Kok
Rapid Test Bayar?
Ada hal
yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni soal rapid test. Logika saya sederhana?
Mengapa kita harus membayar sebuah test yang tingkat akurasinya pun
diperdebatkan. Saya masih mencari adakah negara lain di dunia ini yg
“mendewakan” rapid test seperti kita, dan menjadikannya sebagai syarat untuk
melakukan perjalanan atau administrasi tertentu? Tulisan ini berupaya
menggunakan Bahasa se-sederhana mungkin dan to the point…
Sebagai
perbandingan, saya tinggal di kota Melbourne selama 4 tahun dan sudah
melaksanakan swab test secara mandiri karena memang kota Melbourne saat ini
menjadi “hotspot” area di Australia. Tapi yang membedakannya, swab test
dilakukan secara gratis dan bisa dilakukan secara drive-through karena testing
area banyak tersedia di pusat-pusat perbelanjaan, selain di klinik kesehatan. Jadi,
melakukan swab test sangat mudah karena bisa dilakukan saat kita berbelanja,
dan dengan sistem drive-through akan
meminimalkan potensi kerumunan dan pelanggaran jarak physically distancing.
Perbedaan
lain, tidak ada syarat hasil swab test apalagi rapid test untuk melakukan suatu
perjalanan ke kota lain. Jika suatu daerah masih berstatus “merah” seperti
Melbourne dan sekitarnya, ya otomatis mereka dilarang untuk keluar kota, dan
kota-kota lain semisal Perth dan Adelaide sudah menutup pintu bagi orang orang
Melbourne. Sebaliknya, karena sama-sama berstatus “hijau”, orang-orang Perth
dan Adelaide pun dapat mengunjungi satu sama lain dan tidak perlu syarat
“tes-tesan” segala.
Walau
begitu, saya masih bisa menerima pendapat bahwa masyarakat kita memang perlu
dites COVID 19 sebanyak-banyaknya, semakin banyak semakin bagus apalagi kalau
persentase orang yang terkena COVID 19 kebanyakan tidak memiliki gejala. Tetapi
yang saya tidak setuju adalah mengapa kita harus membayar untuk test semacam
ini? COVID 19 sudah sangat memukul perekonomian masyarakat. Lha sekarang kok
ada pengeluaran tambahan untuk biaya tes?
Saya
kembali teringat momen pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Hal yang
membuat saya heran adalah ketika hidup sehari-hari, masyarakat disini tidak
perlu membeli air minum karena kran air atau tap water dapat dikonsumsi dengan
aman. Bandingkan jika 1 keluarga di Indonesia menghabiskan sekitar 75 ribu per
minggu utk membeli air minum. Per bulan keluarga ini akan menghabiskan sekitar
300 ribu rupiah. Andaikan penghasilan mereka sekitar 3 Juta rupiah, maka 10
persen pengeluaran sudah habis hanya untuk membeli air minum. Sementara disini,
sepasang suami istri yg bekerja full time bisa menghasilkan sekitar 300 AUD ( 3
Juta Rupiah) per hari tanpa perlu membeli air minum untuk kebutuhan
sehari-hari. Di era pandemic, mereka pun tidak perlu mengeluarkan dana tambahan
untuk keperluan Covid 19 tests. COVID
tests are encouraged and they all are free dude!! Bahkan, mereka bisa
mendapatkan bantuan dana 1500 AUD jika positif COVID 19.
Lalu
saya teringat materi kuliah hukum saat berkuliah di kota Malang. Saya bukan
orang yang ahli soal filsafat hukum tetapi paling tidak saya ingat konsep Negara
Kesejahteraan alias Welfare State. Om
Kranenburg bilang bahwa negara harus aktif mensejahterakan seluruh lapisan
masyarakat dan bukan hanya golongan tertentu saja. Lalu, turunan konsep ini
adalah konsep kesejahteraan social alias Social
Welfare. Artinya, negara harus menjamin kebutuhan material dan non-material
masyarakatnya. Kesehatan adalah kebutuhan dasar yang bahkan bersifat material
dan non-material karena ia tidak hanya soal biaya atau fasilitas kesehatan yg
wajib ditanggung negara, melainkan juga soal rasa aman dan perlindungan dari
ancaman penyakit yang mengancam nyawanya.
