Jumat, 01 Oktober 2010

Spektrum Politik dan Refleksi Tipologi Hukum di Indonesia
IGN Parikesit Widiatedja

ABSTRACT

It is inevitable if politics is the primary driving force in processing law which emerged several characteristics of its product. Due to its dominant role, the outcome of political spectrum which is on the track of democratic value is tend to spawn responsive law. Conversely, represive law is the inescapable result from the political spectrum which undertakes authoritarian value. Its parameter can be analyzed either from the regulation of general election or regional autonomy.
Key words: political spectrum, types of law

I. Latar Belakang
Setiap masyarakat yang teratur dan mampu menentukan pola-pola relasi yang bersifat permanen diantara para anggotanya merupakan golongan masyarakat dengan kecenderungan tujuan yang lebih jelas. Politik adalah bidang dalam masyarakat yang memiliki konektivitas erat dengan tujuan masyarakat tersebut. Struktur politik memberi warna penekanan pada pengorganisasian aktivitas kolektif untuk mencapai suatu tujuan. Politik dapat berdefinisi sebagai penentuan pilihan atau pengambilan sikap terhadap tujuan-tujuan sosial yang dianggap berharga, termasuk upaya-upaya untuk mencapai tujuannya tersebut atau lazim disebut sebagai politik sebagai etik. Sementara itu, politik sebagai teknik berkaitan dengan dapat tercapai tidaknya tujuan-tujuan social, serta apakah dapat digunakan sebagai sarana dalam menciptakan suatu tujuan.

Berkenaan dengan hukum, politik memiliki andil yang cukup kontributif bagi hukum utamanya ketika bersinggungan pada fase pembuatan hukum, pelaksanaan hukum hingga penegakan hukum. Dalam pola interaktifnya dengan politik, hukum seakan-akan tumpul dan lebih cenderung berposisi inferior. Konstruksi inilah yang pada gilirannya melahirkan suatu corak, identitas, atau karakter dari suatu hukum apabila dikaitkan dengan konstelasi politik dibelakangnya.
Politik pada awalnya merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan tanggungjawab itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan tanggung-jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ironisnya, pada saat ini politik hanya dipahami sebagai jembatan bagi pencapaian kekuasaan dengan menjelma sebagai ajang pertarungan kekuatan untuk menunjukkan hegemoni kelompok. Tak ayal, kepentingan ekonomi dan keuntungan finansial bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Eksistensi rakyat kerap hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan kekuasaan tersebut.
Sederet kenyataan negatif di atas tidak dapat dilepaskan dari kompetisi dan pertarungan yang tak seimbang antara hukum dan kekuasaan politik. Kemacetan politik Indonesia, dulu maupun sekarang, disebabkan oleh kekalahan hukum di depan kekuasaan politik. Hukum hanya diberlakukan untuk orang-orang yang tidak mempunyai kekuasaan, sedangkan kesalahan dan keonaran yang muncul di kalangan penguasa dan pejabat selalu ditutupi dengan berbagai cara. Pada akhirnya, hukum hingga derajat tertentu seringkali menimbulkan suatu kenyataan yang kontradiktif, yaitu hukum dalam Undang-Undang (law on the books) dengan hukum dalam tindakan (law in action). Lemahnya orientasi terhadap hukum ini menyebabkan konstitusi dan aturan-aturan hukum yang dilahirkan cenderung berubah menjadi alat pengabsah suatu tindakan, entah itu tindakan penyelenggara negara maupun rakyat. Tentu, yang lebih banyak terjadi ialah hukum dijadikan pengabsah bagi penguasa untuk membenarkan tindakannya, bukannya sarana efektif mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang sah.
Begitu dominannya faktor politik benar-benar meminggirkan peranan sebuah hukum bahkan produk ataupun sifat dari hukum yang dihasilkan tak dapat dilepaskan dari orang-orang yang memilki kewenangan secara politik. Realitas inilah yang dapat dijadikan sebuah parameter dari produk hukum apakah memang benar-benar bermanfaat dan menimbulkan keadilan bagi masyarakatnya, ataupun hanya sebagai simbol atau manifestasi dari kepentingan kelompoknya. Seperti diketahui keadilan merupakan tujuan yang hendak dicapai dari sebuah produk hukum yang ada, dimana hukum tersebut harus berlaku secara umum (formil) dan sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat (materiil).

