Sukses Dengan Berintegritas
Bagian IV
23.Roeslan Abdulgani
Api yang Tak Kunjung Padam
Ia dikenal sebagai tokoh penting bagi terselenggaranya Konferensi Asia - Afrika di Bandung, 1955. Jiwa nasionalismenya tak lekang dimakan usia, laksana api yang tak kunjung padam. Dia selalu memimpikan dapat melihat dunia yang benar-benar damai.Hari-hari terakhir Cak Roes, demikian Roeslan Abdulgani disapa, tidak berubah. Setiap pagi ia masih menyempatkan pergi ke kantornya di gedung BP-7 di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Di saat senggang, dia masih suka jalan-jalan, membaca, dan mendengarkan musik klasik. Ia juga masih melakukan suka mencatat intisari dari setiap buku yang dibacanya.Namun, Tuhan jua yang menentukan kehendak-Nya. Cak Roes dipanggil keharibaan-Nya pada Rabu, 29 Juni 2005, pukul 10.20 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta. Jenazahnya kemudian disemayamkan di kediaman Jalan Diponegoro sebelum dimakamkan pada Kamis, (30/6) di TMP Kalibata. Kepergian Cak Roes adalah kehilangan yang sangat besar bagi bangsa ini. Dalam usianya yang akan 91 tahun pada tanggal 24 November nanti, kondisi kesehatan Dr Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, dan tokoh yang menduduki berbagai posisi penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini, memang sering mengalami gangguan.Berkat olahjiwa yang dilakukannya secara intensif 20 tahun terakhir ini yang membuatnya panjang usia. Menurut pengakuan mantan Menteri Luar Negeri era Soekarno ini, olahjiwa membuatnya selalu ingat, "Kalau Tuhan memanjangkan usiamu, harus disadari, kekuatanmu akan dikurangi. Tapi tidak pikiran dan cita-citamu"."Ibu saya selalu mengingatkan Surat Yassin Ayat 68 yang saya tafsirkan seperti itu," sambung Cak Roeslan. Tubuh adalah gambaran paling nyata dari ketidakabadian. Semakin tua, kondisi fisik-biologis secara alamiah akan menurun. Akan tetapi, Sophocles yang menulis karya besarnya, Oedipus, ketika berusia lebih dari 80 tahun dan Goethe yang menyelesaikan Faust setelah berusia 80 tahun, setidaknya membuktikan bahwa usia tidak begitu saja melapukkan pikiran, semangat, dan cita-cita."Sebab usia adalah kesempatan itu sendiri; sebagaimana kemudaan, meski dalam busana lain. Tatkala senja berlalu, langit dipenuhi bintang yang tak terlihat di siang hari," begitu terjemahan bebas dari kutipan Henry Wadworth Longfellow yang ia pegang. "For age is opportunity no less/ Than youth itself, though in another dress. And as evening twilight fades away/ The sky is filled with stars, invisible by day…"Pada Seminar Asia Afrika di Kairo, Mesir, 1985, ia mewakili Indonesia. Selain menyampaikan makalahnya, The Spirit of Bandung, Regional Association and International Organization, ia juga menyerahkan DeklarasiPeringatan 30 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Peringatan ini diselenggarakan beberapa hari sebelum seminar itu berlangsung. Dia selalu memimpikan dapat melihat dunia yang benar-benar damai. Kendati dia sadari impian itu sulit terwujud. Mantan Sekjen KAA I ini pensiun dari pegawai negeri sejak 1972. Tampaknya dia berhasil menenggang apa yang disebutnya perasaan sepuh (tua), sepi (menyendiri), sepo (hambar), dan sepah (terbuang). Walaupun diakui bahwa dia pernah mengalami post-power syndrome -- sindrom purna-kuasa. Tetapi, enam bulan menjalani pensiun, mantan Menlu RI (1956) ini diundang memberikan kuliah di Universitas Monash, Australia. Tiga bulan Cak Roes di sana. Kemudian ia ke Negeri Belanda, atas undangan Pangeran Bernhard, enam bulan mengadakan riset tentang arsip dan dokumentasi. Oleh markas Unesco di Paris, ia kemudian diminta menjadi konsultan di bidang komunikasi massa dan kebudayaan. Bekas Dubes RI di PBB ini menerima gelar doctor honoris causa dari Unpad, Unair, dan IAIN Sunan Kalijaga. Semua kegiatannya dianggapnya telah memberi kepuasan intelektual. Namun, ia tetap merasa prihatin mengingat tenaga dan daya pikirnya mengalami proses menua. Ia berharap agar generasi muda sebagai penerus, belajar lebih baik lagi. Apalagi, menurut dia, menghadapi tantangan dunia yang kian berat. Hidup ikhlasAnak keempat dari lima bersaudara ini mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi orang penting. Toh, kenyataannya dia masih dipercaya memegang jabatan cukup penting. Antara lain sebagai Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-7), pada era Soeharto.Pada masa remajanya, Cak Roes pernah ingin menjadi militer. Gagal, sebab di zaman Belanda akademi militer hanya terbuka bagi anak priyayi, ia lalu masuk sekolah guru. Dikeluarkan karena anggota Indonesia Muda, ia juga tiga kali ditangkap Belanda, lantaran ketahuan mengikuti dan meneruskan cita-cita ayahnya, Almarhum Haji Abdulgani, yang saat itu termasuk tokoh Sarekat Dagang Islam. Trauma sewaktu tertembak Belanda tanggal 19 Desember tahun 1948 di Yogya sesekali masih dirasakannya. Lukanya parah. Operasinya berkali-kali. Luka-luka akibat tembakan itu meninggalkan cacat. Jari tangan kanannya hanya tiga, bentuknya tidak normal. Ingatan akan situasi perang kemerdekaan seperti film yang diputar berulang-ulang. Selain trauma, dia juga sering merasakan eforia. Eforia yang sering datang berkaitan dengan perasaan sukacita ketika Indonesia merdekaLingkungan pergerakanlah yang membentuk pribadi bekas tokoh PNI ini sampai akhir hayatnya. Ia pernah menjadi Ketua IV DPP PNI, ketika ketua umumnya Almarhum Ali Sastroamidjojo. Pada 1960-an, di AD ia pernah diangkat sebagai jenderal berbintang empat, suatu “kepangkatan politis.Cak Roes menjalani hidupnya dengan ikhlas, karena hidup ini sebenarnya sebuah lakon. “Kita nglakoni lakon kita masing-masing. Karena itu sehabis sholat saya selalu bertanya, mengapa Tuhan memberi saya umur panjang. Banyak yang lebih muda sudah lebih dulu pulang.” Suatu hari, ia pernah bertanya kepada Presiden Corry Aquino, apakah ia pernah berpikir suatu saat akan menjadi Presiden Filipina. Cak Roes mengenal Ninoy Aquino, suami Corry di PBB. Jawaban Corry menurutnya sangat bagus. Katanya, “Pak Roeslan, Tuhan punya rencana atas semua manusia. Terpulang pada setiap orang bagaimana menemukan jawaban dari rencana Tuhan itu.”Pengaruh orangtua dan guruIbunya, Siti Moerad, wafat tahun 1964 pada usia 90-an. Ibunya yang selalu mengatakan bahwa menjadi sepuh (tua) itu sepi karena tidak banyak yang mengunjungi lagi. Kalau sepi lalu sepa (hambar), dan setelah itu lalu jadi sepah (ampas). Cak Roes jangan sampai seperti itu. Jadi, sebagai orang yang sudah tua, Cak Roes pun tahu diri. Ia pun minggir sebelum dipinggirkan orang.Cak Roes senang mengutip puisi karya penyair Belanda, Henriette Roland Holst yang menggambarkan tentang usia tua: “Mengapa engkau hanya bernyanyi untuk bunga-bunga di musim semi? Bukankah daun-daun yang jatuh pada musim gugur akan menjadi penyubur bagi bunga di musim semi?” Menurut Cak Roeslan, orang tua jangan dilupakan. Ia adalah pupuk bagi generasi berikutnya.Ia juga selalu ingat ucapan gurunya, Jan Ligthard. Menurut gurunya itu, “jadikan anak-anakmu berjiwa semerah matahari terbit. Ia harus berani hidup, berani menghadapi tantangan karena hidup ini perjuangan. Ada pasang, ada surut. Jangan takut