Minggu, 07 Desember 2008

bagian III

Sukses Dengan Berintegritas
Bagian III
19. Prof. Dr. Mubyarto
Pakar Ekonomi Kerakyatan
Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 24 Mei 2005 pukul 13.49. Pakar ekonomi kerakyatan kelahiran Yogyakarta, 3 September 1938, itu meninggalkan seorang istri, Sri Hartati, empat anak dan enam cucu.
Prof Dr Mubyarto yang akrab dipanggil Muby itu sempat dirawat secara intensif selama empat hari karena menderita paru-paru basah dan serangan jantung ringan. Jenazah disemayamkan di rumah duka Perumahan Dosen UGM, Sawitsari C-10 Condongcatur, Depok, Sleman.
Untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari civitas academica UGM, jenazah disemayamkan lebih dulu di Balairung UGM Rabu 25 Mei 2005 pukul 11.00. Kemudian dikebumikan di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, sekitar pukul 13.00. Berbagai kalangan datang melayat ke rumah duka di Kompleks Sawit Sari C-10. Di antaranya mantan Dirjen Dikti dan Dubes Unesco Prof Dr Bambang Suhendro dan mantan Rektor UNS Prof Dr Kunto Wibisono. Juga mantan Ketua MPR RI Amien Rais.
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tengah berada di Yogyakarta membuka Rakerda Partai Golkar juga menyempatkan diri melayat ke rumah duka bersama Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, dan Prof Dr Muladi.
Pakar Ekonomi Kerakyatan
Guru Besar FE-UGM dan Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM), ini dikenal paling konsern pada ekonomi kerakyatan. Ekonom kelahiran Yogyakarta, 3 September 1938, ini juga konsern terhadap Sistem Ekonomi Pancasila. Hampir setiap kesempatan ia berbicara tentang sistem ekonomi Pancasila itu.
Dalam renungan akhir tahun 2003, sekaligus memperingati 1 tahun Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM, Selasa (9/12/03), ia mengatakan semangat nasionalisme bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir sudah sangat mengendur. Kendurnya nasionalisme ini karena telah dibekukan prestasi “keajaiban ekonomi” selama 32 tahun pembangunan ekonomi Orde Baru yang selalu ditonjolkan.
Ia bilang, ekonomi Indonesia telah mencapai pertumbuhan ekonomi luar biasa, yaitu rata-rata 7 persen/tahun. Padahal, dalam realitas yang terjadi adalah penghisapan oleh pemerintah pusat dan investor asing. Akibatnya, kata kakar ekonomi kerakyatan dari UGM ini, ekonomi nasional menjadi sangat timpang meski rata-rata pendapatan nasional sudah melebihi US$ 1000.
Ekonom Indonesia, kata lulusan S3 Iowa State, 1965, ini telah keblinger, tidak merasa terpedaya oleh keajaiban ekonomi yang menipu. Nyatanya, mereka sekarang tetap saja berbicara perlunya pertumbuhan ekonomi yang tinggi (6-7 persen/tahun) sebagai satu-satunya jalan menuju “pemulihan ekonomi”. Ia juga menjelaskan, di masa Orba banyak daerah –terutama yang kaya sumber daya alam – merasa dihisap oleh pemerintah pusat atau investor dari luar. Contoynya, pada 1996, Provinsi Kaltim, Riau dan Irian Jaya (Papua) derajat penghisapannya tinggi, masing-masing 87 persen, 80 persen dan 78 persen. Artinya, dari setiap 100 nilai PDRB, bagian yang dinikmati penduduk setempat hanya 13 persen (Kaltim), Riau 20 persen dan Papua 22 persen. Selebihnya dinikmati investor dari luar. “Akibatnya ekonomi Indonesia kembali terjajah oleh ekonomi asing. Inipun pada 1988 sebenarnya sudah diperingatkan, namun rupanya diabaikan oleh para teknokrat kita.
Berikut ini kami petik Makalah Kuliah Umum Ekonomi Pancasila di Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang, 9 Januari 2003, berjudul: “Pelaksanaan Sistem Ekonomi Pancasila Di Tengah Praktek Liberalisasi Ekonomi di Indonesia” Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia sejak medio delapanpuluhan bersamaan dengan serangan globalisasi dari negara-negara industri terhadap negara-negara berkembang, sebenarnya dapat ditangkal dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila. Namun sejauh ini gagal karena politik ekonomi diarahkan pada akselerasi pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang pemerataan hasil-hasilnya.Trilogi Pembangunan Sebenarnya sejak terjadinya peristiwa “Malari” (Malapetaka Januari) 15 Januari 1974, slogan Trilogi Pembangunan sudah berhasil dijadikan “teori” yang mengoreksi teori ekonomi pembangunan yang hanya mementingkan pertumbuhan . Trilogi pembangunan terdiri atas Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya. Namun sayangnya slogan yang baik ini justru terkalahkan karena sejak 1973/74 selama 7 tahun Indonesia di”manja” bonansa minyak yang membuat bangsa Indonesia “lupa daratan”. Rezeki nomplok minyak bumi yang membuat Indonesia kaya mendadak telah menarik minat para investor asing untuk ikut “menjarah” kekayaan alam Indonesia. Serbuan para investor asing ini ketika melambat karena jatuhnya harga minyak dunia , selanjutnya dirangsang ekstra melalui kebijakan deregulasi (liberalisasi) pada tahun-tahun 1983-88. Kebijakan penarikan investor yang menjadi sangat liberal ini tidak disadari bahkan oleh para teknokrat sendiri sehingga seorang tokoknya mengaku kecolongan dengan menyatakan: Dalam keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar. Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal, dengan demikian menjadi yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang paling liberal. (Radius Prawiro. 1998:409)Himbauan Ekonomi Pancasila Pada tahun 1980 Seminar Ekonomi Pancasila dalam rangka seperempat abad FE-UGM “menghimbau” pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Karena amanah Pancasila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka ekonom-ekonom UGM melontarkan konsep Ekonomi Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi. Jika Emil Salim pada tahun 1966 menyatakan bahwa dari Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah (hanya) sila terakhir, keadilan sosial, maka ekonom-ekonom UGM menyempurnakannya dengan mengacu pada kelima-limanya sebagai berikut: Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial; Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri; Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat; Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini merupakan strategi yang berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun 1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral.Globalisasi atau Gombalisasi Dalam 3 buku yang menarik The Globalization of Poverty (Chossudovsky, 1997), Globalization Unmasked (Petras & Veltmeyer, 2001), dan Globalization and Its Discontents (Stiglitz, 2002) dibahas secara amat kritis fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang yang justru menjadi semakin miskin (gombalisasi). Mengapa demikian? Sebabnya adalah bahwa globalisasi tidak lain merupakan pemecahan kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat penjualan atau “pembuangan” barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju. Globalization is … the outcome of consciously pursued strategy, the political project of a transnational capitalist class, and formed on the basis of an institutional structure set up to serve and advance the interest of this class (Petras & Veltmeyer. 