II. PEMBAHASAN
2.1. Konsepsi Dasar Tipologi Hukum
Secara garis besar terdapat tiga tipologi hukum menurut Philippe Nonet dan Philip Selznik yang meliputi :
a. represif law
b. otonom law
c. responsif law

a. Represif law
Dalam tipologi hukum represif, hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan represif dan perintah dari yang berdaulat (pengemban kekuasaan politik) dengan memiliki kewenangan diskresioner tanpa batas. Tak hanya itu, kerap pula ditemui dominanisasi dari lembaga-lembaga negara dalam menentukan arah perkembangan hukum. Konstruksi ini bersifat positivis-instrumentalis, yaitu menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologis dan program benar. Mengamati perkembangan Indonesia, seharusnya kita sudah meninggalkan tipe represif yang mengabdi pada kekuasaan otoriter dengan ciri-ciri:
a. Institusi hukum terbuka bagi kekuasaan politik, dan tunduk pada negara;
b. hukum berperspektif resmi yang mengidentifikasikan kepentingan penguasa dengan kepentingan masyarakat;
c. kesempatan rakyat memperoleh keadilan terbatas;
d. pusat-pusat kekuasaan berada pada badan-badan pengawas khusus (kepolisian);
e. terdapat ‘dual law’ yakni ada hukum yang berprivelege dan hukum untuk rakyat;
f. orientasinya adalah tertib sosial.
b. Otonom law
Jika hukum represif mengabdi kepada kekuasaan yang represif maka hukum otonom berorientasi pada pengawasan kekuasaan represif. Dalam tipologi hukum ini, hukum dipandang sebagai institusi mandiri yang mampu mengendalikan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Tatanan hukum ini berintikan pemerintahan “Rule of Law”, subordinasi putusan pejabat pada hukum, integritas hukum, dan dalam kerangka itu, institusi hukum serta cara berpikir mandiri memiliki batas-batas yang jelas. Sifat-sifat penting dari hukum otonom ini adalah:
1. penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi.
2. adanya pengadilan yang dapat didatangi secara bebas,yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi
3. memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum baik oleh pejabat umum maupun individu-individu.
Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur. Elit penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur. Namun yang patut diwaspadai adalah keterjebakan kita kepada konsep negara hukum / the rule of law sempit dengan tipe hukum otonom di mana orientasi / tujuan hukum untuk legitiminasi juga harus dibebaskan, karena tipe hukum otonom memiliki tiga kelemahan khas:
a. orientasi yang terlalu besar pada aturan-aturan yang mendorong ke suatu konsep sempit tentang hukum (hasilnya legalisme dan formalisme birokratis)
b. pengutamaan keadilan prosedural daripada keadilan substantif
c. hukum lebih berfungsi sebagai sarana kontrol sosial.
d. responsif law
Dalam tipologi hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respons atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Tipe hukum ini mempunyai komitmen kepada hukum yang berperspektif konsumen yaitu:
a. Memperhatikan target-target manusiawi;
b. menyentuh kebutuhan manusia seutuhnya;
c. memenuhi tuntutan kebutuhan rakyat pada umumnya dan;
d. tanggap atas kasus-kasus individual.
Dalam hukum responsif, peranan besar terletak pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Pola ini akan menghasilkan hukum yang responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakatnya. Dalam perkembangan hukum responsif, timbul suatu demokratisasi, dimana dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat dan mereka "mengontrak" seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena penguasa tersebut merupakan "buruh" yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan Kontrak Sosial.
Dalam prakteknya ketiga tipologi hukum itu merupakan konsepsi yang abstrak dan hampir tidak pernah terwujud dalam bentuk-bentuk strict empiris. Yang mungkin ada adalah perpaduan dari ketiga tipologi hukum tersebut dengan unsur-unsur dari salah satu tipologi yang lebih menonjol dari lainnya. Ini berarti suatu tata hukum biasanya mencakup ketiga macam tipologi hukum tersebut dengan salah satu unsur yang lebih menonjol, yang mana dari hal tersebut dapat diidentifikasikan kedalam tipologi hukum apakah suatu tata hukum itu berada.
2.2. Penjabaran Politik Hukum di Indonesia
Berbicara mengenai politik hukum, tak dapat dilepaskan dari terminologi hukum yang bukan hanya sebagai tujuan yang ingin dicapai tetapi lebih sebagai jembatan yang akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. Untuk itu, kita perlu terlebih dahulu mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia. Pada akhirnya dapat dicari sebuah sistem hukum dan politik hukum yang bagaimana yang dapat menciptakan dan merealisasikan sebuah sistem hukum nasional.
Mengenai politik hukum sendiri tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang ada di negara kita dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan serta pelaksanaan ketentuan hukum yang ada termasuk penguatan fungsi lembaga dan para penegak hukum. Sehingga dapat terlihat bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Kondisi kebijakan politik hukum di Indonesia dapat dilihat dari Undang-undang Dasar 1945. Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi pedoman bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia khususnya menyangkut penciptaan tipologi hukum yang diinginkan. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan, bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pengaturan mengenai tipologi hukum yang dicita-citakan dapat dilihat lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 1945. Dalam pasal 27 dinyatakan bahwa:
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap penduduk berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Dari rumusan di atas, sesungguhnya dalam negara republik Indonesia tidak terdapat perbedaan dalam perlakuan hukum bagi seluruh warga negara. Persamaan kedudukan di muka hukum ini jika dikaitkan dengan tipologi hukum Nonet-Selznik telah mengarah kepada tipologi hukum yang responsif. Fakta ini terungkap pula dalam Undang-undang no. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 5 februari 2007 tersebut menyatakan bahwa dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