pada kesulitan.” Cak Roes pun menambahi ucapan gurunya itu, bahwa matahari yang tenggelam juga tak kalah indah merahnya dari matahari terbit. Ia mengimbau agar generasi muda sebagai matahari terbit dan generasi tua sebagai matahari tenggelam, membuat dunia menjadi indah dengan berlomba berbuat kebaikan kepada sesama, tanpa membeda-bedakan, karena semua ini ciptaan-Nya.Ada satu kutipan favorit Cak Roes lainnya. Life can only be understood backward, but should be lived forward. Itu kata Kierkegaard. Hidup hanya bisa dimengerti kalau kita melihat ke belakang, melihat sejarah, tetapi harus dilakoni untuk masa depan. Jangan terbelenggu pada masa lalu. Sejarah harus membuat orang berpikir kreatif.Ibunya juga selalu mengingatkan, hakikat hidup adalah memberi. Kalau minta ke Tuhan saja. Paring pangan marang kan kaliren, paring sandhang marang kang kawudan, paring teken marang kang kalunyon. (Memberi makan pada yang kelaparan, memberi baju pada yang telanjang, memberi tongkat pada yang berjalan di jalan yang licin). Kalunyon itu dalam arti luas. Selalu ingat pada Sang Pencipta. Kalau jalan jangan melihat ke atas saja, tetapi juga ke bawah supaya tidak tersandung. Kalau tiba di persimpangan, uluklah salam, assalamualaikum, tanya kepada-Nya, supaya tidak salah jalan.Cak Roeslan sendiri adalah pengoleksi tongkat. Sedikitnya 200 tongkat tersimpan di ruang tamunya. Penghargaannya pada beragam agama tercermin pada koleksinya, memperlihatkan caranya beragama lebih menukik pada esensi. Tak sulit pula menangkap kesan bahwa ia seorang humanis.Pengaruh ibunya memang sangat kuat dalam hidup Cak Roeslan. Ibunya adalah seorang guru ngaji, yang pandangan hidupnya lebih mencerminkan sinkretisme Jawa yang toleran dan memandang ritual agama sebagai kesadaran pribadi. Ketika Roeslan kecil bertanya kepada ibunya di mana sebetulnya Tuhan berada, ibunya tersenyum sambil berbisik, “Carilah di dalam sanubarimu. Karena itu, sing eling….” Hubungan ibu dan anak itu sangat dekat, terutama setelah ia dilarang bertemu ayahnya karena sang ayah berniat menikah lagi. Ibunya adalah istri kedua ayahnya. Saudara-saudara pun Cak Roes banyak. Ayahnya, Dulgani atau Abdulgani, adalah satu dari tiga orang kaya di Surabaya pada masa itu. Sebagai saudagar yang menjual keperluan sehari-hari – Bung Karno muda sering ngebon di toko ayahnya ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya – sang ayah juga memiliki tujuh mobil Fiat yang disewakan. Ayahnya meninggal ketika Roeslan duduk dibangku sekolah lanjutan pertama. Latar belakang inilah yang membuat Cak Roeslan berseberangan pendapat dengan Bung Karno dalam soal poligami.Meski begitu, Roeslan sangat mencintai ayah-ibunya. Merekalah yang ngotot agar Roeslan ke sekolah pemerintah saat Roeslan berusia enam tahun. Roeslan menyelesaikan HBS-B, setara dengan SMA zaman Belanda, kursus tata buku A dan B serta kursus notariat.Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh ketika sering diajak ayahnya berkeliling ke desa-desa untuk melihat nasib bangsanya. Sejak kecil ia sudah belajar memahami keberagaman. ► e-ti/rh Roeslan Abdulgani (03)
Kepergian Sang Penjaga Sejarah
Kematian hanya berlaku pada raga, tidak pada roh dan jiwa. Karena itu, hiduplah yang baik karena semua yang ada di dunia ini cuma titipan.Kedekatan Cak Roes dan Pak Harto, dua tokoh bangsa itu, akhirnya harus dipisahkan oleh takdir. Cak Roeslan lebih dulu berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa, Rabu, 29 Juni 2005.Sebelumnya, menjelang masuk ICU hari Minggu (19/6), sampai seluruh peralatan selesai dipasang selama lebih kurang satu jam, menurut puteri Cak Roes, Wati Abdulgani, Pak Harto ditemani ajudan dan putrinya, Mamiek, menunggui Cak Roes yang sudah tidak bisa berkomunikasi. “Bapak terlihat sangat sedih setelah pulang dari menengok Pak Roeslan,” begitu kata Mamiek seperti dikutip Wati.Suatu hari dalam wawancara dengan sebuah media, Cak Roes pernah ditanya apa makna kematian bagi dirinya. Ya dipanggil Tuhan, jawabnya kala itu. Itu tinggal kepercayaan. Tapi kalau secara ilmiah, jiwa itu energi. Kalau manusia mati, energinya kembali ke universe yang terus recycling. Kematian hanya berlaku pada raga, tidak pada roh dan jiwa. “Saya tidak tahu di sana nanti, hanya ibu saya selalu mengingatkan, hiduplah yang baik karena semua di dunia ini cuma titipan.”Cak Roeslan dirawat di rumah RSPAD sejak 16 Juni 2005 karena sakit yang disebabkan faktor usia lanjut. Kondisi tokoh Konferensi Asia Afrika itu sempat berangsur-angsur pulih. Sebelumnya dia dirawap di rumah oleh puteranya dr Hafild B. Abdulgani. Sementara Tim dokter kepresidenan ditugaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu pagi, untuk ikut merawat Cak Roes. Ia dirawat akibat keluhan penurunan kesadaran, lemas, dan sesak napas yang disebabkan infeksi di paru-paru yang memang dideritanya. Dari hasil pemeriksaan, untuk sementara waktu tim dokter sepakat menilai masalah kesehatan utama yang dialami Cak Roes adalah faktor usia lanjut. Pada Minggu pagi kondisinya sempat semakin menurun.
Namun dari hasil tes jantung, diketahui kondisi jantung Cak Roes juga masih baik. Dijelaskan bahwa sekitar bulan Februari lalu Roeslan pernah menjalani perawatan dan operasi untuk mengobati penyakit keropos tulang.
Sejumlah tokoh nasional sempat datang menjenguk Cak Roes. Selain mantan Presiden Soeharto, tampak pula Des Alwi, Jakob Oetama dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.Jenazah Almarhum disemayamkan di rumah duka di Jalan Diponegoro, Jakarta, dan dimakamkan Kamis pagi, 30 Juni, di TMP Kalibata. Upacara pelepasan jenazah dipimpin Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sedangkan upacara pemakaman dipimpin Menko Polhukam Widodo AS.Sampai jauh malam, pelayat dari berbagai lapisan terus mengalir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla dan mantan Presiden Soeharto juga tampak melayat ke rumah duka Rabu siang.“Bapak meninggal dengan tenang,” tutur Hafilia, putri bungsu Cak Roes. Ia bersama suaminya berada di samping ayahnya sampai detik terakhir. “Bapak lelah, sudah saatnya pulang,” sambung Wati Abdulgani, putri kedua Cak Roes.
Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Martijo Subandono kepada pers saat itu mengatakan Cak Roes meninggal karena stroke dan infeksi paru. Ia meninggalkan lima anak, 10 cucu, dan enam cicit.Penjaga SejarahCak Roes dilahirkan di Surabaya tanggal 24 November 1914. Ia menikahi Sihwati Nawangwulan. Kesetiaannya pada kehidupan perkawinan ditunjukkan dengan merawat dan mendampingi sang istri yang menderita alzheimer selama 13 tahun sampai meninggal dunia tiga tahun lalu. Sebagai pribadi, Cak Roes punya beberapa penyesalan. Penyesalannya adalah waktu muda ia merasa tidak terlalu pemurah. Ia juga menyesal karena pernah membenci orang.Namun tokoh yang menguasai empat bahasa asing ini tidak pernah menyesali yang telah terjadi dalam hidupnya, yang terburuk sekali pun, seperti ketika dituduh korupsi waktu menjadi Menteri Luar Negeri. Ia disidang, dijatuhi denda, karena terbukti tidak tahu kalau titipan amplop itu berisi dolar AS. Padahal membawa dolar AS ke luar negeri pada masa itu adalah pelanggaran.