2001: 11) Indonesia yang menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, mengejutkan dunia dengan keberaniannya menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010 dengan menyatakan “siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena sudah berada di dalamnya”. Keberanian menerima jadwal AFTA dan APEC ini, kini setelah terjadi krismon 1997, menjadi bahan perbincangan luas karena dianggap tidak didasarkan pada gambaran yang realistis atas “kesiapan” perekonomian Indonesia. Maka cukup mengherankan bila banyak pakar Indonesia menekankan pada keharusan Indonesia melaksanakan AFTA tahun 2003, karena kita sudah committed. Pemerintah Orde Baru harus dianggap telah terlalu gegabah menerima kesepakatan AFTA karena mengandalkan pada perusahaan-perusahaan konglomerat yang setelah terserang krismon 1997 terbukti keropos.Peran Negara dalam Program Ekonomi dan Sosial Meskipun ada kekecewaan besar terhadap amandemen UUD 1945 dalam ST MPR 2002 yang semula akan menghapuskan asas kekeluargaan pada pasal 33, yang batal, namun putusan untuk menghapus seluruh penjelasan UUD sungguh merupakan kekeliruan sangat serius. Syukur, kekecewaan ini terobati dengan tambahan 2 ayat baru pada pasal 34 tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu (ayat 2), dan tanggungjawab negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3). Di samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri atas 2 ayat, tentang pengajaran sangat diperkaya dan diperkuat dengan penggantian istilah pengajaran dengan pendidikan. Selama itu pemerintah juga diamanatkan untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai APBN dan APBD. Demikian jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan program-program sosial ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, sebenarnya otomatis telah terjadi koreksi total atas sistem perekonomian nasional dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial kita yang tidak lagi liberal dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar bebas. Penyelenggaraan program-program sosial yang agresif dan serius yang semuanya dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN dan APBD akan merupakan jaminan dan wujud nyata sistem ekonomi Pancasila.Ekonomi Rakyat, Ekonomi Kerakyatan, dan Ekonomi Pancasila Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru yang terbukti gagal. Pada bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang akan secara serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan penerapannya di Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Sistem Ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.PenutupEkonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu sumber utama krisis moneter tahun 1997. Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.
Nama:Prof. Dr. Mubyarto Lahir:Yogyakarta, 3 September 1938 Meninggal:Yogyakarta, 24 Mei 2005Agama:IslamIsteri:Sri Hartati WidayatiAnak:Empat orangJabatan Terakhir:- Guru Besar FE-UGM- Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah MadaPendidikan:SM Gadjah Mada 1959S2 Vanderbilt, 1962S3 Iowa State, 1965Publikasi:> Pemberdayaan Ekonomi Rakyat & Peranan Ilmu-ilmu Sosial, 2002 Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, Aditya Media, 2001 > Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi, BPFE, 2001 > Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, 2000 > Reformasi Politik Ekonomi, Aditya Media, 1999 > Reformasi Sistem Ekonomi, Aditya Media, 1999 > Kembali ke Ekonomi Pancasila, Aditya Media, 1998 > Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Aditya Media, 1998 > Ekonomi Pancasila: Lintasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, 1997 > Kisah-kisah IDT (Penyunting), Aditya Media, 1997 > Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media, 1995 > Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, 1987 > Ekonomi Pancasila : Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, 1981 > Politik Pertanian dan Pembangunan Perdesaan, Sinar Harapan, 1980 > Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, 1972 Alamat Kantor:FE-UGM, Bulaksumur Yogyakarta 55281Telepon: (62-274) 548510-15 ext 200Alamat Rumah:Sawitsari C-10 Yogyakarta 55283Telepon (62-274) 885165Email:mubyarto@indo.net.id
















20. Nurcholis Madjid
Berpulang Dalam Damai
Ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, Nurcholis Madjid menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya.
Cak Nur, panggilan akrabnya, mengembuskan napas terakhir di hadapan istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya. Cak Nur dirawat di RS Pondok Indah mulai 15 Agustus karena mengalami gangguan pada pencernaan. Pada 23 Juli 2004 dia menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping, Provinsi Guangdong, China.Jenazah Rektor Universitas Paramadina itu disemayamkan di Auditorium Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kemudian jenazah penerima Bintang Mahaputra Utama itu diberangkatkan dari Universitas Paramadina setelah upacara penyerahan jenazah dari keluarga kepada negara yang dipimpin Menteri Agama Maftuh Basyuni, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Selasa (30/8) pukul 10.00 WIB. Sementara, acara pemakaman secara kenegaraan di TMP Kalibata dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab. Sejumlah tokoh datang melayat dan melakukan shalat jenazah. Di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Syafi’i Ma’arif, Siswono Yudo Husodo, Rosyad Sholeh, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Azyumardi Azra, mantan Ketua DPR Akbar Tandjung, Ketua Panitia Ad Hoc II DPD Sarwono Kusumatmadja, Wakil Ketua DPD Irman Gusman, Agung Laksono.
Juga melayat Pendeta Nathan Setiabudi, Kwik Kian Gie, dan banyak lagi. Sementara pernyataan dukacita mengalir antara lain dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Presidium Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, keluarga besar Solidaritas Tanpa Batas (Solidamor), dan lain-lain.Seluruh bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi ikon pemikiran pembaruan dan gerakan Islam di negeri ini. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Dia menganggap penting pluralisme, karena ia meyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan. Dia mengembangkan pemikiran mengenai pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.
