatz capitalism). Pada analisisnya, modal-modal yang beredar di negara-negara berkembang kerap didominasi oleh modal asing dan kaum kapitalis etnis tertentu yang sebagian besar pemburu rente serta mengandalkan proteksi pemerintah dalam bentuk konsesi, lisensi, hak monopoli, dan subsidi pemerintah. Yoshihara nampaknya merespon kebijakan-kebijakan negara berkembang yang selalu enggan menerapkan kebijakan liberalisasi dan justru memberikan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja.

b. Mereka yang menolak liberalisasi

Dari alur sejarah, mazhab yang pertama kali mencetuskan pemikiran-pemikiran konkret di ranah interaksi perdagangan adalah merkantilisme. Mereka menyarankan suatu istilah neraca perdagangan aktif yang berwujud surplus dari hasil jumlah nilai ekspor dikurangi nilai impor. Dengan demikian, impor harus senantiasa dibatasi dan membutuhkan peran pemerintah dalam pengawasan barang-barang impor. Selain itu, berbagai industri yang menghasilkan barang pengganti impor hendaknya diberi rangsangan (insentif), bahkan kalau memungkinkan diberikan subsidi. Para tokoh pemikir merkantilisme diantaranya Thomas Mun, Jean Baptise Colbert, Oliver Cromwell, dan Andrew Yarranton.

Pararel dengan uraian di atas, Mazhab Sosialisme lantas melanjutkan pemikiran Mazhab Merkantilisme yang notabene merupakan otokritik evaluatif terhadap kapitalisme yang menjadi ciri Mazhab Klasik. Sifat terjahat dari hak milik swasta terlihat dari berkembangnya kapitalisme. Pertumbuhan perniagaan dan industri dengan doktrin laissez Faire telah menimbulkan pemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi oleh sekelompok kecil individu. Para pemikir sosialis menyatakan bahwa sesungguhnya kaum buruh atau tenaga kerja merupakan sumber dari seluruh kekayaan dan karenanya kaum pekerja seharusnya memperoleh seluruh hasil jerih payah usahanya. Francois Noel Babeuf, Robert Owen, Sismonde de Sismodi, Edward Bellamy, Karl Marx dan Federich Engel merepresentasikan tokoh pemikir sosialisme.

Karl Marx sang maskot sosialisme ilmiah menyatakan bahwa nilai lebih yang dinikmati alat-alat produksi, merangsang untuk meningkatkan produksi demi tujuan perolehan keuntungan yang lebih besar. Demi kepentingan ambisius ini, kapitalis mengadakan alat-alat produksi yang lebih canggih melalui keuntungan-keuntungan yang dicurinya. Nilai lebih produksi bertambah dan keuntungan kapitalis ini akan menciptakan peraturan penimbunan modal (law of capital accumulation), peraturan konsentrasi modal (law of the concentration of capital), dan peraturan bertambahnya kemelaratan (law of increasing misery). Pada pola destruktif berikutnya, timbullah jurang perbedaan yang besar antara kaum penguasa (borjuis) dan kaum buruh (proletar). Dari titik asumsi inilah Edward Bellamy selanjutnya menyatakan kapitalisme mengakibatkan besarnya kekejaman manusia terhadap manusia.

John Meynard Keynes, sang pionir Mazhab Keynesian menyatakan urgensi campur tangan pemerintah dan pendanaan langsung dari pemerintah untuk menanggulangi kemerosotan investasi swasta dan daya beli. Rekomendasi Keynes ini menjadi cikal bakal konsep negara kesejahteraan (welfare state) dimana prakarsa dan kontribusi negara yang besar tidak saja diekspektasikan untuk menjamin keamanan internal dan eksternal, tetapi lebih jauh bertanggungjawab atas sejumlah besar ketidakadilan dari suatu sistem melalui sejumlah intervensi ekonomi dan sosial.

Amartya Sen, peraih nobel ekonomi 1998 menyatakan liberalisasi sebagai proses graduatif yang membuat jurang si miskin dan si kaya semakin lebar. Mekanisme pasar mustahil bisa berfungsi adil jika tak ada kekuatan dalam memperoleh keunggulan informasi dan pengelolaan sumber daya. Ia juga takkan berfungsi optimal jika tak ada piranti lain yang membuka akses bagi semua orang untuk berperan serta. Alhasil, tanpa aturan main yang bisa mencegah si kuat melahap yang lemah, pasar akan bermanifestasi sebagai alat perampasan ekonomi. Tak ayal, dari sinilah ketimpangan pendapatan dan kepincangan kesejahteraan dimulai.