Denda yang harus dibayarnya dikumpulkan pembaca surat kabar yang simpati padanya. Uang itu berlebih, sehingga ia sumbangkan ke yayasan orang cacat (YPAC) di Solo, karena ia merasa sudah dicacati. Ia menduga ada orang yang tidak ingin ia bertugas ke London pada pagi tanggal 13 Agustus tahun 1956 itu.Usianya tak pernah meruntuhkan semangat dan pemahaman nasionalismenya. Menurutnya, bentuk nasionalisme terus berubah seiring dengan perubahan di dunia. Kalau nasionalisme tidak bisa menyesuaikan dengan tuntutan zaman, ia bisa hilang. Nasionalisme Indonesia harus menyesuaikan kepada perubahan itu dan bersumber pada keadilan sosial, kerakyatan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Rohnya dikuatkan dengan itu semua.Ia melihat perpecahan di negeri ini hanya a challenge of this time karena dulu sentralisme begitu kuat. Minyaknya rakyat Aceh disedot, juga sumber daya alam di Irian, Maluku, dan di berbagai tempat lainnya. Konflik dan perang di berbagai tempat di dunia banyak disebabkan oleh perebutan sumber daya alam dan ekonomi, meskipun bungkusnya macam-macam. Ekstremisme, ketidaktoleranan, dan fundamentalisme agama juga akan teratasi. Kalau membaca sejarah, sekarang ini Nuswantara ketiga. Sejarah memperlihatkan, andaikata pun sampai remuk redam, Nuswantara ini akan bangkit lagi. Selain itu, bangsa ini sebenarnya juga sedang menghadapi krisis moral dan etika khususnya di kalangan pemegang kekuasaan.Dalam peringatan ke-50 KAA di Bandung beberapa waktu lalu, Cak Roes amat beruntung masih bisa ikut merayakannya. Kala itu, ia bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara Asia Afrika yang menghormatinya sebagai tokoh yang ikut andil dalam sejarah besar itu.Menurutnya, sampai kapanpun tujuan KAA tetap relevan, karena tujuan utamanya adalah menjaga perdamaian dunia. Dengan pertikaian dan perang yang berkecamuk di mana-mana, harus diingatkan kembali bahwa hubungan antarnegara tak bisa tercapai kalau tak ada perdamaian. Untuk itu, persoalan ketidakadilan global harus dibicarakan secara serius dan diselesaikan secara tuntas.Dalam perjalanannya sebagai seorang tokoh bangsa, ada yang menyindirnya sebagai ‘tokoh sepanjang masa’, dalam arti dirinya adalah seorang oportunis. Cak Roes membantahnya. Apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan bangsa, bukan kepentingan pribadi seperti dilakukan seorang oportunis.Sikapnya yang seperti itu, menempatkan Cak Roeslan dalam posisi melawan arus. Wajar, karena Cak Roeslan selalu melihat ke masa depan, bukan kepentingan sesaat.Pada zaman Orde Lama, Cak Roeslan adalah tokoh penyeimbang dari pengaruh kaum Komunis/PKI. Cak Roeslan mengerem kebijakan Bung Karno yang menguntungkan PKI. Toh Bung Karno pun amat percaya kepadanya. Bung Karno menyerahkan masalah ideologi bangsa kepada Cak Roeslan. Meski pemikiran PKI telah ikut memberi warna ideologi dan politik negara, Bung Karno menyerahkan juru bicara politik dan ideologi kepada Cak Roeslan.Kepergian Cak Roes adalah kehilangan besar. Dia adalah satu dari sedikit tokoh yang masih hidup, yang terlibat dalam proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Semasa hidupnya, Cak Roes tak bisa menutupi kerisauannya tentang perkembangan situasi di negeri ini. “Bacalah sejarah, belajarlah dari sejarah,” katanya
Nama :H. Roeslan AbdulganiLahir :Surabaya, 24 November 1914Meninggal:Jakarta, 29 Juni 2005Agama :IslamIsteri:Sihwati NawangwulanAnak:Lima orangPendidikan :- HIS, Surabaya (1928) - MULO, Surabaya (1932) - HBS-B, Surabaya (1934) - Kursus Tata Buku A dan B (1938) - Kursus Notariat I dan II (1940) - Hunter College, New York, AS (1968) - Barnard College, New York, AS (1969) Karir :- Anggota National Indonesische Padvinderij (1926) - Ketua Indonesia Moeda (1934) - Guru Sekolah Menengah Islamiyah/Perguruan Rakyat/Kursus malam Taman Siswa, Surabaya (1935) - Ketua Pedoman Besar Indonesia Moeda Surabaya (1936-1937) - Karyawan Dinas Perindustrian dan Koperasi Rakyat, Surabaya (1937-1941) - Poetera bagian Ekonomi, Surabaya (1942-1943) - Redaksi Majalah Bakti (1945-1946) - Kepala Dinas Penerangan Rakyat Jawa Timur (1946-1947) - Sekjen Deppen (1947-1954) - Sekjen Deplu (1954-1956) - Sekjen KAA, Bandung (1955) - Menteri Luar Negeri (1956-1957) - Wakil Ketua Dewan Nasional, Jakarta (1957-1959) - Wakil Ketua DPA (1959-1962) - Wakil Ketua IV DPP PNI (1964) - Menteri Koordinator, merangkap Menteri Penerangan (1962-1966) - Anggota Presidium Kabinet (1965-1966) - Wakil Perdana Menteri (1966-1967) - Dubes RI di PBB, New York (1967-1971) - Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan P4 (1978- sekarang) Karya :- Antara lain: Heroes Day and the Indonesian Revolution, Prapanca, 1964 - Indocina dalam Kawasan Asia Tenggara Dewasa Ini, Idayu, 1979 - Nationalism, Revolution and Guided Democracy in Indonesia, Monash University, 1973 - The Bandung Connection, Gunung Agung, 1981 Alamat Rumah :Jalan Diponegoro 11, Jakarta Pusat Telp: 334526
24. Siswono Yudo Husodo
Teruji Bersih KKN
Selama menjabat Menteri Negara Perumahan Rakyat (1988-1993) dan Menteri Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan (1993-1998), ia telah teruji bersih dari KKN. Cawapres Pilpres 2004 dan mantan Ketua Umum HKTI penerima Entrepreneur Agribusiness Award 2003, ini seorang yang telah menjalani pergulatan hidup dalam berbagai kegiatan.
Mulai dari pengusaha, politisi, menteri, petani hingga didaulat menjadi calon presiden independen Pemilu Presiden 2004 oleh sejumlah partai. Kemudian atas berbagai pertimbangan, ia memilih menerima tawaran menjadi Cawapres berpasangan dengan Amien Rais sebagai Capres dari PAN. Ia Cawapres teruji bersih KKN!Boleh juga ia disebut sebagai sosok unik dan kontrover-sial. Saat pengganyangan terhadap Bung Karno, ia adalah mahasiswa ITB yang menjadi Wakil Komando Laskar Soekarno. Tapi pada era Presiden Soeharto, ia malah diangkat sebagai menteri dalam dua kali kabinet.Selama menjabat menteri, pada era Orde Baru yang otoriter dan korup, itu ia teruji mampu tidak terlibat dalam arus deras KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang bermuara menyengsarakan rakyat. Ia tidak menggunakan kesempatan itu untuk memperkaya diri sendiri dan kerabatnya.Tidak banyak orang yang mampu seperti itu. Kebanyakan orang, hanya bisa berteriak antikorupsi pada saat tidak punya kekuasaan dan kesempatan. Tapi setelah memperoleh kekuasaan dan kesempatan menjadi pejabat, baik eksekutif maupun legislatif dan yudikatif, mereka terjerumus bahkan lebih serakah. Mereka menjadi koruptor baru. Mereka tak tahan uji.Siswono telah teruji dalam hal ini. Ia seorang tokoh yang telah pernah berada di deretan puncak kekuasaan sebagai menteri, dan mampu berperan optimal sekaligus melepaskan diri dari kemerajalelaan korupsi di sekelilingnya. Hanya saja, ketika itu, posisinya hanyalah sebagai pembantu presiden. Sehingga tidak punya otoritas yang cukup untuk memutus mata rantai KKN itu.Namun untuk diri dan lingkungannya, ia mempu bertindak bersih dari KKN itu. Contoh konkritnya, sebagai seorang pengusaha yang kemudian dipercaya menjadi Menteri Negara Permumahan Rakyat dan Menteri Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan, ia melepas diri dari manajemen perusahaannya. Bahkan perusahaannya, PT Bangun Tjipta Sarana Group, dilarang menjadi rekanan di instansi pemerintah yang dipimpinnya.Track record-nya yang praktis tanpa cacat dan bersih KKN itu telah menjadikan namanya tetap hidup disanubari publik. Terbukti, kendati ia tidak lagi menjabat menteri, masih saja ada orang yang memanggil suami Ratih Gondokusumo (notaris) ini, Pak Menteri. Ayah Mutiara, Savitri, Emeralda (meninggal dunia saat berusia 11 tahun), Rubyeta dan Pirousi ini dikira dan diperlakukan masih seperti pejabat.Menteri Jadi PetaniPadahal belakangan, mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (1973-1977) dan Ketua Persatuan Pengusaha Real Estat Indonesia (1983-1986), ini sudah menjadi petani. Sejak 1999 ia hanya menjadi anggota MPR mewakili petani. Kesibukannya sudah lebih banyak di pertanian. Tapi banyak orang masih lebih mengenal dan menganggapnya sebagai pejabat.Jebolan Teknik Sipil ITB tahun 1968 ini fasih menerangkan bagaimana mengawinkan domba, bagaimana memilih bibit domba unggul, dan bagaimana bercocok tanam tembakau dan sayur-mayur. Kesibukan dan keahlian ini sudah menjadi bagian lain dari putaran roda hidup calon presiden independen ini.Ia sungguh jadi petani! Dalam beberapa tahun terakhir, dia sering bersepeda motor menyusuri jalan Jakarta-Sawangan, Kabupaten Bogor untuk menengok salah satu peternakan domba seluas 20 hektar miliknya. Di sanalah ia sering mengisi akhir pekannya. Perhatian pria kelahiran Long Iram, Kalimantan Timur 4 Juli 1943 ini terhadap masalah pertanian makin kuat setelah tidak lagi berada di birokrasi dan ketika masyarakat tani memilihnya menjadi Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) sejak 1999. Kendati kesibukannya di seputar pertanian itu bukan hanya karena ia menjadi Ketua Umum HKTI itu, tapi sudah sejak awal ia sudah mengelola usaha tani. Sebelum ia bersama rekannya mendirikan CV Bangun Tjipta Sarana yang kemudian