Adanya pemikiran pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang kemudian dilanjutkan dengan program reformasi hukum yang meliputi: politik pembuatan, penerapan dan penegakan hukum dengan semangat dan visi yang baru, sebenarnya telah diarahkan untuk menciptakan suatu bentuk tipologi hukum yang responsif dan progresif. Selanjutnya yang diperlukan adalah tindak lanjut konkrit sebagai bentuk pelaksanaan dari program-program tersebut. Jika benar-benar dapat dilaksanakan, maka baik secara langsung ataupun tidak langsung akan membawa kondisi hukum yang lebih baik yang mencerminkan tipologi hukum yang sejalan dengan ekspektasi seluruh rakyat Indonesia.
2.3. Spektrum Politik dari Masa ke Masa dan Refleksi Tipologi Hukum
Pembahasan mengenai tipologi hukum tidak bisa dilakukan secara kaku, dalam arti bahwa dari ketiganya tidak dapat dikategorikan secara mutlak mengenai seperti apakah sistem pemerintahan yang dianut dalam suatu masa tertentu. Yang ada hanyalah unsur yang lebih menonjol, tanpa melepaskan unsur-unsur dari tipologi hukum lainnya.
Setidaknya terdapat dua ciri yang menonjol yang mungkin dapat dijadikan suatu parameter dalam menilai suatu pemerintahan itu demokratis ataukah otoriter. Ciri demokratis dapat ditelusuri dari perlakuan pemerintah yang dapat mengakomodir perbedaan pendapat. Proses ini dapat dilihat dari proses pemilu yang menjadi tolok ukur dalam terciptanya suatu interaksi politik yang mengedepankan kepentingan bersama. Selain itu, sejauh mana kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul dapat terlaksana. Konsep ini merupakan hak politik dan sipil yang paling mendasar. Adanya hubungan pusat dan daerah dapat pula dijadikan parameter suatu proses demokrasi. Pembagian wewenang yang jelas, luas, dan tidak terpusat secara tidak langsung telah menarasikan adanya proses demokratisasi dalam suatu masa pemerintahan.
Ciri yang cenderung otoriter dapat ditelusuri melalui pelaksanaan pemilu, dimana biasanya terdapat suatu pembatasan-pembatasan tertentu yang pada akhirnya melahirkan suatu kelompok mayoritas yang mendominasi jalannya pemerintahan. Karena itu, tidak terdapat suatu kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Hubungan yang bersifat sentralistik antara pusat dan daerah menjadi ciri lain adanya suatu sistem yang cenderung otoriter. Pemerintah pusatlah yang menentukan segala kebijakan yang ada tanpa pernah melihat karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah.
Adanya suatu spektrum politik, baik itu yang demokratis atau otoriter tentunya berhubungan dengan ciri produk hukum yang dihasilkan. Sistem pemerintahan demokratis akan cenderung melahirkan suatu tipologi hukum yang otonom dengan unsur responsif yang lebih menonjol, sebaliknya apabila suatu produk hukum terlahir dari suatu sistem yang otoriter maka tipologi hukumnya pun menjadi otonom dengan unsur represif yang lebih dominan.
a. Masa Orde Lama 1945-1959 ( Demokrasi liberal )
Ciri yang melekat pada periode ini adalah partai-partai sangat dominan menentukan arah perjalanan negara melalui badan perwakilan rakyat, sedangkan eksekutif berada pada kondisi yang lemah dan sering jatuh bangun karena mosi partai. Pada periode ini berlaku tiga macam konstitusi yaitu: UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950 sebagai perwujudan kebijakan politik hukum saat itu. Kondisi lemahnya eksekutif dapat terlihat dari kurun waktu empat tahun (1945-1949) partai politik yang beroperasi mampu menjatuhkan pemerintahan hingga tiga kali yakni, Kabinet Syahrir I,II, dan III.