Adam Muller beranggapan bahwa masih diperlukan peran negara yang dominan.Tanpa intervensi pemerintah, akan terjadi pensucian pemilikan kekayaan. Frederich List mengakui proteksi diperlukan sebagai kebijakan transisi. Sejalan dengan ini, John Stuart Mill menyatakan bahwa tidak adanya campur tangan pemerintah, tidaklah dengan sendirinya menghasilkan kemerdekaan maksimum. Terdapat banyak rintangan yang hanya performansi pemerintah yang dapat mengatasinya. Landerdale menyatakan kekayaan publik yang utama bukan swasta, mengingat ekonomi publiklah yang diperlukan di setiap fase kehidupan masyarakat.

Menyentuh area perdagangan, Gunnar Myrdal mengungkapkan ketidakseimbangan penerapan perdagangan bebas dimana kekuatan pasar tidak bergerak kearah persamaan. Apabila dibiarkan mengambil jalnnya sendiri, pembangunan ekonomi cenderung memberikan imbalan kepada pihak-pihak yang sudah beruntung (well endowed) dan akan mengerdilkan usaha mereka yang kebetulan hidup di wilayah terbelakang. Rendahnya tingkat pembangunan ekonomi disertai rendahnya integrasi nasional menjadi struktur penyebab perdagangan menimbulkan dampak mundur dan memperkuat daya stagnasi serta regresi.

Selanjutnya Hernando Dos Santos menyebutkan efek perdagangan bebas sebagai ketergantungan teknologi industri. Beliau mengungkapkan dalam mereproduksi sistem produksi dan hubungan internasional, kapitalisme hanya menciptakan ketergantungan, penderitaan, dan marginalisasi soaial di dalam batas-batas wilayahnya. Perkembangan yang dihasilkan menjurus pada akumulasi defisit neraca pembayaran yang pada gilirannya menciptakan lebih banyak ketergantungan dan eksploitasi.

Akhirnya, Joseph E. Stiglitz, Guru Besar Columbia University mengemukakan teori informasi tidak sebanding (asymmetric information). Beliau berkeyakinan mekanisme pasar tak selamanya bisa berfungsi karena tidak semua pemain memperoleh akses informasi yang setara. Pada konteks inilah mekanisme pasar akan berjaya hanya dengan sejumlah pranata struktural lain seperti: pendidikan dasar, jaminan kesehatan, reformasi agrarian, dan akses terhadap keuangan yang merata sebagai deretan prasyarat kompulsif penjamin.

Sesungguhnya muara dari pemikiran mereka-mereka yang menentang liberalisasi merujuk pada ucapan John Locke bahwa “Riches means not just more gold and silver but more proportion to other countries”. John Rawls lalu mempertegasnya dengan menyatakan liberalisasi baru akan menimbulkan keadilan bagi semua pihak apabila pihak-pihak tersebut dalam kondisi dan keadaan yang seimbang. Konstruksi justice as fairness inilah yang dalam diskursus akademik kerap menjadi meta-norm dan grand theory dari mereka-mereka yang menganalisis pergerakan liberalisasi di negara-negara berkembang dan terbelakang. Ilustrasinya, adilkah mempertandingkan orang yang sakit dan orang yang sehat dalam satu lintasan lari yang sama?

c. Liberalisasi dalam Kasus Indonesia

Pilihan kebijakan Indonesia untuk tunduk dan terikat pada liberalisasi perdagangan melalui media WTO dan GATS telah melahirkan dua kutub yang kontradiktif. Kutub pertama cenderung apriori dan mensinyalir keikutsertaan Indonesia sebagai sebuah blunder yang merugikan Indonesia. Sritua Arif memaparkan rekam jejak Indonesia yang senantiasa lekat dengan masalah klasik seperti beban hutang luar negeri, defisit perkiraan berjalan, ketidakmampuan tabungan domestik, dan masalah kepincangan struktural lainnya. Christianto Wibisono mengamini pandangan Sritua Arif tersebut. Beliau bahkan mengganggap bahwa pembentukan WTO yang memperluas eskalasi perdagangan termasuk GATS, tak ubahnya seperti perjanjian dagang VOC dengan raja-raja Nusantara terdahulu. Substansi persetujuan seolah berbunyi kerjasama ekonomi, namun ujung-unjungnya adalah eksploitasi ekonomi.

Sri Edi Swasono lalu mengatakan pasar bebas melalui WTO akan meredupkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar bebas akan menutup hak demokrasi ekonomi rakyat miskin yang tanpa daya beli akan menjadi penonton, berada di luar pagar-pagar transaksi ekonomi. Ia juga melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan partikelir dan asing. Ketimpangan struktural pun terjadi dan mendorong terbentuknya polarisasi sosial ekonomi yang pada akhirnya membahayakan integrasi nasional.