menjadi PT Bangun Tjipta Sarana, sebuah kelompok usaha dengan bisnis inti konstruksi, ia telah berdagang bawang putih dan kedelai saat diskors satu setengah tahun di ITB karena menjadi Wakil Komandan Barisan Soekarno.Ketika Bangun Tjipta didirikan dengan modal Rp 7,5 juta, ia hanya mengonsentrasikan di bisnis konstruksi. Awalnya bisnis yang dimulai dari garasi milik orang tuanya di kawasan Menteng itu hanya mengerjakan proyek kecil seperti memperbaiki WC hingga membuat rumah.Dengan berkembangnya usaha hingga membangun jalan tol dan kawasan perumahan, ia mulai membuka usaha pertanian dengan membuka perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Selanjutnya diikuti dengan usaha kelapa sawit di Sumatera Selatan, peternakan sapi di Sumbawa lalu pertanian terpadu di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang dan peternakan domba di Sawangan itu.Masa kecilnya memang tak terlepas dengan suasana pertanian. Sewaktu SD dan SMP di Kendal, sebuah kota kecil di barat Semarang. Daerah itu dikitari sawah yang sangat luas. Teman-temannya anak petani yang kalau pulang sekolah, lalu menggembalakan kerbau sambil mamandang keindahan alam yang di sebelah selatan tampak Gunung Perahu, Gunung Ungaran, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing. Ia menyaksikan keluarga petani dengan kesederhanaan, keyakinan, ketekunan dan kepasrahannya kepada alam. Lingkungan alam yang demikian itu membekas kuat di hatinya. Tiga bulan sekali kalau tidak pulang ke kota itu, ia merasa ada kerinduan. Menurutnya, potensi Indonesia untuk mensejahterakan petani sangat besar dan luar biasa. “Tetapi kita membiarkan petani hidup di bawah kelayakan skala ekonomi,” katanya. Sekitar tahun 1950-an, petani memiliki sawah paling tidak lima hektar. Ketika itu petani kalau sunatan sering nanggap wayang kulit sampai tiga hari tiga malam. Petani itu kaya-kaya. Akan tetapi dengan perubahan generasi terjadi fragmentasi lahan, dibagi ke anak-anaknya sehinga petani miskin. Sekarang yang nanggap wayang kulit bukan lagi penduduk desa tetapi orang kota.Ia berobsesi mengembalikan kondisi pertanian ini. Untuk itu, katanya, pembangunan harus lebih seimbang antara pedesaan dan perkotaan. Sekarang ini tidak ada pembangunan ke pedesaan yang menarik sehingga mereka pindah ke kota. Soal skala ekonomi, sekarang petani sudah telanjur memiliki unit yang sangat kecil.Menurutnya, jika tidak ada langkah sistematis dan konsisten dipastikan Indonesia akan semakin tergantung pada luar negeri dalam memenuhi kebutuhan pangan. Produksi pertanian yang kini terus menurun tidak sebanding dengan percepatan pertambahan penduduk. Hal itu membuat negeri ini jadi incaran asing, agar semakin tergantung pangannya pada mereka.Sesungguhnya, Indonesia berpotensi besar untuk memproduksi hasil pertanian. Indonesia memiliki kekayaan alam luar biasa sehingga tidak ada alasan menjadi importir pangan terbesar. Petani di negara lain seperti di Australia dan Amerika Serikat merupakan orang kaya karena memiliki skala usaha ekonomi yang besar. Masalahnya di Indonesia skala ekonomi usaha tani sedekimian kecilnya, sehingga tidak memungkinkan mereka hidup sejahtera.Petani harus bekerja dengan skala ekonomi yang mensejahterakan mereka. Misalnya, jangan membiarkan peternak memelihara ayam 10 ekor karena paling tidak beternak ayam itu harus 2.000 ekor. Jangan membiarkan beternak domba lima ekor, paling tidak harus 50 ekor. Kalau petani hanya memiliki sapi satu ekor sudah pasti tidak sejahtera, bikinlah menjadi 12 ekor. Di sinilah peranan perbankan untuk membantu mereka sehingga petani bekerja dengan skala ekonomi yang menjamin usahanya mensejahterakan mereka.Pergulatan HidupSebagai seorang yang telah menjalani pergulatan hidup dalam berbagai kegiatan, mulai dari merintis usaha lalu jadi pengusaha, menteri, dan mejadi petani, ia melihat dalam hidup ini tidak ada orang yang tahu tentang masa depannya. Tetapi, dalam ketidaktahuan itu yang harus dilakukan setiap orang adalah bekerja sebaik-baiknya dimana dan kemana pun dia berada. Jadi petani jadilah petani yang baik. Jadi pengusaha jadilah pengusaha yang baik.Ketika mahasiswa, gara-gara situasi politik, antara lain karena dia aktif dalam Laskar Soekarno di Bandung, kuliahnya di Jurusan Teknik Sipil ITB nyaris terbengkalai karena ia terkena skorsing. Padahal, tinggal dua mata kuliah saja yang tertinggal. Lalu, menyadari bahwa dirinya tak lagi mungkin bekerja di pemerintahan, ia kemudian berdagang bawang putih dan kedelai dari Malang ke Jakarta, selain bekerja di perusahaan kayu jati dan mebel.Tentu saja, langkah ini jauh dari harapan Soewondo, ayahnya, yang menginginkan agar ia mengikuti jejaknya sebagai seorang dokter. Dr. Soewondo sendiri pernah menjadi wakil gubernur DKI di zaman Bung Karno. Sementara, Siswono sendiri, waktu remaja, ingin menjadi pelaut.Dengan bekal Rp 7,5 juta, pada 1969, ia mendirikan sebuah CV yang bergerak di bidang pekerjaan bangunan, yang kemudian ditingkatkan menjadi PT Bangun Cipta Sarana. Usahanya kemudian kian beragam ke usaha perdagangan atau keagenan alat-alat berat, sehingga ia pun mendiversifikasikan perusahaannya. Maka lahirlah PT. Asniaga Sarana. PT. Bangun Cipta Sarana lebih bergerak ke properti, termasuk kompleks perumahan Kemang Pratama, dan pemilik jalan tol Cawang-Cikampek, dan tol Bandara Cengkareng sampai Kebon Jeruk.Duapuluh dua tahun ia memimpin PT. Bangun Cipta Sarana. Kemudian selama sepuluh tahun dilepas saat ia menjabat menter. Selama ia tinggalkan, perusahaan itu jauh lebih baik. Itu berkat pengaderan yang baik sebelumnya. “Pada waktu saya tinggalkan, mereka berdebat untuk mengambil keputusan, karena merasa level-nya sama, dan putusannya ternyata bisa lebih bagus,” katanya. Saat menjabat menteri itu, tidak hanya manajemen yang dilepas, saham pun tidak dipegang. Sepuluh tahun benar-benar ia serahkan pada manajemen supaya dikelola dengan baik. Sebab ia tidak mau ada pertentangan dalam batin. Menurutnya, paling enak kalau kita hidup sama dengan apa yang kita rasakan dan sama dengan apa yang kita pikirkan.Menurutnya, bahayanya ada pendiri dalam manajemen, menjadikan para staf dan manajemen cenderung mengiyakan. Cenderung mengikuti, bukan berdebat. Itulah yang terjadi pada founders almarhum Hasyim Ning, Dasaad, William Soeryajaya, Soedarpo dan Ciputra.Maka setelah lengser dari jabatan menteri, ia kembali memimpin dua grup perusahaannya, yakni di Bangun Cipta Sarana, dan Artha Guna Cipta Sarana (bergerak dalam investment company dan pemilik Jakarta Design Center, Apartemen Semanggi, serta tambak ikan di Jawa Tengah dan kebun kelapa sawit di Sumatera Selatan), tidak dalam posisi direktur utama tapi dalam posisi Presiden Komisaris. Ketika terjadi krisis ekonomi, ia bersyukur grup usahanya tidak mempunyai pinjaman dalam dolar. Sehingga perusahaannya selamat dari badai krisis ekonomi itu. Tentang kebijakan tidak meminjam dolar tersebut, ia merendah bukan karena ia pintar, tapi lebih karena perlindungan Tuhan. Dalam bisnis itu ada yang masuk dalam perhitungan dan ada juga yang disebut luck, keberuntungan. Orang Cina bilang, hoki. Di samping itu, ada perlindungan Tuhan.Ia memberi contoh nyata ketika, saat mengerjakan proyek tol Cawang-Cikampek, hampir saja mereka mengganti pinjaman rupiah dalam bentuk dolar. Ketika itu, semua orang menganjurkan meminjam dalam bentuk dolar, karena bunganya lebih rendah. Direksi sudah mau pinjam dollar, bank pun sudah setuju. Tapi ia memberi berbagai pertimbangan kepada direksi, dan akhirnya tidak jadi. “Karena itu kita jadi selamat,” katanya.Ia mengakui dalam perjalanannya menjadi pengusaha tidak selamanya berjalan mulus. Ia menjadi pengusaha selama 20 tahun, sejak 1968 sampai sebelum menjadi menteri tahun 1988. Setelah itu selama 10 tahun menjadi menteri. Lalu kembali lagi menjadi pengusaha. Tidak selamanya berjalan mulus. Pernah juga hampir bangkrut. Satu hal yang bisa ia petik pelajaran dari segala peristiwa itu adalah setiap pukulan selama tidak membuat Anda mati, maka akan membuat Anda berkembang. Jadi betapa pun beratnya jangan takut untuk menghadapi kesulitan. Kesulitan itu yang biasanya membuat seseorang akan sukses. Bedanya orang yang sukses dengan yang gagal adalah orang sukses setiap kali mendapat pukulan dia maju menghadapinya. Orang yang gagal adalah setiap kali menghadapi pukulan dia minggir. Jadi, para pengusaha sukses, seperti Soedono Salim, William Soeryajaya, Arifin Panigoro, dan pengusaha yang lebih besar lagi di luar negeri juga mereka mengalami naik dan turun, seperti juga di bidang politik. Up and down adalah bagian dari kehidupan. Jangan sampai orang karena terkena pukulan lalu minggir. Itu salah! Demikian juga ketika ia berada dalam birokrasi. Ia duduk di birokrasi selama 10 tahun sebagai menteri. Di situ ia merasakan betul menjadi menteri di negara seperti Indonesia ini adalah peluang bagi seseorang untuk memberikan pengabdian yang luar biasa besarnya. Karena peranan dan kekuasaan menteri itu besar sekali dalam mewarnai perkembangan masyarakat.Jadi, menurutnya, sangat sayang kalau ada menteri yang tidak memanfaatkan peluang yang diberikan