Dalam periode ini produk hukum yang dihasilkan cenderung merupakan hukum yang otonom dengan unsur responsif yang sedikit menonjol. Fakta ini dapat dilihat dari beberapa aturan perundangan seperti Undang-undang No.7 Tahun 1953 tentang Pemilu dan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 sampai Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah yang ditandai dengan:
1. Pembuatannya sangat partisipatif, melibatkan DPR secara penuh dengan jaminan kebebasan memilih sangat menonjol
2. Pengangkatan anggota konstituante dan DPR sangat kecil dan wakil-wakil yang diangkat bukanlah mewakili kekuatan pemerintah dan panitia pemilu bukan oleh pemerintah.
3. Dalam aturan mengenai pemda, daerah sangat leluasa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selain itu, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat sehingga pemerintah pusat tidak campur tangan dalam penentuan kepala daerah.
Masa ini merupakan peralihan kebijakan politik hukum dari pemerintah Hindia Belanda pada masa sebelum kemerdekaan menjadi masa setelah kemerdekaan melalui Soekarno. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda tidak pernah melaksanakan pemilu dan sistem pemerintahan bersifat sentralistik dalam hal pemerintahan daerah. Sebagai penjajah, mereka tentunya khawatir jika daerah diberikan peranan yang besar akan berakibat kepada munculnya semangat untuk memerdekakan diri dari daerah-daerah tersebut.
b. Masa Orde Lama 1959-1966 ( Demokrasi Terpimpin )