Soemitro Djoyohadikusumo, arsitek ekonomi Orde Baru, membantah semua pandangan tersebut. Beliau bersikukuh bahwa liberalisasi ekonomi bukanlah barang haram sepanjang liberalisasi tersebut tidak bertentangan dengan semangat UUD 1945. Liberalisasi ekonomi dapat diterima sebagai upaya untuk memperbaiki struktur perekonomian dunia agar distribusi kesejahteraan di antara masyarakat dunia menjadi adil dan merata. Lebih jauh beliau mengungkapkan, bahwa adanya Persetujuan Pembentukan WTO yang melegalkan liberalisasi justru menjadi cambuk untuk mempercepat deregulasi sektor riil dan menghilangkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.

Pemerintah Indonesia memiliki argumentasi tersendiri terkait keikutsertaannya pada Persetujuan Pembentukan WTO. Menurut Susanto Sutoyo, Dirjen Multilateral Ekubang Departemen Luar Negeri, pengaruh positif keikutsertaan Indonesia pada WTO yang juga menjadi alasan diterbitkannya Undang-undang No 7 Tahun 1994 meliputi:

1. WTO memiliki prinsip utama untuk menjamin tindakan-tindakan nondiskriminasi antarnegara anggotanya. Implementasi prinsip ini penting bagi negara-negara yang secara ekonomi lebih kecil. Jika tak terdapat suatu sistem multilateral, maka negara-negara di dunia harus bernegosiasi satu per satu dengan negara lain. Suatu proses yang tentunya akan menguras waktu, energi dan biaya.
2. Adanya sistem penyelesaian sengketa WTO memungkinkan posisi negara kecil sejajar dengan negara-negara besar. Jika melalui jalur negosiasi bilateral, negara yang lebih kecil secara ekonomi dengan posisi tawar lebih kecil tentunya akan menjadi sasaran empuk kepentingan negara besar apabila bersengketa dengannya.
3. Pembentukan WTO dapat meningkatkan arus lalu lintas barang dan jasa. Pada gilirannya, ini akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, mendongkrak pendapatan negara serta membuat lebih disiplinnya suatu negara sehingga tidak mudah mengubah-ubah suatu peraturan yang ditujukan untuk kepentingan segelintir orang saja.
4. Selain merupakan perangkat perjanjian internasional yang menjamin implementasi prinsip nondiskriminasi di antara negara anggotanya, WTO juga menjamin perlakuan yang berbeda atau lebih fleksibel bagi negara berkembang. Melalui pengaturan ini, negara berkembang memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara yang sudah lebih dulu maju.

S.B Joedono, Menteri Perdagangan RI pada tahun 1994 memperkuat alasan-alasan tersebut. Beliau menyatakan bahwa kesediaan Indonesia menandatangani final act hasil kesepakatan Putaran Uruaguay didasari oleh keyakinan bahwa pilihan ini memberikan manfaat yang lebih besar bagi Indonesia. Persetujuan ini akan memberikan payung multilateral sebagai pengayom Indonesia dalam menghadapi mitra-mitra dagang yang lebih besar. Dengan demikian, Indonesia akan berada pada posisi yang seimbang dengan mitra-mitra dagang lainnya sekaligus mereduksi kecenderungan proteksionisme yang kerapkali dijumpai sebelum adanya Putaran Uruguay.

Argumentasi yang diungkapkan ternyata seiring sejalan dengan penjelasan Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization. Undang-undang ini menyebutkan bahwa Persetujuan Pembentukan WTO pada hakikatnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang.
Mantan Menteri Luar Negeri kita, Hasan Wirayuda mengapresiasi pilihan keikutsertaan Indonesia di dalam WTO. Beliau mengungkapkan pola interaksi perdagangan multilateral melalui WTO sangat efektif digunakan sebagai media dalam mengembangkan perdagangan Indonesia ketimbang melakukan pendekatan secara bilateral. Beliau lalu mencontohkan ketika Indonesia memenangkan tuntutan antidumping atas penjualan kertas ekspor ke Korea yang proses penyelesaian sengketanya melalui forum resmi dalam WTO.
Marie Elka Pangestu, Menteri Pedagangan kita, menyiratkan pendapat senada. Beliau menegaskan eksistensi WTO sebagai payung hukum bagi Indonesia berkaitan dengan perlindungan kerja sama perdagangan dunia. Beliau juga meyakinkan bahwa absennya Indonesia dari WTO justru akan menjadi faktor penghambat berbagai upaya dalam mengatasi ketidakpastian dalam berbagai hubungan bilateral maupun regional. Beliau kembali menegaskan strategi Indonesia dalam melakukan pendekatan yang dilakukan secara multilateral, regional dan bilateral. Indonesia tidak mungkin hanya mengandalkan kerja sama bilateral karena akan melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara berkembang, utamanya jika harus menghadapi negara-negara kuat seperti Jepang dan Amerika Serikat.

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...