sejarah ini untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi perubahan, melakukan penyempurnaan-penyempurnaan. Sebab kewenangan menteri itu luar biasa. Memimpin suatu departemen dengan disediakan anggaran yang mencapai trilyunan rupiah. Maka, katanya, bayangkan saja kalau anda memegang trilyunan rupiah, tapi tidak berbuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Yang dilakukan bukan membuat perbaikan kepentingan masyarakat, tapi habis dikorup kan kacau itu. Menjadi menteri adalah kehormatan yang sangat tinggi sekaligus di dalamnya melekat tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Peluang untuk melakukan perbaikan dan perubahan itu begitu besar. Sebelum menjabat menteri, ia tidak pernah membayangkan peranan menteri seperti itu. Tapi setelah menjadi menteri, baru ia sadar bahwa ternyata jabatan itu memberikan peluang yang luar biasa untuk berguna bagi masyarakat dan negara. Maka waktu ia menjadi Menteri Negara Perumahan, ia mengeluarkan kebijakan rumah sangat sederhana. Karena rakyat tidak mampu memiliki, lalu kredit pemilikan rumah dengan bunga yang murah, membangun Tabungan Perumahan Pegawai (Taperum) dan berbagai kebijakan termasuk peremajaan pemukiman nelayan, peremajaan pedesaan tertinggal dan sebagainya. Kemudian, ketika menjadi menteri transmigrasi ia mengembangkan sapi di Marauke dan pulau-pulau lain.Ketika diangkat menjadi Menteri Negara Perumahan Rakyat pada Maret 1988, banyak orang terpereranjat. Pasalnya, dengan menjadi menteri berarti ia akan meninggalkan bisnisnya yang sedang berada di puncak. Konsekuensi logis dari kebersediaannya menjabat menteri adalah harus melepaskan semua jabatan penting di beberapa perusahaan. Sebagai Direktur Utama di PT Bangun Tjipta, serta jabatan komisaris Utama di 9 perusahaan ia tinggalkan.Dan ternyata keputusannya untuk menerima jabatan Menteri Negara Perumahan Rakyat mendapat dukungan dari para pelaku bisnis properti. Karena dengan melihat latar belakangnya yang sangat sesuai dengan jenis pekerjaan pada kementerian itu. Sejak tahun 1970 dengan bendera CV. Bangun Tjipta, ia telah mulai mengembangkan proyek-proyek perumahan, building contractor dan developer. Hingga tahun 1972, bentuk perusahaan Bangun Tjipta berubah dari CV ke perseroan, dan sejak itu pula ia mulai mengembangkan proyek-proyek besar lain di sektor properti. Beberapa proyek yang pernah ditanganinya, antara lain Jakarta Disain Center (JDC) dan Perumahan Kemang Pratama.Di samping karir bisnis, insinyur Teknik Sipil ITB Bandung ini juga berkibar di jalur organisasi dan politik. Ia pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia juga sebagai Ketua Umum Persatuan Pengusaha REI. Ia juga menjadi anggota MPR RI dari tahun 1982 hingga 1998. Bahkan setelah jabatan Menteri Perumahan Rakyat, periode 1993-1998 ia dipilih lagi menjadi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Dan sekarang ini ia dipercaya oleh para pengembang anggota REI menjadi Anggota Dewan Pembina DPP REI dan Ketua Komite Restrukturisasi Utang Pengembang. Kontroversi dan TerujiIa boleh juga disebut sebagai sosok kontroversial. Saat pengganyangan terhadap Bung Karno, dia adalah mahasiswa ITB yang menjadi Wakil Komando Laskar Soekarno. Tapi pada era Presiden Suharto, ia diangkat sebagai menteri dalam dua kali kabinet. Namun, dengan posisinya itu, tak membuatnya ragu-ragu menolak rencana penggusuran rumah susun yang dicanangkan keluarga Cendana, Titiek Prabowo dan Sudwikatmono, yang sudah berbekal ‘instruksi sakti’ Presiden Suharto. Selama menjadi menteri pun, Siswono yang mantan aktivis mahasiswa itu justru makin memperlihatkan sikap dasarnya, yaitu berpihak pada kebenaran dan keadilan. Sikap itu membuatnya makin erat dengan label kritis. Ia dianggap anggota kabinet perkecualian bersama Sarwono Kusumaatmaja. Walaupun oleh para pendukung rezim Soeharto, sikap Siswono dinilai tidak pas, karena ia pejabat pemerintah. Selama menjabat menteri, ia tergolong bersih dari KKN. Padahal peluang untuk itu cukup besar. Bahkan saat menjabat Menteri Transmigrasi, ia melarang perusahaanya menjadi rekanan. Padahal sebelumnya PT Bangun Cipta adalah rekanan di Departemen Transmigrasi, dan sudah beberapa kali membuka lahan untuk transmigrasi. Pejabat yang bersikap seperti itu sangat langka, terutama pada era Orde Baru. Bahkan banyak yang justeru mengandalkan fasilitas. Sementara ia pun bisa menghindari pemberian fasilitas, termasuk pada keluarga Cendana. Apa mungkin ia bisa menolak Cendana? Menurutnya, Pak Harto itu kalau kita jelaskan dengan baik, dengan argumen yang kuat, bisa menerima. Tetapi, yang terjadi, terlalu banyak pejabat yang menjilat. Pejabat yang mencari muka, itu yang terjadi. Ia memberi contoh, ketika tahun kedua ia menjadi Menteri Perumahan Rakyat. Ada sebuah surat yang ditandatangani oleh Titik Prabowo sebagai direktur utama, dan Sudwikatmono sebagai Preskom. Mereka meminta rumah susun Kebon Kacang di-ruislag seluas tiga hektar. Mereka ingin menggabung dengan bangunan bank yang sudah ada di Jalan M. Husni Thamrin. Lalu ia menghadap presiden, dan beliau mengatakan, “Rumah susun yang di Kebon Kacang planologinya diubah.” Wah! Lalu, ia membuat laporan lengkap dengan berbagai alasan. Di antaranya, bahwa rumah susun Kebon Kacang itu baru diresmikan tahun 1983, jadi baru berusia tujuh tahun. Kalau dalam waktu tujuh tahun ada peruntukan yang diubah, nanti akan timbul kesan bahwa pemerintah tidak well planner, program pemerintah itu tidak berjalan dengan baik. Selain itu, di rumah susun itu ada prasasti yang ditandatangani oleh presiden. Lagi pula perubahan peruntukan itu tidaklah menguntungkan untuk masyarakat bawah, kecuali kalau presiden mempunyai rencana lain. Maka ia menyarankan untuk tidak dilakukan penggusuran.Menerima laporan itu, Presiden Soeharto terlihat kaget, karena biasanya tidak ada yang mau begitu. Biasanya, kalau presiden sudah omong, semua selalu mendukung, apalagi keluarganya yang maju. Karena orang itu tidak punya kepercayaan diri untuk memperoleh suatu kedudukan. Beberapa saat Presiden Soeharto diam. “Saya juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan. Mungkin dia menilai, saya aneh. Tapi akhirnya presiden setuju untuk tidak dilaksanakan penggusuran. Jadi, saya plong!” kenang Siswono.Sementara pejabat lain waktu itu lebih suka menurut saja. Maka Siswono pernah menyebut banyak pejabat era itu yang sakit. Tapi, menurutnya, dalam empat tahun reformasi, lebih parah lagi sakitnya. Waktu itu, kondisi belum separah ini. Orang masih pesta mabuk, mabuk sukses. Kelakuan pejabat-pejabat kita juga tidak memikirkan kepentingan rakyat, lebih mementingkan diri sendiri. Waktu Thailand merosot, kita masih bisa mengatakan fundamental ekonomi kita kuat. Saya kesal waktu itu. Saya katakan, kita ini sakit, pejabatnya sakit, rakyatnya juga sakit.Bagaimana rakyat tidak sakit? Di setiap jalan polisi ambil uang, dan semua orang melihat tapi diam. Itu kan suatu penghinaan terhadap aparat negara dan dilakukan oleh aparat negara itu sendiri, ditonton oleh rakyat dan rakyat mendiamkan. Ia menyaksikan, ada seorang Dirjen pensiun. Dia tidak punya apa-apa. Malah banyak orang mengatakan, dia bodoh. Lima tahun jadi Dirjen, tidak punya apa-apa. Orang jujur jadi dianggap bodoh. Sementara, ada pejabat eselon dua, punya rumah mentereng, punya mobil lima, dan anak-anaknya sekolah di luar negeri. Dia dibilang hebat. Maka, ia menyebut, semuanya sakit.Ia juga pernah mengkritik Presiden Habibie tidak hemat. Sebab waktu masih menteri saja sudah beli jet pribadi seharga 35 juta dollar AS.Karena itu dari awal, ia sudah mengatakan, salah satu kunci agar bangsa ini maju harus membangun aparat yang bersih dari korupsi dan kolusi. Untuk itu, ia menyarankan setiap pejabat harus me-reclear kekayaannya sebelum menjabat. Baik itu menteri atau gubenur, bupati, dan dirjen. Setelah menjabat juga harus melaporkan kekayaannya. Ketika itu, orang jadi ramai. Padahal, di luar negeri, itu hal yang biasa. Di Malaysia, biasa. Apalagi di Jepang. Maka ia sangat mendukung terbentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).Kontroversi terus mewarnai langkahnya dalam munas luar biasa Golkar Juli 1999 untuk pergantian pengurus. Ia bersama Sarwono, Try Sutrisno dan Edy Sudrajat dituduh sebagai Soehartois yang anti reformasi. Sementara Akbar Tanjung bersama Habibie, Feisal Tanjung dan Abdul Gafur adalah kaum anti Soeharto yang pro reformasi. Buat orang yang paham, tuduhan itu memang mirip dagelan. Riwayat Siswono sendiri tak pernah menunjukkan sebagai Soehartois, apalagi anti-reformasi. Sementara Try Sutrisno yang berada satu kubu dengannya, setidaknya adalah wakil presiden hasil ‘fait a ccompli’ ABRI yang tidak menghendaki wapres pilihan Soeharto, yaitu BJ Habibie. Mungkin, begitulah politik, yang bagi sebagian orang kotor. Tapi Siswono yang sejak muda tak pernah jauh dari politik, tampaknya tak sempat kehilangan kepribadian. Ia masih bisa menulis puisi dan cerpen. Bahkan saat jadi menteri, ia ikut menulis buku Rumah untuk Rakyat. Sebelumnya, saat masih jadi pengusaha, dia tuangkan konsepnya perihal hubungan etnik Tionghoa dengan penduduk setempat dalam buku laris Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia.Setelah kerusuhan Mei 1998, buku yang terbit tahun 1985 itu, sempat jadi best-seller. Mengenai peristiwa 13 dan 14 Mei itu, ia tidak percaya kalau kerusuhan itu spontan. Ia percaya peristiwa itu sengaja disulut, dan reaksinya di luar dugaan, yang akhirnya menjadi spontan. Sulit ia membayangkan terjadi peristiwa yang sebegitu brutalnya, termasuk pemerkosaan dan penjarahan bisa terjadi secara spontan.Kalau melihat peristiwa-peristiwa yang lalu, yang terjadi hanya perusakan dan pelemparan batu. Rasa-rasanya, itu batas spontan yang bisa diterima. Tapi, setiap kali kita melihat masalah Cina, selalu dikaitkan dengan huru-hara. Mulai dari Situbondo, Tasikmalaya, Solo, Pekalongan, Cirebon, Medan, selalu dikaitkan dengan huru-hara. ►tsl, dari berbagai sumber. ►LANJUT