Cendekiawan Muslim Milik Bangsa
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Namanya sempat mencuat sebagai salah seorang kandidat calon presiden Pemilu 2004. Namun akhirnya ia mengundurkan diri proses pencalonan melalui Konvensi Partai Golkar. Belakangan dia sakit dan sempat beberapa lama dirawat di Singapura.Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain, menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi. Sahabat Cak Nur, Utomo Dananjaya, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina mengatakan, “Dengan nuansa politik pada waktu itu, keluarga Cak Nur biasa mengobrol, mendengar, bicara soal-soal politik.” Utomo kerap dituding sebagai salah seorang “kompor” yang mendorong Nurcholish ke pentas politik. Atas tudingan itu ia berseloroh, “Ah tidak, politik sudah ada dalam pemikiran Cak Nur sejak pemilu tahun 1955. Generasi saya dan dia sudah cukup dewasa untuk memahami, membaca, dan melihat politik.” Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Apalagi orang tua santri Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah Pesantren Darus Salam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, itu adalah kiai, tokoh masyarakat, sekaligus pemimpin Masyumi. “Mengobrol dalam keluarga tentu termasuk juga soal politik. Hanya, Cak Nur itu kan yang menonjol pemikirannya, bukan sikap politiknya,” kata Utomo, yang akrab dipanggil Mas Tom.Politik praktis mulai dikenal Nurcholish saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Saat menjadi kandidat ketua umum, kemampuan Nurcholish sudah cukup komplet. Pikirannya, ngajinya, menjadi imam, khotbah, ceramah agama, bagus semua. “Orang-orang HMI waktu itu terpukau oleh pikiran-pikiran Cak Nur,” kata Utomo menirukan kekaguman Eky Syahrudin Duta Besar Indonesia untuk Kanada itu. Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme. Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi. Pemikiran Nurcholish tersebar melalui berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”. “Gelar Natsir muda itu bukan karena dia pintar agama, melainkan karena pemikiran-pemikirannya. Saat itu hampir semua orang bilang begitu,” ujar Utomo, yang mengaku kenal Nurcholish sejak tahun 1960-an, yaitu saat Tom menjadi Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Nurcholish Ketua Umum HMI. Pemikiran Nurcholish yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Nurcholish ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah. Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.Karena gagasannya ini, tuduhan negatif datang ke arah Nurcholish, mulai dari pemikir aktivis gerakan Islam sampai peneliti asing. Di dalam negeri, pemikiran Nurcholish ditentang tokoh Masyumi, Profesor H.M. Rasjidi. Sedangkan dari negeri jiran, Malaysia, ia dicerca oleh Muhammad Kamal Hassan, penulis disertasi yang kemudian diterbitkan dengan judul Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Hassan menuding Nurcholish sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo. Tudingan ini dibantah Utomo, yang kenal betul pribadi Nurcholish. “Tuduhan itu tidak berdasar, karena kami saat itu benar-benar bersama-sama. Itu fitnah, dan Kamal Hassan tak pernah bertemu kami untuk mengkonfirmasi sumbernya itu,” ujar Tom.
Kejutan berikut datang lagi pada Pemilu 1977, dalam pertemuan di kantor Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat para aktivisnya sedang cenderung memilih Golkar sebagai kendaraan politik. Nurcholish satu-satunya tokoh yang meminta agar mahasiswa tidak memilih Golkar. “Sebab, waktu itu, menurut Cak Nur, Golkar sudah memiliki segalanya, militer, birokrasi, dan uang,” kata Utomo. Maka, dalam kampanye Partai Persatuan Pembangunan (P3), Nurcholish mengemukakan teori “memompa ban kempes”, yaitu pemikiran agar mahasiswa memilih partai saja ketimbang Golkar. “Cak Nur percaya pada check and balances, mengajak mahasiswa agar tidak memilih Golkar, dan dia tak masuk Golkar. Ada pengaruh atau tidak? Nyatanya, di Jakarta PPP menang. Dengan tema demokrasinya itu, orang menjadi lebih berani, sehingga Golkar di Jakarta terus-terusan kalah,” ujar Mas Tom. Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat setelah ia kuliah di Universitas Chicago, di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, untuk meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Nurcholish terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem. Pemicunya adalah tulisan Amien Rais di majalah Panji Masyarakat, “Tidak Ada Negara Islam”, yang menggulirkan kegiatan surat-menyurat antara Nurcholish yang berada di Amerika dan Roem di Indonesia. Cak Nur menyatakan tidak ada ajaran Islam yang secara qoth’i (jelas) untuk membentuk negara Islam. Surat-surat pribadi itu ternyata tak hanya dibaca Roem, tetapi juga menyebar ke tokoh lain, misalnya Ridwan Saidi dan Tom sendiri. Barangkali itu sebabnya, ketika Nurcholish pulang dari Amerika pada tahun 1984, setelah meraih gelar Ph.D, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Mereka antara lain Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, A.M. Fatwa, dan para tokoh lainnya. “Cak Nur saya kira istimewa. Ketika pulang dari AS, ternyata banyak sekali orang yang menyambutnya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang selesai sekolah disambut seperti itu,” kata Mas Tom kagum. Di kalangan alumni HMI, Nurcholish sangat berpengaruh. Misalnya, saat Korps Alumni HMI (KAHMI) akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan harus menemui Presiden Soeharto di Istana, Nurcholish “diculik” kawan-kawan HMI-nya untuk menghadap Presiden. “Karena ada orang yang berusaha tidak mengikutkannya. Tapi ada yang menyatakan dia harus ikut. Sebab, kalau Cak Nur datang, pertemuan menjadi cukup kuat,” kata Mas Tom yang ahli pendidikan itu.Pertemuan Nurcholish dengan Soeharto terakhir, pada Mei 1998, menunjukkan besarnya pengaruh Cak Nur. Saat itu Nurcholish berbicara langsung kepada Soeharto memintanya mundur.Kata Mereka Tentang Cak NurNamun, kritik terhadap seseorang selalu ada. Demikian pula halnya terhadap Cak Nur. Penentang lama Nurcholish, Daud Rasyid, meragukan kemampuan Cak Nur. Menurut Daud, pengalaman Cak Nur terjun ke kancah politik belum ada. “Cak Nur cukup dekat dengan pemerintah Orde Baru, sering memanfaatkan situasi, dan mengikuti arah politik pada saat itu,” katanya. Nah, tipe pemimpin seperti itu, menurut Daud, susah diharapkan membawa bangsa yang besar. “Pemimpin yang dikenal tegar saja menghadapi sebuah rezim kadang-kadang tak kuat,” ujar Daud. Rupanya, Daud tak menyimak sepuluh butir pernyataan yang menjadi platform Cak Nur. Salah satu butirnya menyebutkan perlunya dilakukan rekonsiliasi nasional. Dan hanya dengan cara ini bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa besar.Kritik lain datang dari melalui buku Pluralisme Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur) yang ditulis Nur Khalik Ridwan. Ridwan melakukan kajian kritis atas gagasan pluralisme Cak Nur. Peneliti alumni IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini menganggap pemikiran Cak Nur, kendati memiliki tingkat liberalisasi tinggi, serta didukung penguasaan khazanah Islam klasik dan modern, telah menjadi semacam rezim kebenaran atau hegemoni intelektual bercorak logosentris. Pribadinya cenderung dikultuskan, dan gagasannya "disakralkan". Dalam resensi yang ditulis J. Sumardianta, Pustakawan, tinggal di Yogyakarta mencatat pluralisme Cak Nur inilah yang dikaji Khalik dengan perspektif lain. Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Khalik menyebut Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan Khalik untuk mengidentifikasi kelas mengengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya condong ke Masyumi-HMI, dan cenderung mengusung simbol-simbol Islam formal. Menurut Khalik, pluralisme Cak Nur, yang bertumpu pada gagasan Islam agama universal, tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.Dalam konteks ahlulkitab, Cak Nur hanya terpaku pada agama formal dan mengesampingkan "paham-paham keagamaan" masyarakat adat yang terkesan primitif namun kaya kearifan. Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi (menghindarkan umat dari kecenderungan mengukhrawikan persoalan duniawi tanpa kecuali gagasan negara Islam) dan modernisasi (menganjurkan umat berpikir rasional dengan mendukung pembangunan) dinilai Khalik sebagai strategi buat mengelabui rezim otoritarian Orde Baru. Agar komunitas Islam borjuis tidak terus-menerus larut dalam trauma kepahitan politik dibubarkannya Masyumi.Ide “Islam yes, partai Islam no”, yang diintroduksi Cak Nur saat Soeharto mengebiri partai berbasis agama dan ideologi pada awal 1970-an, dinilai Khalik sebagai strategi neo-Masyumi untuk bersimbiosis dengan kepentingan rezim, agar mereka tidak lagi dituduh mengusung formalisme Islam ke arena politik. Dan, agar Soeharto memandang pewaris Masyumi menyantuni Islam substantif. Tak mengheran bila mereka banyak yang jadi petinggi Golkar dan terserap ke birokrasi pemerintahan.Pluralisme Cak Nur, di mata Khalik, tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan "sampah masyarakat" perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan sekaligus pengambinghitaman. Konsepsi Cak Nur tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual, melalui berbagai kursus filsafat keagamaan yang diselenggarakan Paramadina di hotel-hotel berbintang. Tak mengherankan pula bila Khalik menyebut kinerja Cak Nur sebagai pluralisme borjuis.Sayang, kerangka sosiologi pengetahuan John B. Thompson, dalam Studies in the Theory of Ideology (1985), kurang didayagunakan Khalik untuk mempertajam hasil analisis. Kendati disajikan dengan langgam subjektivitas yang meledak-ledak, buku ini tergolong karya teologi pembebasan tahap keempat. Refleksinya sudah menggunakan metode analisis nonmarxis, berangkat bukan dari dogmatisme agama, melainkan keprihatinan iman wong kesrakat, dan menyantuni heterogenitas agama dalam perjumpaannya dengan Islam.*** Yayat, dari berbagai sumber.
Nama:Nurcholis MadjidLahir:Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939Meninggal:Jakarta, 29 Agustus 2005Agama:IslamIsteri:Omi KomariahAnak:- Nadia Madjid- Ahmad MikailMenantu:David BychkonPendidikanPesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960Institute Agama Islam Negeri (IAIN), syarif hassuyatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)Institute Agama Islam Negeri (IAIN), syarif hassuyatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, USA, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam)Bidang yang diminatiFilsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan AgamaSosiologi Agama, Politik negara-negara berkembangPekerjaanPeneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978-1984Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-sekarangDosen, Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syaruf Hadayatullah, Jakarta 1985-sekarangRektor, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta, 1998 – SekarangPenerbitan (sebagian)The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)(“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)“Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)“Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)Islam, Agam Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)“In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian IslamicThoughts (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)“Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)Lain-lainAnggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997Anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998Ketua yayasan Paramadina, Jakarta 1985-SekarangFellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, 1990Anggota KOMNAS HAM, 1993-SekarangProfesor Tamu, McGill University, Montreal, Canada, 1991-1992Wakil Ketua, Dewan Penasehat ICMI, 1990-1995Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996Penerima Cultural Award ICM, 1995Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998-SekarangPenerima “Bintang Maha Putra”, Jakarta 1998Keikutsertaan dalam events internasionalPresenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, Nopember 1992, Bellagio, ItalyPresenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Vienna, AustriaPresenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, USAPresenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Cassablanca, MoroccoPresenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellegio, ItalyPresenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, AustraliaPresenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, AustraliaPresenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Netherlands.Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, JepangPresenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, MalaysiaPresenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur Pembicara, konperensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington DC, USAPeserta, Konperensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua, Mei 1997, Vienna, AustriaPeserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, Nopember 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, USAPembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USAPembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, USASarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), Nopember 1997, San Francisco, California, USASarjana Tamu dan Pembicara, Konperensi Tahunan AAR (America Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, Nopember 1997, California, USAPresenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Geneva, SwitzerlandPresenter, Konperensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, Nopember 1998 state Departmen (departemen luar negeri amerika), Washington DC, USAPeserta Presenter “Konperensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, AustraliaPresenter, Konperensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, Nopember 1999, Ito City, JapanPeserta, Sidang ke-7 konperensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), Nopember 1999, Amman, Jordan.Alalat Rumah Keluarga:Jalan Johari I No.8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan




21.Pramoedya Ananta Toer
Sang Pujangga Telah Berpulang
Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.
Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri
Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto. Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa. Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik. Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno.Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.
Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat. Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965. Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.

Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia). Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi. Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes". ►e-ti/Atur Lorielcide Paniroy, dari berbagai sumber.
Nama:Pramoedya Ananta ToerLahir:Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925Meninggal:Jakarta, 30 April 2006Isteri:Maemunah ThamrinPendidikan:SD Institut Boedi Oetomo (IBO), BloraRadio Vakschool 3 selama 6 bulan, SurabayaKelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, JakartaKelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto NitimihardjoTaman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, JakartaPekerjaan:Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944Instruktur kelas stenografi di DomeiEditor Japanese-Chinese War Chronicle di DomeiReporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965
Buku:Fiksi:Krandji-Bekasi Djatuh, 1947Perburuan, 1950Keluarga Gerilya, 1950Subuh, 1950Pertjikan Revolusi, 1950Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951Bukan Pasar Malam, 1951 Di Tepi Kali Bekasi, 1951Dia Yang Menyerah, 1951Tjerita Dari Blora, 1952Gulat di Djakarta, 1953Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954Korupsi, 1954Tjerita Tjalon Arang, 1957Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958 Tjerita Dari Djakarta, 1957Bumi Manusia - HM, 1980 Anak Semua Bangsa - HM,1980 Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982Jejak Langkah - HM, 1985Gadis Pantai - HM,1987Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987Rumah Kaca - HM, 1988Arus Balik - HM, 1995Arok Dedes - HM, 1999Mangir - KPG, 1999Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001Cerita Dari Digul - KPG, 2001Non-Fiksi:Hoakiau di Indonesia, 1960Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962Sang Pemula – HM, 1985, biografi Tirto Adhi SoerjoMemoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997 Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2: KPG, 1999 - 3: KPG, 2001Karya Terjemahan ke Bahasa IndonesiaLode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947Frits van Raalte, 1946 J.Veth, 1943John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and Affection), 1951Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man), 1956Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man) Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees) Kristoferus Albert SchweitzerCerita PendekKarena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6. Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2. Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7. Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19. Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 17-8, 22. Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9. Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20. Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101. Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6. Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64. Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55. Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9. Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 26-29. Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-12.11, (50): 245-286. Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 81-96. Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30. Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim. Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20. Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8. Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8. Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1. Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1. Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48. Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9. Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30. Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia, 11.5, (51): 20-1, 26. Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29. Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2. Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128. Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26. Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8. Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6. Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71. Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30. Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90. Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245. Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3. Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7. Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9. Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8. Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7. Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 15-6. Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19. Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5. Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5. Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8. Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7. Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8. Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33. Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8. Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6. Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7. Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7. Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4. Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11, (56): 26-7, 35. Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268. Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11. "Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956. Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10. Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42. Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 5-6. Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7. Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9. Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6. Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27 Puisi Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9. Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20. Kutukan diri. Indonesia, 12.2, (51): 19-20.Alamat Rumah Keluarga:= Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur

22.Prof. Dr. J.E. Sahetapy
Penjaga Nurani Hukum dan Politik
Guru Besar Emeritus Unair ini pantas digelari seorang penjaga nurani hukum dan politik. Ketua Komisi Hukum Nasional RI bernama lengkap Jacob Elfinus Sahetapy, ini sangat prihatin pada komitmen dan integritas para penegak hukum. Dalam dunia politik, anggota DPR dari PDIP ini pun mengatakan politik tanpa moral dan fatsoen atau etika akan menjerumuskan bangsa ini.
Menurut Doktor Ilmu Hukum Unair, Surabaya, 1978, ini, bilamana melihat situasi dan kondisi Indonesia masa kini, sudah ibarat "Rumah Sakit Gila" yang dihuni sebagian orang yang sudah "gila dan setengah gila" (gila kekuasaan, KKN, pangkat, dan jabatan) serta tidak bermoral dan tidak lagi memiliki integritas.
kesederhanaan, kejujuran dan keteladanannya membuat apa yang dikatakannya menjadi lebih bernilai dan berbobot serta rasa kebenarannya menjadi sangat nyata. Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy, SH, MA, ini lahir di Saparua, Maluku, 6 Juni 1932. Ayahnya seorang guru dan ibunya seorang guru juga.
Tapi ketika masih kecil, Sahetapy sudah harus menghadapi masalah pelik. Kedua orang tua yang dicintainya harus berpisah. Pasalnya, ayahnya suka main judi, ibunya minta cerai akibat tidak tahan menanggung beban. Kemudian sang ibu, Nona C.A. Tomasowa, menikah lagi dengan W.A. Lokollo setelah berpisah ± 12 tahun dengan suaminya.
Namun demikian, Sahetapy kecil selalu rajin belajar. Ia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar yang didirikan ibunya sendiri yakni Particuliere Saparuasche School. Dari ibunya yang sekaligus gurunya itulah Sahetapy banyak belajar nasionalisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Tapi akibat meletusnya perang pada tahun 1942, sekolahnya sempat terputus menjelang akhir kelulusannya. Empat tahun berikutnya, 1947, barulah ia kembali ke sekolah sampai lulus Sekolah Dasar. Lalu ia pun masuk SM dengan kurikulum 4 tahun. Menjelang lulus, peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan) meledak. Akhirnya Sahetapy pindah ke Surabaya, bergabung dengan kakaknya, A.J. Tuhusula-Sahetapy. Di kota Pahlawan itulah ia menamatkan SMA.
Setamat SMA, sebenarnya ia tertarik masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Namun ibunya tidak sependapat. Selain itu, ada pula yang menawarinya masuk sekolah pendeta, tapi ibu pun tidak setuju. Akhirnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya (yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Airlangga).
Semasa kuliah, Sahetapy termasuk mahasiswa yang cerdas. Ia juga menguasai bahasa Belanda. Tak heran bila kemudian ia dipercaya menjadi asisten dosen untuk matakuliah hukum perdata di fakultasnya. Kepercayaan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga ketika itu Profesor Gondo-wardoyo, tidak hanya sampai di situ. Bahkan begitu Sahetapy lulus kuliah, ia ditawari kuliah di Amerika Serikat. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Ia pun menyelesaikan studinya di AS dalam dua tahun dan segera balik ke Indonesia.