Presiden Soekarno, sejak awal tahun 1957 telah gencar mengkampanyekan gagasannya untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin yang dianggapnya sebagai demokrasi timur yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Gagasan mengenai demokrasi terpimpin ini ditandai dengan dibentuknya Dewan Nasional yang diketuai Soekarno. Anggotanya merupakan wakil-wakil golongan fungsional dan pemerintah. Demokrasi terpimpin ini merupakan awal pergeseran dari langgam liberal-pulralisme menuju langgam otoriter-organis dalam sistem politik di Indonesia.
Masa orde lama dengan satu UUD yaitu UUD 1945 ditandai dengan konfigurasi yang otoriter, ini dikarenakan partai-partai politik sangat lemah dan eksekutif yang dipimpin presiden sangat kuat. Bahkan Presiden merangkap sebagai Ketua DPA yang dalam praktik menjadi pembuat dan selektor produk legislatif. Kekuasaan politik dari presiden ditambah mulai menonjolnya dukungan militer khususnya angkatan darat menyebabkan peran partai politik surut dan berada dalam kendali Soekarno.
Dalam masa ini produk hukum yang dihasilkan adalah otonom dengan kecenderungan sifat yang menonjol represif otoriter. Hal ini terlihat dari Penpres No 6 Tahun 1959 yang disusul dengan Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Pada masa ini tidak dihasilkan produk hukum mengenai pemilu. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terlalu demokratis dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1948 diubah melalui Undang-undang No.18 Tahun 1965, yang menggariskan kebijakan untuk mengembalikan dan memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat. Kepala daerah diberi fungsi rangkap, yaitu alat dekonsentrasi dan desentralisasi. Dalam prakteknya fungsi dekonsentrasi lebih menonjol yang mengakibatkan tereduksinya wewenang daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Fungsi pengawasan umum, pengawasan preventif dan pengawasan represif dari pusat ke daerah menjadi unsur yang menonjol dalam Undang-undang No.18 Tahun 1965.
c. Masa Orde Baru 1966-1998
Pada masa orde baru diwarnai dengan perubahan kebijakan politik pemerintah. Perubahan yang cukup revolusioner ini menyangkut sistem kepartaian dari multipartai menjadi hanya dua partai politik dan satu golongan karya. Simplifikasi ini meliputi empat partai islam yakni: NU, Partai Muslimin, Partai Serikat Islam, dan Perti menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan PNI, Partai Kristen, Partai Katolik, dan Partai Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pada orde ini produk hukum yang dihasilkan adalah bercorak otonom dengan unsur yang cenderung represif otoriter. Realitas ini salah satunya terlihat dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974, Wilayah Indonesia dibagi atas daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dan administratif. Otonomi daerah yang dilaksanakan bersifat nyata dan bertanggungjawab dan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Namun pada kenyataannya, otonomi daerah ini tidak berbeda jauh dengan sistem pemerintahan daerah dalam masa orde lama, terlebih lagi saat orde baru berkuasa, mekanisme pengawasan yang represif dan preventif masih kerap berlaku.
Orde baru yang awalnya berniat mengoreksi segala bentuk penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Jika pada rezim Soekarno model pemerintahan berdasar pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut diistilahkan dengan paham demokrasi pancasila yang merujuk cita negara integralistik. Visi stabilitas politik untuk pembangunan yang dibarengi dengan pendekatan keamanan merupakan cermin dari pemerintahan masa orde baru. Dalam periode ini, cita negara integralistik menjadi tujuan dan mengarah kepada perwujudan konsep kedaulatan negara dibandingkan kedaulatan rakyat.
d. Masa Orde Reformasi 1998-Sekarang
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa masyarakat kita sedang berada dalam masa transisi. Banyak terjadi proses transformasi, semisal dari masyarakat perdesaan menuju masyarakat perkotaan, dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa. Selain itu, masyarakat kita juga bergerak dari tipologi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Berkembang pula kecenderungan masyarakat paternalistik ke arah masyarakat demokratis. Tak ayal, keseluruhan proses tersebut telah menyebabkan sebagian anggota masyarakat mengalami distorsi pemahaman nilai-nilai.
Secara formal, konstelasi kenegaraan kita juga mengalami serentetan perubahan. Dalam periode sepuluh tahun terakhir ini, beragam perubahan terjadi di negara kita, seperti proses amandemen terhadap UUD 1945 yang telah terjadi sebanyak empat kali, transformasi hukum yang mengakomodir paham liberalisme, sistem politik multipartai, pemilihan presiden secara langsung, otonomi daerah yang sangat luas, eksistensi DPR/DPRD yang sangat berkuasa, lahirnya beragam institusi yang bersifat ad-hoc seperti KPK, begitu dominannya peran mahkamah konstitusi (MK), hingga yang terakhir maraknya pemberitaan mengenai pertanggungjawaban bail out Bank Century. Dari semua itu yang paling mencolok secara politik adalah terjadinya perubahan corak politik dari executive heavy ke legislative heavy. Semua kegiatan politik saat ini bermuara pada lembaga legislatif yang didominasi partai-partai politik. Nyaris seluruh pimpinan cabang-cabang kekuasaan negara, dipilih dari dan oleh anggota-anggota partai politik.
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah melahirkan proses demokratisasi yang sukses. Tentu dengan lahirnya pemerintahan baru diharapkan dapat melahirkan sebuah produk hukum yang responsif karena telah melalui berbagai tahapan-tahapan yang cenderung demokratis. Dalam undang-undang yang mulai berlaku 31 Maret 2008 tersebut, sistem kepartaian bertransmutasi menjadi multipartai dengan sederet pembatasan tertentu. Pilihan kebijakan ini merubah kebijakan politik hukum orde baru melalui Undang-undang No.15 Tahun 1969 yang hanya menganut sistem kepartaian dua partai politik dan satu golongan karya.
Dalam lingkup pemerintahan daerah melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan berubah menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004, telah tercipta suatu otonomi daerah yang mendelegasikan dan memberikan wewenang yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Walaupun harus diakui bahwa implementasi undang-undang ini terkadang melahirkan raja-raja kecil di daerah. Konsep ini merubah kebijakan politik hukum orde baru lewat Undang-undang No.5 Tahun 1974 yang lebih bernuansa sentralistik.
Setelah melewati 4 kali pergantian pimpinan nasional,B.J Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati dan Soesilo Bambang Yudhoyono telah menghasilkan pemerintah yang lebih demokratis. Setidaknya ini dapat dilihat dari hasil pemilu 1999, 2004 dan 2009 yang berlangsung secara aman, adil, dan demokratis. Dengan demikian, peluang terciptanya sebuah produk hukum yang responsif seperti yang dikemukakan oleh Nonet-Selznik menjadi lebih terbuka ditambah dengan berbagai akses informasi yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjwabkan.
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Pola relasi antara spektrum politik dengan refleksi sebuah tipologi hukum dapat ditelusuri dari produk hukum yang dihasilkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh politik masih demikian dominan dalam menghasilkan produk hukum yang menjadi ekspektasi masyarakat. Hasil pemerintahan politik yang dihasilkan dengan melalui tahapan-tahapan demokratis cenderung menghasilkan tipologi hukum yang otonom dengan unsur yang menonjol adalah responsif, namun sebaliknya hasil pemerintahan yang tidak demokratis alias otoriter dan penuh rekayasa, akan cenderung melahirkan tipologi hukum yang otonom dengan unsur yang menonjol adalah represif.