Nama:Dr. (Hc) Ir. Siswono Yudo HusodoLahir:Long Iram, Kalimantan Timur, 4 Juli 1943Agama:IslamIsteri:Ratih Gondokusumo (Notaris)Anak:Mutiara, Savitri, Emeralda (meninggal dunia saat berusia 11 tahun), Rubyeta, dan PirousiAyah:Dr. SoewondoPendidikan:Tamat Jurusan Sipil ITB - Tahun 1968Pekerjaan: Direktur Utama PT. Bangun Tjipta Sarana 1969 - 1988Menteri Negara Perumahan Rakyat RI 1988 - 1993Menteri Transmigrasi dan PPH RI 1993 - 1998Komisaris Utama PT. Bangun Tjipta Sarana 1998 - sekarangOrganisasi:- Ketua Umum HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) 1973 - 1977- Ketua Umum Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia (REI) 1983 - 1986- Ketua Departemen Koperasi dan Wiraswasta DPP Golkar 1983 - 1988- Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia 1985 - 1988- Dewan Pembina Golkar 1988 - 1998- Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) 1999 - 2005- Anggota Dewan Pembina DPP Partai Golkar 2005-2010Pengalaman Legeslatif:Anggota MPR - RI utusan daerah DKI Jakarta 1982 - 1987Anggota MPR - RI Golkar Kalimantan Timur 1987 - 1992Anggota MPR - RI Golkar Sulawesi Tenggara 1992 - 1997Anggota MPR - RI Golkar N.T.B. 1997 - 1998Anggota MPR - RI utusan golongan mewakili petani 1999 - sekarangKarya TulisNovel:Warga Baru (Kasus Cina di Indonesia)Ilmiah Populer : - Rumah Untuk Seluruh Rakyat - Transmigrasi, Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang TimpangPolitik: - Semangat Baru Nasionalisme Indonesia.- Nasionalisme Indonesia Dalam Era Globalisasi.Alamat :Jl. H. Abd. Majid No. 48, Cipete, Jakarta Selatan
25.Sutan Takdir Alisjahbana
Andaikan Masih Hidup
Hari ini 100 tahun hari kelahiran Sutan Takdir Alisjahbana (STA), 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Alangkah beruntungnya kita jika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) masih hidup sekarang. Kita bisa banyak bertanya soal arah kebudayaan bangsa ini. Soal budaya yang hari-hari ini menjadi isu sangat relevan dalam kehidupan kita saat media massa sibuk memberitakan perdebatan mengenai RUU Pornografi dan Pornoaksi. Bukankah STA adalah pemuja modernitas dari Barat? Mungkin kalimat itu yang bisa dilontarkan jika kita mengasumsikan pornografi adalah anak kandung modernitas dari Barat. Asumsi itu bisa jadi terlampau menyederhanakan masalah kebudayaan dan soal yang berkaitan dengan dunia syahwat.Lepas dari perdebatan itu dan yang tak mungkin bisa dilupakan dari sosok STA ialah idenya yang berani soal arah kemajuan budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, Barat, ke Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA melontarkan idenya itu pada usia 27 tahun. Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan budayawan seangkatannya seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi pemikiran STA seraya mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus dipertahankan Indonesia mendatang. Memikat sekali untuk mencermati catatan almarhum Mochtar Lubis tentang STA. Menurut bapak jurnalis Indonesia itu, sumbangan utama STA yang harus tercatat dalam sejarah kebudayaan Indonesia ialah polemiknya yang penuh gairah menghadapi intelektual seniornya yang hendak mempertahankan nilai kebudayaan lama sebagai landasan kemajuan Indonesia. Perdebatan antara STA dengan para penentangnya belakangan dikenal dengan istilah Polemik Kebudayaan.Jika dikaitkan dengan persoalan arah budaya Indonesia mendatang, termasuk perdebatan keras di masyarakat mengenai bagaimana negara mengatur soal pornografi, maka peluncuran buku Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana di Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (21/2) malam menjadi sangat relevan. Buku yang disunting A Abdul Karim Mashad bukan hanya berisi informasi mengenai karya tulis STA. Buku itu memuat juga sejumlah tulisan budayawan Indonesia yang mengkritisi pemikiran STA.Hadir dalam peluncuran buku itu sastrawan Abdul Hadi, sejarawan Asvi Warman Adam dan para mahasiswa dan budayawan yang tampaknya sangat antusias mendiskusikan pikiran STA. Ratna Sarumpaet sempat pula membawakan puisi karya STA berjudul Menuju Ke Laut. "Kami telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan...'' Karya STA yang dibacakan Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu seolah menunjukkan sikap STA yang tegas untuk meninggalkan tradisi budaya di Indonesia yang menurutnya antiintelektual dan antimaterialisme. Bisa jadi pendapat STA soal antiintelektual ini tepat untuk menggambarkan wajah budaya Indonesia saat ini. Wajah yang kebingungan untuk menentukan arah budaya Indonesia hingga soal pornografi pun harus diatur secara khusus dalam sebuah Undang Undang (UU), sementara UU yang sudah ada dan mengatur masalah itu tidak digunakan dengan maksimal. (Suara Pembaruan, 22 Februari 2006)
Pemikiran Rasional STA Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang Islam sangat relevan dan kontekstual dalam perkembangan Islam sekarang ini. Ia menginginkan umat Islam bisa mencapai kemajuan dan keluar dari keterbelakangan.”Ia mengembangkan sikap rasional, memahami agama dengan cara yang rasional, mengembangkan pemikiran yang rasional. Jadi bukan pemahaman yang literal,” kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra pada diskusi ”Menyongsong Satu Abad Sutan Takdir Alisjahbana” yang kerap disebut STA di Jakarta, Selasa (21/2).Menurut Azyumardi, ada kecenderungan sekarang ini orang memahami agama secara literal, secara hitam putih. Sikap literal itulah yang menurut STA tidak kondusif untuk mencapai kemajuan.STA menekankan pentingnya bagi orang Islam untuk mengembangkan i’tijad, berpikir secara independen untuk menjawab masalah-masalah yang ada. Meskipun STA sangat menekankan distingsi Islam, ia juga sangat menekankan bahwa Islam amat mementingkan solidaritas antarmanusia sehingga dengan begitu umat Islam bisa terhindar dari keislaman yang chauvinistik. Ia melihat dalam sejarah Islam bahwa kaum Muslimin dalam banyak hal tak segan-segan bekerja sama dengan golongan-golongan (agama) lain. Menurut STA, dalam dunia yang menjadi kecil sekarang (globalisasi), tidak boleh tidak kerja sama antarmanusia mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh.Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melihat pemikiran STA lebih banyak memprovokasi kita supaya melihat ke Barat. ”Sutan Takdir Alisjahbana menganggap nilai-nilai Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme sebagai sesuatu yang penting sebagai api. Dia mengibaratkan orang masak nasi, jadi jangan dipadamkan apinya. Kalau di Barat, nasi (itu) sudah hampir masak, jadi api tak perlu diperbesar. Di Indonesia api itu diperlukan,” kata Asvi.Untuk konteks masa kini, melihat atau mengambil sesuatu yang positif dari Barat, dipandang Asvi, masih sangat relevan.Menurut Asvi, STA bersama Muhammad Yamin adalah dua pujangga yang saling melengkapi. STA menghadap ke depan dengan menyatakan kita harus mencontoh Barat untuk mengambil yang positif dari Barat, sedangkan Yamin mengajak kita kembali ke belakang saat kita pernah mengalami kejayaan pada masa lampau. (Kompas, 23 Februari 2006) ►e-ti
Suatu Filosofi untuk Masa Depan