Namun celakanya, setelah ia tiba di tanah air, Sahetapy harus menerima tuduhan konyol. Ia diisukan sebagai mata-mata Amerika oleh kelompok kiri kala itu yang dimotori oleh PKI. Sampai-sampai ia tak diperbolehkan mengajar. Lalu setelah PKI tumbang, ia juga tidak langsung boleh aktif mengajar. Sebab ada pula isyu lain yang menyudutkannya, sehingga Sahetapy harus tabah "menganggur" meski resminya ia adalah dosen FH Unair. Kondisi ini tidak membuatnya frustrasi. Bahkan semakin menempa semangatnya untuk membela rakyat kecil.
Buah dari kegigihan dan ketulusannya, beberapa lama kemudian ia diperbolehkan mengajar kembali. Sampai kemudian pada tahun 1979, Sahetapy terpilih menjadi Dekan Fakultas Hukum Unair.
Di samping menjadi dosen, doktor yang menulis disertasi berjudul "Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana" ini sempat juga menjadi birokrat. Ia pernah menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) Provinsi Jawa Timur dan sempat pula menjadi asisten Gubernur Mohammad Noor.
Suami Lestari Rahayu ini dikenal sangat kritis. Baik semasa berprofesi dosen dan birokrat maupun saat menjadi anggota legislatif. Kritik-kritiknya tajam dan keras. Ia pun dikenal sebagai seorang yang sungguh bersahaja dalam hidup sehari-harinya.

Ia tinggal di sebuah rumah di kompleks perumahan dosen Universitas Airlangga, Jalan Darmahusada III. Rumah itu sendiri jauh dari kesan mewah. Perabotannya biasa saja. Misalnya, sofa di ruang tamunya bukanlah dari jenis sofa berharga ratusan ribu rupiah. Sehari-hari, untuk mendukung kegiatannya, ia mengendarai mobil Kijang.
Kesederhanaan ini tidak berobah saat ia menjadi anggota DPR dari PDIP pada zaman reformasi yang masih kental praktek korupsi ini. Saat beberapa rekannya, setelah menjadi anggota DPR, tiba-tiba menjadi mewah dengan mobil-mobil mewah. Sahetapy justru masih kerap jalan kaki dari tempat tinggalnya, sekitar satu setengah kilometer dari Gedung DPR.
Waktu itu, ia memang tinggal di tempat kerabatnya, dan mengaku tidak ada taksi yang lewat di lingkungan tersebut. Itu membuatnya harus jalan sekitar lima ratus meter sebelum bisa menemukan taksi. Tapi, karena jarak ke Gedung DPR makin dekat, tidak ada taksi yang bersedia mengantarnya. Jadi, ya, terpaksalah berayun tungkai.
Jelas saja, berjalan kaki di Jakarta yang terik membuatnya berkeringat. Karena itu setiap hari ia memakai kaos, baru setelah sampai di ruang kerjanya ganti baju yang dibawanya. Ia juga tergolong orang Indonesia yang tidak suka memakai jas. Ia pun tidak termasuk anggota DPR yang memikirkan soal tunjangan mobil, sehingga dari semua perilaku dan sikapnya, banyak pihak menjulukinya penjaga nurani hukum dan politik.
Bapak tiga anak dan satu anak angkat ini memang seorang tokoh yang masih memiliki integritas nurani dalam penegakan hukum dan kebenaran. Hal ini terlihat dari sikapnya sehari-hari. Sikap nurani yang kritis itu tercermin juga ketika ia mengajukan pertanyaan kepada para calon hakim agung di DPR. Ia bertanya kepada Benjamin Mangkudilaga, seorang yang cukup populer sebagai hakim yang jujur dan sederhana, tentang hadiah rumah yang diterima Benjamin. Tidakkah itu menimbulkan konflik kepentingan? "
Profesor Sahetapy, yang sudah 40 tahun menjadi dosen di Fakultas Hukum Unair, tampaknya memang tidak bisa tedeng aling-aling. Seorang calon hakim dari Gorontalo mengaku sebagai salah seorang muridnya. Entah apa maksud sang calon, yang kemudian diterimanya adalah semprotan kata-kata yang keras: "Ya, memang. Tapi saya malu punya murid seperti Anda, karena menjawab pertanyaan apakah pernah masuk parpol, tidak mengaku. Ternyata dalam CV, Anda pernah aktif di Golkar."
Itulah Sahetapy yang tidak pernah ragu menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.Fatsoen PolitikBicara soal moral dan sopan santun politik, ia mengutip Charles Krauthammer: “Alliance with hell is justified as long as it is temporary.” Diuraikannya, pada zaman otokratisnya Soeharto, yang tampaknya semua serba teratur dan seolah-olah ada kedamaian, politisi dan birokrat sesungguhnya hanyalah pion-pion belaka, yang dikendalikan melalui ancaman terselubung. Dengan perkataan lain, politisi seperti memiliki moral dan fatsoen politik. Semua yang dikerjakan Soeharto disambut dengan gembira dan sukacita, seperti tidak ada reserve terhadap setiap sabda pemimpin yang selalu tersenyum itu.
Anggota Komisi II (Hukum dan Dalam Negeri) dari Fraksi PDIP DPR RI, ini menggarisbawahi apa yang dikatakan Stalin: "Those who cast the votes decide nothing. Those who count the votes decide everything." Tetapi, katanya, hukum alam memutuskan tidak ada yang abadi.
Begitu Soeharto dilengserkan oleh para mahasiswa dan ditusuk dari belakang oleh para pembantu dekatnya, yang ternyata berwatak Brutus, tiba-tiba semua berubah. Seperti terjadi iklim pancaroba politik reformasi. Semua simpul terlepas, semua seperti dibebaskan, dan itulah yang diperkirakan dengan nama demokrasi.
Reformasi diucapkan di tiap bibir insan Indonesia menurut selera masing-masing. Terlihat betapa banyak "Dr Jekyll and Mr Hyde", juga mereka yang mendapat remah-remah KKN untuk diperalat di zaman Soeharto.