Kesejahteraan social juga sudah
jelas tercantum dalam UUD 1945. Kita semua pasti familiar dengan frase
perekonomian berdasar asas kekeluargaan, pembiayaan pendidikan dasar, fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara negara hingga pengembangan sistem jaminan
social. Kita pun memiliki Undang-Undang 10 tahun
2009 tentang Kesejahtaraan Social. Artinya dalam kondisi normal, negara harus
berperan aktif untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, khususnya
pemenuhan kebutuhan dasar, baik material maupun non-material. Di kondisi
darurat, negara harus lebih aktif lagi memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.
Bahkan saya melihat beberapa negara yg kita kenal sebagai negara liberal
ternyata tiba-tiba bisa berubah menjadi negara sosialis di musim corona ini. Tetapi
jangan sampai negara yang tidak mau disebut negara liberal tiba-tiba menjadi
beneran liberal di era pandemik ini.
Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (menimbang
poin c) secara ekspresif menyatakan “bahwa setiap hal yang
menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi
pembangunan negara”. Secara ekstensif, saya menafsirkan bahwa pemerintah
mengakui adanya gangguan kesehatan (wabah corona) mengakibatkan dampak
perekonomian yg luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Nah disinilah seharusnya
mereka tidak lagi dibebankan pengeluaran-pengeluaran yang saya anggap tidak
perlu karena itu bisa ditanggung negara. Logikanya, seluruh hal yang terkait
langsung dengan wabah ini, termasuk upaya pengendalian penyebaran COVID 19
harus ditanggung negara. Jadi saya hanya berbicara dampak langsung ya, cukup
dampak langsungnya dulu. Ga perlulah negara menanggung biaya penitipan anak
(childcare) masyarakatnya. Lho apa hubungannya corona dengan urusan titip
menitip anak. Kalo disini ada hubungannya boss! Biaya childcare ditanggung
negara agar masyarakatnya tidak perlu bayar childcare yg mahal, trus ini
diprioritaskan bagi anak-anak yang ortunya bekerja sebagai tenaga kesehatan.
Pemerintah takut dong kalo mereka memilih tidak bekerja demi bisa mengurus
anaknya di rumah karena kalo dibawa ke penitipan anak, biayanya mahal.
Disinilah logikanya.
Tetapi saya salut dengan beberapa gubernur yang
berkomitmen untuk menggratiskan biaya rapid test didaerahnya. Saya juga salut
dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang berani menggelar Tes Swab massal ke
sekitar 2000 warganya. Ini terobosan yg patut diapresiasi. Ini baru pemimpin
dengan sense of crisis!!! Tidak menggangap semua ini sebagai kenormalan.
Kalimat ini saya pinjam dari Pidato Kemarahan Pak Jokowi di tanggal 18 Juni
2020 lalu.
Wah kalo menggratiskan biaya rapid test atau test
lainnya mahal bro, negara ga mampu! Jika ada anggapan ini, saya kembali
teringat Pidato Kemarahan Presiden lagi. Apa benar penyerapan anggaran di
kementerian itu demikian rendahnya. Apa benar anggaran Kemenkes yang 75
Trilliun itu baru terserap 1,53 persen? Ini baru satu kementerian kan ya? Lalu
benarkah beberapa Pemerintah Provinsi lebih senang mengendapkan dananya di bank
ketimbang mendistribusikannya kepada masyarakat yg terkena dampak pandemi ini?
Benarkah jumlahnya secara total mencapai 170 trilliun?
Jadi untuk sekedar membiayai biaya rapid test atau
bahkan biaya swab test saya yakin negara mampu. Biaya pelatihan online saja
bisa dan mau, masak untuk urusan yg lebih penting tidak mau. O iya, bayangkan
jika swab test dilakukan secara gratis dan massif dengan tempat yg tersebar
luas di beberapa area, bukannya ini malah mendukung upaya pemerintah untuk
menekan laju penyebaran virus ini?
Saya lalu memprediksi (atau bahkan sudah terjadi)
dua hal minimal yang akan terjadi jika persoalan rapid test ini tidak
dituntaskan.