Menuju Kebudayaan yang InklusifOLEH : SUTAN TAKDIR ALISJAHBANAPengantar:Hari ini adalah peringatan 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana yang lahir 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Tulisan ini merupakan karya terakhir yang ia tulis semasa hidupnya. Pada umumnya orang mengingatnya sebagai penulis novel Layar Terkembang dan sebagai pemimpin redaksi majalah sastra dan budaya, Pudjangga Baru. Namun, sumbangan utamanya sebetulnya bukan dalam bidang sastra, melainkan dalam bidang bahasa dan kebudayaan. Ia memodernisasikan bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional negara modern yang merdeka yang ikut mempersatukan Nusantara.Ia juga adalah pencetus Polemik Kebudayaan yang menjadi pembicaraan hangat pada tahun 1930-an. Melalui Polemik Kebudayaan ia berusaha menemukan jati diri bangsa dan membimbing pembentukan kebudayaan baru, yang dapat menjadi pemersatu penduduk Nusantara. Tak banyak yang menyadari prinsip yang melandasi segala ucapannya.Takdir menerbitkan hampir seluruh pandangan yang berbeda-beda dalam Polemik Kebudayaan yang hampir semuanya bertentangan dengan pandangannya sendiri. Meskipun ia semangat dan terus terang dalam mengekspresikan pandangannya, ia tetap menjadi demokrat yang tidak hanya memancing pandangan yang berbeda-beda, tetapi juga menyediakan wadah untuk mengekspresikannya melalui majalah Pudjangga Baru.Sepanjang hidupnya Takdir tak pernah berhenti dalam menyampaikan pandangannya mengenai masyarakat dan kebudayaan, namun ia juga menghargai pentingnya kebebasan berekspresi bagi mereka yang tidak sependapat dengan pandangannya. Dengan cara ini Takdir membantu mewujudkan dialog yang membentuk Indonesia. Tidak banyak orang yang melihat sisi ini dari Takdir.Takdir memperkenalkan wacana mengenai pentingnya kita untuk menciptakan sebuah kebudayaan dunia yang inklusif. Istilah kebudayaan yang inklusif sekarang sudah menjadi populer. Takdir telah berjuang untuk itu melalui karya dan tulisannya sepanjang hidupnya dan ia menyebutnya jauh sebelum kebanyakan orang lain. (*)Dewasa ini kecepatan transportasi dan komunikasi sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dahsyat menimbulkan suatu proses globalisasi di dunia yang mengakibatkan segala sesuatu tampaknya berada di depan kita dan kita tak terhindar lagi dari penyatuan bangsa dan kebudayaan di planet kita yang seolah-olah semakin menyusut.Sepanjang sejarah, dengan bertambahnya pengetahuan serta kemampuan manusia menciptakan teknologi yang semakin canggih dan efisien, masyarakat dan budaya manusia menjadi semakin lama semakin kompleks dan luas: suku menjadi marga, marga menjadi kerajaan, dan kerajaan menjadi negara kebangsaan. Proses ini juga terlihat di dalam perkembangan persenjataan. Dengan memakai anak tombak dan panah kapasitas untuk menghancurkan musuh terbatas, manusia hanya mampu membunuh satu orang dalam sekali waktu, namun dengan penemuan bubuk mesiu dan senjata otomatis, kapasitas untuk membunuh menjadi dahsyat sebagaimana terlihat dalam peperangan abad ke-20. Namun, dengan bom atom, terlihat jelas bahwa manusia menghadapi situasi yang sama sekali baru. Sekarang perang bukan hanya mengakibatkan pembunuhan massal. Dengan senjata atom kita sudah mampu memusnahkan dunia bahkan menghapuskan seluruh umat manusia. Sangatlah jelas bahwa dalam situasi seperti ini kita harus mengubah cara pandang dan sikap kita terhadap sesama manusia.Proses globalisasi mengakibatkan berbagai kebudayaan di dunia bertemu bukan saja di kota besar, tetapi di mana-mana dengan adanya radio, televisi, surat kabar, dan media massa. Akibatnya terjadi pertemuan dan percampuran kebudayaan yang lebih besar daripada yang pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.Pandangan-pandangan lama yang bersumber pada sukuisme, nasionalisme, dan eksklusivitas agama harus berubah sehingga tidak timbul konflik yang tak terkendali lagi. Kita harus mengatasi keterbatasan kita dan kontroversi dengan pihak lain melalui sikap dan pemikiran baru yang radikal. Sebuah filosofi pemahaman dan tanggung jawab yang baru dan lebih luas cakupannya harus tampil. Kita tidak minta dilahirkan di dalam suku, bangsa, atau agama tertentu. Berdasarkan sudut pandang ini situasi kita sebuah kebetulan. Saya lahir sebagai orang Indonesia, tapi saya bisa saja terlahir sebagai orang Eskimo dengan kebudayaan dan cara hidup orang Eskimo.Dari sudut pandang ini, semua masyarakat dan kebudayaan lain merupakan bagian dari peluang dan potensi yang terbuka bagi saya. Orang yang saya pandang sebagai suku lain akan menjadi suku saya andaikata saya lahir di antara mereka.Di zaman transportasi dan komunikasi yang pesat, orang sering pindah dan menetap di antara masyarakat dan kebudayaan lain. Maka kita perlu mengembangkan pemikiran kita sehingga kita memandang orang lain sebagai peluang dan potensi baru yang terbuka bagi kita. Kita tidak menentukan tempat kelahiran, adat istiadat, dan pendidikan kita. Melalui perkawinan dan berbagai kontak sosial dan budaya lain, melalui radio, televisi, buku, dan majalah, kita telah menjadi bagian dari orang dan masyarakat lain dan demikian pula sebaliknya.Dalam konteks ini, tidak ada lagi konsep ”orang lain”, yang ada hanyalah satu umat manusia di atas planet yang semakin menyusut yang berada dalam bahaya kehancuran total akibat perbuatan kita sendiri melalui perkembangan ilmu dan teknologi yang dahsyat.Saya hendak kembali kepada masa abad ke-5 SM. Pada waktu itu di China muncul Confucius, Lao-tse, Moti, dan lainnya yang meletakkan dasar kerajaan dan peradaban China. Di India terdapat Buddha Mahavira dengan para penulis Upanishad dan Kaisar Ashoka yang menyatukan daratan India. Di Timur Tengah para nabi Yahudi sedang bergelut dengan konsep keesaan Tuhan dari mana kemudian muncul agama Kristen dan Islam, sedangkan di Yunani, para filosof besar, seperti Plato dan Aristoteles, membuka jalan bagi pemikiran sekuler modern. Karl Jaspers menyebut masa abad ke-5 SM sebagai ”Achsenzeit” atau ”masa sumbu sejarah” yang sampai sekarang masih memengaruhi kehidupan kita. Alfred Weber menyimpulkan bahwa peningkatan kreativitas sosial dan budaya pada abad ke-5 SM terkait dengan pemakaian kuda sebagai alat transportasi.Namun, kita sekarang berdiri di suatu kurun waktu yang jauh lebih hebat daripada abad ke-5 SM. Cukuplah membandingkan kecepatan kuda dan pesawat terbang. Seperti sudah dikatakan, perbatasan antarnegara menjadi hilang. Sebuah masyarakat dan kebudayaan dunia baru sedang muncul, jauh lebih besar daripada sebelumnya. Negara-negara di dunia harus membentuk suatu federasi dunia. Hanya dengan demikian dapat kita mengatasi bahaya kehancuran dunia dan umat manusia sebab negara-negara dunia tidak perlu mempersenjatai dirinya lagi.Kita sekarang masih jauh dari keadaan seperti itu sehingga suatu sikap solidaritas universal harus dibangkitkan agar retorika eksklusivisme dapat terhapus dan digantikan oleh komunikasi kebersamaan dan solidaritas universal, yang berarti membentuk suatu kebudayaan dunia yang inklusif. (Kompas, Senin, 11 Februari 2008)
26.Taufiq Ismail
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI (1970) yang menulis Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999), ini lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini berobsesi mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Taufiq Ismail, lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963, sekarang Institut Pertanian Bogor. Selain telah menerima Anugerah Seni Pemerintah RI juga menerima American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57).
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
Selain itu, bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, Taufiq menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan, menyunting Prahara Budaya (1994).
Taufiq sudah bercita-cita jadi sastrawan sejak masih SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Kala itu, dia sudah mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Dia memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang suka membaca, sehingga dia sejak kecil sudah suka membaca.
Kegemaran membacanya makin terpuaskan, ketika Taufiq menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia Pekalongan. Sambil menjaga perpustakaan, dia pun leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. Dia tidak hanya membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama.
Kesukaan membacanya, tanpa disadari membuatnya menjadi mudah dan suka menulis. Ketertarikannya pada sastra semakin tumbuh tatkala dia sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS. Dia mendapat kesempatan sekolah di situ, berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana dia mengenal karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Dia sanga menyukai novel Hemingway The Old Man and The Sea.Namun setelah lulus SMA, Taufiq menggumuli profesi lain untuk mengamankan urusan dapur, seraya dia terus mengasah kemampuannya di bidang sastra. Dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia di Bogor, lulus 1963. Semula dia berobsesi menjadi pengusaha peternakan untuk menafkahi karir kepenyairannya, namun dengan bekerja di PT Unilever Indonesia, dia bisa memenuhi kebutuhan itu.
Taufiq menikah dengan Esiyati tahun 1971. Mereka dikaruniai satu anak, yang diberinya nama: Abraham Ismail. Dia sangat bangga dengan dukungan isterinya dalam perjalanan karir. Esiyati sangat memahami profesi, cita-cita seorang sastrawan, emosi sastrawan, bagaimana impuls-impuls seorang sastrawan.
Taufiq bersama sejumlah sastrawan lain, berobsesi memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui program “Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab”. Kegiatan ini disponsori Yayasan Indonesia dan Ford Foundation. Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, di antaranya: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.); Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970); Tirani (1966); Puisi-puisi Sepi (1971); Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971); Buku Tamu Museum Perjuangan (1972); Sajak Ladang Jagung (1973); Puisi-puisi Langit (1990); Tirani dan Benteng (1993); dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).