Moralitas dan fatsoen atau sopan santun politik hilang tak berbekas seperti disambar kilat. Orasi-orasi gombal di zaman pemilu dijilat kembali, dan dengan rekayasa yang tidak bermoral dan tanpa sopan santun politik, semua kaidah demokrasi dijungkirbalikkan. Dan ketika titik-titik api terselubung dapat kesempatan disiram bensin dengan berbagai isu akhir-akhir ini, politikus bermoral picisan dan seperti tidak tahu abc sopan santun menggerakkan massa -dan itu boleh-boleh saja, tetapi kemudian dialihkan dan diarahkan, seolah-olah tidak dikenal adanya amendemen UUD 1945.
Orang acap kali bertanya dan mengharapkan kapan semua itu berakhir. Apakah politikus picisan yang seolah-olah tidak bermoral dan apakah negarawan-negarawan yang sok bermoral, masih mau ikut terus menipu rakyat. Itulah sebabnya Anonymous pernah menulis bahwa "Politicians are like diapers. They should both be changed frequently and for the same reason." Memang, apa yang mau diharapkan dari moralitas politisi, kalau sewaktu bersekolah di SMA dikenal sebagai jago nyontek. Orang sering lupa bahwa nyontek adalah embrio dari KKN.Rumah Sakit GilaMenurut mantan Guru Besar Tamu di Fakultas Hukum Leiden, Belanda dan Universitas Katholik Leuven, Belgia, ini bilamana melihat situasi dan kondisi Indonesia di masa kini, tidaklah berkelebihan kalau dikatakan -tanpa menjadi kasar dan tidak bermaksud melecehkan-, bahwa negara kita ini ibarat "Rumah Sakit Gila" yang dihuni sebagian orang yang sudah "gila" (gila kekuasaan, KKN, pangkat, dan jabatan). Sebagian penghuni sudah setengah "gila" karena keinginan, ambisi yang ambisius tidak tercapai sehingga berperilaku dan berpikir yang tidak lagi rasional.
Mantan Ketua Asosiasi Kriminologi Indonesia mengatakan ada pula penghuni yang mengalami "depresi" dan sudah pada tahap fatalistik, karena bingung melihat gejolaknya kejahatan yang sadistik, KKN ibarat kanker yang tengah merajalela dengan ganas.
Sebagian penghuni lain seperti sudah kehilangan akal, karena melihat orang-orang yang begitu tekun menjalankan ibadah agamanya, tetapi kalau diamati dengan cermat seperti orang-orang ateis yang tidak berperikemanusiaan, yang amoral, tetapi justru mereka berdalih sebagai penyelamat dunia ini.
Yang paling besar jumlahnya ingin berteriak tetapi apa daya seperti tidak berkekuatan karena perut mereka terus keroncongan. Tetapi, mereka yang di akar rumput ini "have nothing to loose" kalau dihasut untuk menjadi radikal dan bersedia mati untuk suatu kausa yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Robert M Pirsing Zen pernah menulis, "When people are fanatically dedicated to political or religious faiths or any other kinds of dogmas or goals, it's always because these dogmas or goals are in doubt".
"Rumah Sakit Gila" itu terus diawasi oleh kekuatan besar yang telanjang. Dan Sang Raja, seperti dituturkan di dunia Barat, berkuda keliling tanpa busana, dan semua kawula tunduk dengan perasaan malu dan gemas. Raja mengira mereka menghormatinya, padahal mereka tunduk karena tidak sanggup melihat ketelanjangannya.
Sejak memasuki Orde Baru, masyarakat Indonesia digiring ke suatu subkultur tertentu dan dibina untuk menjadi manusia munafik, tetapi ganas dalam berambisi atau sangat ambisius. Manusia Indonesia menjadi manusia yang ingin cepat kaya tanpa bekerja keras. Rasa malunya seperti sudah dimatikan. Orang dilatih untuk selain menjadi panutan dan tidak boleh berpikiran lain. Otak mereka dicuci secara halus. Kultur retorika yang kosong dan wacana pagi tempe dan sore tahu, tidak ada yang berani menegur, sebab bersikap kritis dianggap pembangkangan yang harus di-Siberia-kan atau di-Pulau Buru-kan.
Petualang-petualang politik dengan dana yang tidak jelas asal-usulnya, berseliweran di Senayan dan banyak yang berdasi KKN tanpa rasa malu. Politikus muda yang dulu di SMA jago nyontek, kini bicara ibarat dialah malaikat yang turun dari surga. Mereka yang dulu menentang status seks tertentu, kini berbusung dada menghendaki agar perempuan diikutsertakan di gelanggang kemunafikan.
Pada mulanya mereka menentang berdasarkan dogma. Tidaklah mengherankan kalau pada permulaan reformasi manusia-manusia yang tidak berhati nurani itu bisa merekayasa, agar pahlawan peringkat di bawah bisa diusung ke atas, dan kemudian menjadi Sang Raja. Tetapi dasar serigala berbulu domba, manusia-manusia berwatak Brutus itu dengan penampilan Pontius Pilatus, menjatuhkan Rajanya sendiri.
Dan mereka itu dengan sadar atau pura-pura tidak mengerti, bahwa amendemen konstitusi telah mencabut gigi-gigi yang ingin menghadirkan Sidang Istimewa MPR untuk melicinkan dan menyukseskan ambisi-ambisi gelap dengan berpencak silat. Ini tampak ketika orang ribut bertalian dengan kenaikan dan kesulitan hajat hidup orang banyak. Dan Raja, seperti atau seolah-olah, tidak atau kurang berempati, apakah mendengar atau tidak jeritan, tangis dan kemarahan rakyat dan para calon intelektual yang bertindak acapkali dengan kurang sopan.Cuci TanganKetua Umum Forum Pengkajian HAM dan Demokrasi Indonesia, ini mengemukakan kekurangdengaran atau "telmi" mungkin seperti kata orang Belanda, yaitu: "te diep in het glaasje gekeken", alias minum anggur terlalu banyak pada pesta akhir tahun. Retorika dan realisme tidak lagi bersalaman dan berpelukan, sebab gelombang berpikiran antara Senayan dan Medan Merdeka seperti sudah mengalami "kortsluiting".