1.
Bisnis
baru diatas bencana
Rapid test akan menjadi
ladang bisnis baru. Pihak-pihak tertentu akan menjadikan rapid test sebagai
alternatif pemasukan untuk mengganti keuntungan yg berkurang di masa pandemic. Jika rumah sakit mengadakan rapid test, ini masih
masuk akal, tetapi akan ada paket rapid test untuk naik pesawat ataupun naik
bus yang biayanya dimasukkan dalam komponen tiket. Lama-lama kalau dibiarkan,
kita nanti berkunjung ke tempat wisata, harga tiket masuk sudah include biaya
rapid test. Pemerintah memang sudah menentukan tariff batas atas rapid test itu
Rp 150.000. Tapi, kalo melanggar apa sanksinya? Kebanyakan hukum di Indonesia
bersifat lex imperfecta alias tidak sempurna karena tanpa sanksi. Apalagi kalo
sudah menggunakan alasan klasik, kami swasta pak, tidak ikut pemerintah. Please acknowledge this is no time to be
profiting from the pain of others.
Lalu soal alat
rapid testnya sendiri, pasti akan banyak merek yang beredar di Indonesia dan
pasti juga kualitasnya berbeda. Beda kualitas beda akurasi kan? Untuk apa bayar
rapid test kalo hasilnya juga tidak akurat? Sudahkah semua yang beredar itu
melalui proses semacam pengujian? Kita mungkin perlu mencari tahu ada
apa di balik program rapid test ini? Siapa produsen alat-alatnya, siapa
distributornya, adakah hubungan tertentu dengan pihak pengambil kebijakan? Ini
sama halnya ketika kita akhirnya tahu mengapa program pelatihan online itu
tetap dijalankan?
2.
Rapid test bayar, Vaksin Anti-corona
pasti bayar juga
Jika rapid test saja bayar, nanti
kita pun harus membayar untuk dapat divaksin anti-COVID 19. Kalo harganya mahal
pun tetap akan terbeli. Kalau tidak divaksin, kalian tidak bisa bekerja, kalian
tidak bisa bepergian, bahkan syarat vaksin bisa saja digunakan untuk pemenuhan
kelengkapan administrasi kependudukan. Yang lebih parah, ada cap “pembawa
penyakit” bagi mereka yang tidak mau divaksin.. Ini secara bisnis akan sangat
menguntungkan bagi siapa saja yang berada di lingkaran bisnis vaksin nantinya.
Disinilah negara harus turun tangan, dengan aturan lisensi wajib misalnya….
Yang lucu, mungkin kita melihat
sebuah negara maju yang justru mampu memberikan vaksin Anti-Corona secara
gratis kepada warga negaranya atau bahkan warga negara asing yang menjadi
residen tetap atau penduduk di negara tersebut. Vaksin diberikan gratis kepada
mereka yang secara ekonomi lebih mapan. Lalu, di belahan bumi lain, vaksin
harus dibeli oleh mereka yang rentan secara ekonomi.
Jadi saya kembali teringat mengapa
ketika 4 tahun terakhir di negara ini, saya sama sekali tidak pernah membeli
air minum. Saya akan menjadi risau jika “keharusan” membeli air minum ini akan
sama dengan “keharusan membeli vaksin” nantinya. Semoga saja saya salah.
Pasti akan muncul bantahan soal
ini. Ya jangan samakan negara maju dengan negara berkembang dong, mereka kan
kaya, sumber daya alam melimpah dsg. Sama halnya dengan alasan kita melihat
mengapa ada orang yg lebih berhasil daripada orang lainnya. Jangan samakan
dong, mereka kan lahir dalam keadaan kaya, pintar dari”sononya” dan mendapatkan
banyak bantuan fasilitas. Jika mindset ini yang dipakai, tentu Pak Jokowi tidak
akan pernah bisa menjadi seorang pemimpin, dan sungguh kasihan generasi muda yg
sedang berjuang dan bermimpi to be someone great not just good, to be someone
exceptional not just average or mediocre, mimpi mereka akan musnah kalau mereka
tidak lahir kaya ataupun memiliki otak yang jenius…
Semoga tulisan ini bermanfaat di
masa pandemi ini…