3.2 Saran

1. Cita-cita luhur yang dirumuskan para founding fathers yang mendasari lahirnya Indonesia telah membekali kita sederet aspek politik dengan kandungan nilai-nilai yang sangat maju dan modern. Oleh sebab itu, tugas kita semua sebagai warga negara adalah menerapkannya secara konkret, murni dan konsisten. Keterlibatan kita dalam politik hendaknya mampu merubah nasib bangsa ini ke arah yang lebih baik.
2. Eksistensi tipologi hukum responsif merupakan suatu kebutuhan mendesak saat ini. Bangsa Indonesia telah memiliki modal yang positif yakni pemerintahan yang terbentuk dari proses pemilu sebanyak tiga kali yang berlangsung secara demokratis. Faktor inilah yang harus dijadikan pemicu untuk kita dalam membenahi sekaligus menciptakan suatu tipologi hukum yang responsif yang mampu mengakomodiir segala sendi kehidupan bangsa Indonesia lengkap dengan keanekaragaman suku, corak, budaya, dan bahasa. Pada gilirannya, terpenuhinya suatu harapan akan terciptanya tipologi hukum yang responsif akan meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Ali,Achmad,2002 Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Gunung Agung.
Anwar,Chairul, 2001. Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri
Budiardjo,Miriam,1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Dimyati,Khudzaifah, 2004.Teorisasi Hukum,Surakarta: UM Press
Fadjar,A.Muktie,2003. Politik Hukum Pasca Amandemen UUD 1945, Malang
Friedman,Lawrence M, 1975. The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation
---------------------------------, 1993.Teori & Filsafat Hukum (susunan I),Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hartono,Sunaryati, 1991.Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni
Hunt,Alan,1993. Explorations in Law and Society,towards a constitutive theory
Kelsen,Hans,1995. Teori Hukum Murni (Alih bahasa oleh Somardi),Bandung: Rimdi Press
Mahendra,Yusril Ihza, 1996. Dinamika Tatanegara Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press
Mahfud,Moh MD,1998. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES
--------------------,1999.Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media
-------------------, 2000.Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
Muhammad,Abdulkadir, 2001. Etika Profesi Hukum, Bandung :Citra Aditya Bakti
Rahardjo, Satjipto,1996. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti
--------------------, 2002. Sosiologi Hukum (Perkembangan,Metode dan Pilihan Masalah),Surakarta: UM-Press
Santosa,Mas Achmad, 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Sidharta,Bernard Arief, 2000.Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju
Suseno,Franz Magnus, 1999.Etika Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Soekanto,Soerjono Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...