Dan seperti Pontius Pilatus, banyak yang main cuci tangan agar bersih di mata rakyat yang tidak dapat lagi dikibulin.Kapan sandiwara Petruk ini berakhir, tidak ada yang dapat meramal kecuali paranormal yang bermain silat dengan kata-kata yang "dibius" dan yang sampai sekarang selalu gagal dengan ramalan mereka. Dan yang sangat mengherankan, juga beberapa kaum terpelajar masih tetap percaya kepada Sang Ratu Adil yang tidak kunjung tiba, entah dari mana asalnya.
Lalu ia teringat pada apa yang dikatakan oleh Franklin Roosevelt tentang seorang diktator, "He may be a son of a bitch. But he is our son of a bitch". Politisi yang senang berbohong asal tidak tertangkap basah, para negarawan yang tidak berhati dermawan, dan para birokrat yang senang ber-KKN, kiranya sadar bahwa sudah waktunya ada moral dan fatsoen (sopan santun) dalam berpolitik.
Ia berharap semoga para politisi bermoral dan santun meskipun dalam jumlah kecil dewasa ini, tetap terpanggil akan gejolak hati nuraninya. Semua hendaknya benar-benar sadar, seperti dikatakan Mahatma Gandhi, "The things that will destroy us are: politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, business without morality, science without humanity, and worship without sacrifice". Tidaklah berkelebihan kalau dikatakan lagi bahwa politik tanpa moral dan fatsoen atau etika akan menjerumuskan bangsa ini. ►e-ti/tsl

Nama:Jacob Elfinus Sahetapy, Prof, Dr, SH, MA.Lahir:Saparua, Maluku Tengah, 06 Juni 1933 Agama:Kristen Protestan Suku:Maluku Istri:Lestari Rahayu Lahenda, SH Pekerjaan Istri:Dosen Luar Biasa /UKP, Surabaya Anak: - Elfina Lebrine, lahir 06-06-1969, (S2) Universitas Hukum Leiden, Belanda - Athilda Henriete, lahir 28-11-1971 , (S2) Ilmu Hukum Undip, Semarang - Wilma Laura, lahir 02-04-1979, (S1) Fakultas Sastra Universitas Kristen Petra, Surabaya, (S2) FH UBAYA - Kezia, lahir 27-01-1992, SMP Petra, Surabaya Pendidikan : - Particuliere Saparuasche School (SD Swasta Bahasa Belanda), Saparua, 1942 - Sekolah Rakyat, Saparua (1947)- SM (Kurikulum 4 tahun), Saparua, 1951 - SMA 2/1, Surabaya, 1954 - Fakultas Hukum Jurusan Kepidanaan Unair, Surabaya, 1959 - Business and Industrial Relations, University of Utah, Salt Lake City, USA, 1962 - Doktor Ilmu Hukum Unair, Surabaya, 1978 - Penataran P4 Tingkat Nasional, Jakarta, 1979 - Institut Alkitab Tiranus, Bandung, 1993 Ayah :Aspenas Adriaan Sahetapy (Guru) Ibu :Constantina Athilda Tomasowa-Lokollo (Guru) Keanggotaan DPR : - Anggota di Jawa Timur PDIP, Utusan Partai Politik dari Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku - Anggota Fraksi PDIP DPR RI (1999-2004) - Anggota Fraksi PDIP MPR RI - Anggota BP MPR RI - Anggota Komisi II (Hukum dan Dalam Negeri) DPR RI - Anggota Panitia Ad Hoc I (Amandemen UUD 1945) MPR RI - Anggota Sub Komisi Bidang Hukum DPR RI Anggota Baleg DPR RI Pengalaman Kerja : - Asisten Dosen Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1959 - Asisten Ahli Unair, Surabaya, 1960 - Dosen dan Guru Besar S1, S2, S3 Unair, Surabaya - Lektor Muda Unair, Surabaya, 1963 - Dosen Sekolah Supply AL RI, Surabaya, 1963-1968 - Pudek I Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1965-1967 - Lektor Unair, Surabaya, 1967 - Lektor Madya Unair, Surabaya, 1968 - Pembina Unair, Surabaya, 1973 - Ketua PSK Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1974 - Dekan Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1979-1985 - Guru Besar Fakultas Hukum Unair, Surabaya - Guru Besar Luar Biasa Program Pascasarjana Bidang Hukum UI (1981) dan Undip, Semarang (1982) - Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Petra Program Manajer Hukum Pidana dan Kriminologi, Badan Kerjasama Kerajaan Belanda-Republik Indonesia, 1986-1991 - Guru Besar Tamu di Fakultas Hukum Leiden, Belanda dan Universitas Katholik Leuven, Belgia, 1989 - Guru Besar Emeritus, 1998 - Anggota DPR/MPR RI, 1999 - Anggota The Asia Pasific Forum of National Human Rights Institutions, 2000 - Ketua Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, sejak 2000 Pengalaman Organisasi : - Ketua PPM (Persatuan Pelajar Maluku), 1954- Ketua GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), 1958- Ketua PIKI (Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia) di Surabaya, 1963- Ketua Asosiasi Kriminologi Indonesia, sejak 1979- Anggota World Society of Victimology - Anggota ASEAN Law Association - Anggota The Law Association for Asia and the Western Pasific - Anggota Persatuan Sarjana Hukum Indonesia, sejak 1959 - Anggota Parkindo, 1967-1970 - Ketua Forum Pengkajian HAM dan Demokrasi Indonesia, Surabaya, 1999 - Anggota PDIP, Jawa Timur, sejak 1999 Penguasaan Bahasa : - Belanda, Aktif - Inggris, Aktif - Jerman, Pasif - Perancis, Pasif Hobi : Membaca, menulis dan berkebun Sumber Penghasilan : - Sebagai Anggota DPR/MPR - Seminar - Menulis - Pensiunan - Mengajar (LB) - Ketua KHN (Komisi Hukum Nasional RI)Alamat Rumah: - Jalan Darmahusada III/8, Surabaya 60132- Wisma DPR Kalibata Blok C2/216, Jakarta 12750Alamat kantor : Komisi Hukum Nasional, Jalan Diponegoro 64 Lt, Jakarta 103

Tidak ada komentar:

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...