Dia pun sudah menerima penghargaan: - American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57); - Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970; dan - SEA Write Award (1997) ►e-ti/tsl (dari berbagai sumber, di antaranya pusat data dan analisa tempo)
27.Yap Thiam Hien (1913-1989)
Obor Pejuang Keadilan dan HAM
Yap Thiam Hien seorang pengabdi hukum sejati. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya telah menjadi sumber inspirasi dan obor api semangat bagi segenap pejuang keadilan dan HAM di negeri ini. Pria Tionghoa ini seorang advokat teladan yang berani dan tanpa pamrih selalu hadir paling depan membela orang-orang tertindas. Patutlah namanya diabadikan sebagai nama penghargaan penegakan HAM: Yap Thiam Hien Award.Sehingga, walaupun pejuang HAM, kelahiran Banda Aceh 25 Mei 1913, ini telah wafat 25 April 1989, namanya tetap hidup menjadi sumber inspirasi dan obor api perjuangan hak asasi manusia yang terus menyala, tidak pernah padam. Ia telah menjadi teladan dan guru bagi banyak advokat terkenal di negeri ini. Semangat juangnya untuk menegakkan keadilan diukir dalam lambang Yap Thiam Hien Award dengan semboyan Fiat Justitia, Ruat Caelum yang artinya tegakkan keadilan, sekalipun langit runtuh.Agaknya, itu pulalah menjadi makna paling hakiki dari penganugerahan Yap Thiam Hien Award, yaitu suatu sumber nyala api semangat meneruskan (estafet) perjuangan hak asasi manusia sebagai komitmen terhadap kemerdekaan, keadilan dan peradaban. Suatu obor estafet hak asasi manusia. Sekaligus sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Yap Thiam Hien, walaupun dia tidak mengharapkan penghargaan itu. Yap Thiam Hien Award yang adalah penghargaan bidang HAM yang pertama di Indonesia, telah diselenggarakan sejak 1992. Dianugerahkan kepada individu dan lembaga yang teguh berjuang di bidang penegakan HAM.Siapa Yap Thiam Hien? Sudah banyak cerita (kisah) tentang dia. Ia seorang pejuang hak asasi manusia di Indonesia. Sebagian besar hidupnya diabdikan untuk membela siapa saja yang tertindas. Pemilik sosok tubuh kecil ini bernyali besar untuk membela siapapun yang tertindas. Ia dikenal sebagai seorang advokat teladan yang mencerminkan prinsip dan idealisme seorang penegak hukum yang ideal. Seorang pejuang hak asasi manusia yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum terpinggir dan minoritas. Ia sosok advokat yang menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi para penegak hukum generasi sesudahnya.Sebagai advokat, ia tidak pernah memilih-milih klien untuk dibela. Sejak aktif sebagai advokat tahun 1948, ia selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah. Hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan dan dipenjara. Memang, ia seorang advokat yang pantas menyandang predikat istimewa dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia: Seorang ‘Singa Pengadilan’. Demi menegakkan hukum dan keadilan, ia selalu siap berjuang habis-habisan tanpa mengenal rasa takut. Sering kali ia membela klien yang sebelumnya telah ditolak advokat lain karena miskin atau unsur politik dan mengenai kepentingan pemerintah. Pada era Orde Baru itu, kerap kali para advokat menghindari membela kepentingan rakyat yang tertindas. Tetapi, Yap tetap teguh pada prinsip, ia berani dengan segala konsekuensinya membeli kepentingan para wong cilik.Contohnya, ia pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Saking ‘geram’-nya ‘Singa Pengadilan’ ini bahkan menyerang pengacara pemilik gedung itu dalam persidangan, dengan mengatakan: “Bagaimana Anda bisa membantu seorang kaya menentang orang miskin?” Yap, salah seorang pendiri Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu berani membangkitkan semangat wong cilik tertindas dan tergusur itu untuk menentang kebijakan pemerintah yang salah, demi tegaknya keadilan.Pada era Bung Karno, Yap (panggilan akrabnya) menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen. Begitu pula ketika terjadinya G-30-S/PKI, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G-30-S/PKI seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Yap bersama Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Hak-hak Asasi Manusia yang mereka dirikan dan sekaligus mewakili Amnesty Internasional di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan. Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung, heran dan jengkel.Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.Pada Peristiwa Malari (Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis berhadapan dengan kekuasaan yang otoriter. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demo besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka.Yap Thiam Hien, anak sulung dari tiga bersaudara buah kasih Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio, dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han ini sejak kecil memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.Semangat antipenindasan ini telah mendorongnya untuk giat belajar. Ia sadar bahwa pendidikan adalah syarat utama untuk bisa melawan penindasan. Tanpa pendidikan akan sulit bagi seseorang melepaskan diri dari penindasan, apalagi untuk membela orang dari penindasan. Maka ia pun dengan tekun belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO di Banda Aceh. Setamat dari MULO, Yap meninggalkan Banda Aceh, melanjutkan studi ke AMS A-II jurusan Sastra Barat di Yogyakarta pada 1933. Ketika di AMS itu Yap banyak menghabiskan waktu membaca literatur berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin.Kemudian ia pindah ke Jakarta, dan masuk Chineesche Kweekschool. Selepas itu, Yap menjadi guru di Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943.Belum puas dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya, setelah kemerdekaan, Yap berangkat ke negeri kincir angin melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Dari sana ia meraih gelar Meester de Rechten. Sekembali ke tanah air, ia mulai berkiprah sebagai seorang advokat sejak 1948. Pada mulanya menjadi pengacara warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Setelah lebih berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Sampai kemudian, sebagai advokat pejuang, Yap membuka kantor pengacara sendiri sejak tahun 1970.Sejak aktif sebagai advokat itu, Yap tak jemu-jemunya melayani kepentingan masyarakat. Ia pejuang hak asasi dan gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas dan kaum tertindas. Dalam profesi sebagai advokat, untuk tujuan memperkuat hukum dan melayani keperluan keadilan, ia pun memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.Dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan diskriminatif yang dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut mendirikan BAPERKI, suatu lembaga politik untuk orang-orang Tionghoa. Lalu, pada Pemilihan Umum 1955, ia menjadi anggota DPR dan Konstituante.Nama Yap muncul ke permukaan setelah ia terlibat dalam perdebatan di Konstituante pada 1959. Ketika itu, sebagai seorang anggota DPR dan Konstituante keturunan Tionghoa, ia menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia satu-satunya anggota Konstituante yang menentang UUD 1945 karena keberadaan Pasal 6 yang diskriminatif dan konsep kepresidenan yang terlalu kuat.Perjalanan karir dan perjuangannya juga ditopang dengan kuat oleh Sang Isteri, Tan Gian Khing Nio, yang berprofesi guru. Mereka dikaruniai dua anak dan empat cucu. Yap, yang meraih gelar doktor honoris causa dan dikenal sebagai pengabdi hukum sejati itu, mampu dengan penuh semangat melaksanakan berbagai prinsip keadilannya, juga ditopang oleh Sang Isteri.Bagi keluarganya, Yap juga seorang panutan. Walaupun sangat sedikit waktu yang bisa dia sediakan untuk keluarga, ia selalu berupaya memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk bersahabat dengan isteri dan anak-cucunya. Jika ada waktu senggang ia senang memanfaatkannya dengan bepergian atau berdiskusi dengan putra-putrinya. Baginya, Sang Isteri dan putera-puterinya adalah inspiasi, gairah dan semangat tinggi.Namun, setinggi apapun semangat itu, tak ada manusia yang kuasa menolak kematian. Begitu pula bagi Yap. Hari itu pun tiba. Dalam suatu perjalanan tugas menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia, Yap menderita pendarahan usus. Setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Santo Agustinus, Brussel, Yap menghembuskan napas yang terakhir pada 25 April 1989. Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat, jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.
Nama:Yap Thiam HienLahir:Kutaraja, Banda Aceh, 25 Mei 1913Meninggal:Brussel, 25 April 1989Isteri:Tan Gian Khing Nio (guru)Anak:Dua orangAyah:Yap Sin EngIbu:Hwan TjingProfesi:Advokat (Pendiri organisasi advokat, Peradin)Pendidikan:Europesche Lagere School Banda AcehMULO Banda AcehAMS A-II jurusan Sastra Barat Yogyakarta 1933Meester de Rechten dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, BelandaDoktor honoris causaPekerjaan:Guru Chineesche Kweekschool JakartaGuru di Chinese Zendingschool, CirebonGuru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di RembangPencari langganan telepon bekerja di kantor asuransi Jakarta 1938Pegawai Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943.Pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar pada 1950.Anggota DPR dan Konstituante 1955Organisasi:Pendiri BAPERKIPendiri/Ketua PeradinPendiri LBHI
Minggu, 07 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kok Rapid Test Bayar?
Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...
-
Ideal Partner in The Turbulent World Talking about ideal partner is closely linked with subjective feeling. It depends on perception which i...
-
Memperingati hari anti-korupsi, sy menemukan file video lama yg ternyata meninggalkan value dan spirit anti-korupsi. Sedikit cerita soa...
1 komentar:
KABAR BAIK!!!
Ramadan adalah di sini sudah tidak Anda berpikir itu adalah waktu untuk mendapatkan berkah dari Allah bisa Koneksi hari ini dan Anda yakin akan bahagia dengan kasih karunia Allah.
Nama saya Mia. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.
Posting Komentar