Minggu, 07 Desember 2008

keterlibatan masyarakat

Efektivitas Keterlibatan Masyarakat Terhadap pengelolaan Lingkungan Hidup
Oleh: I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, S.H.,M.Hum.

Isu lingkungan hidup dan pembangunan memenjadi agenda penting masyarakat dunia khususnya di Indonesia sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konperensi internasional mengenai "Human Environment" di Stockholm, Swedia. Deklarasi Stockholm ini merupakan landasan pembangunan hukum lingkungan hidup, karena dianggap sebagai cikal bakal kebangkitan kesadaran masyarakat internasional untuk melindungi lingkungan hidup secara lebih sistematis dan integral. Dan khususnya setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992. Sejak itu, masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan perlindungan lingkungan hidup tidak terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial. KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change) dan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity). Untuk pertama kalinya peranan aktor non pemerintah yang tergabung di dalam major groups. Major groups yang tergabung di dalam Agenda 21 antara lain mencakup LSM, Pemerintah Daerah, Pengusaha dan industri, Wanita, Serikat Pekerja, masyarakat madani.
Untuk mendukung perkembangan globalisasi tersebut, Indonesia telah menyiapkan salah satu konsep berupa Agenda 21 Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, dimana pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat diharapkan ikut berpartisipasi aktif mensukseskan keterlaksanaan agenda tersebut.Peranan aktif pemerintah RI disesuaikan dengan amanat yang digariskan baik GBHN maupun program yang digariskan pemerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan nasional melalui pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
Peraturan-peraturan di Indonesia menyangkut pengelolaan lingkungan hidup tampaknya mulai mengadopsi dan mengakui pentingnya keberadaan masyarakat dan pihak lainnya sejak deklarasi Stockholm hingga Agenda 21 dalam konferensi lingkungan hidup di Rio de Jeneiro. Undang-undang (UU) no 4 tahun 1982 merupakan awal pengembangan hukum lingkungan di Indonesia khususnya terkait keterlibatan masyarakat. Menyimak Undang-undang (UU) No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), berikut segenap peraturan yang berpayung dibawahnya turut pula menyetujui komitmen negeri ini pada peran serta masyarakat. Pasal 6 UUPLH berikut penjelasannya, misalnya, memberi peluang bagi kesertaan masyarakat guna ikut menyelamatkan lingkungan. Dimana: tiap orang berhak dan wajib terlibat sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan penilaian.
Selanjutnya dalam Undang-undang (UU) No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pasal 7 Undang-undang no 23 tahun 1997 menyatakan secara terperinci peran-peran masyarakat tersebut antara lain :
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
b. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
c. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
d. memberikan saran pendapat;
e. menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan
Mengingat alam Indonesia yang begitu luas dan komplek ditambah keanekaragaman hayati yang dimiliki, Tanggungjawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup memang tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab sebagai pelaku langsung yang bersinggungan dengan aktivitas lingkungan. Ini diperlukan melihat kenyataan bahwa Kerusakan lingkungan belum dapat teratasi karena berbagai faktor penghambat. Diantaranya, belum sadarnya manusia akan pentingnya pemeliharaan lingkungan, sulitnya pembuktian dalam peradilan lingkungan, pengelolaan lingkungan hidup yang terpusat sampai dengan lemahnya pengawasan lingkungan hidup.
Undang-Undang 23 Tahun 1997 sebagai Pengakuan Adanya Peranan Masyarakat dalam Pembangunan Berkelanjutan
Dalam UU 23/1997 tengan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan, bahwa dengan asas Tanggung Jawab Negara, Berkelanjutan dan Manfaat, maka pengelolaan lingkungan hidup ditujukan untuk mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan itu adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang dan tujuannya untuk memperbaiki mutu hidup manusia dalam segala aspek kehidupannya. Perwujudan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hanya dapat dicapai oleh masyarakat yang hidup dalam prinsip-prinsip antara menghormati dan memelihara komunitas kehidupan serta senantiasa menciptakan kerjasama dan kemitraan dalam menjalani kehidupannya. Tidak mungkin, segenap aspek pembangunan berkelanjutan dapat ditangani oleh Pemerintah semata. Meningkatnya dimensi pembangunan disatu pihak dan adanya keterbatasan sumber daya dilain pihak, menyebabkan upaya swadaya masyarakat untuk memecahkan masalahnya secara mandiri menjadi suatu kebutuhan
Keterlibatan masyarakat dan hak serta kewajiban yang terkait secara yuridis dalam UU 23 Tahun 1997 terlihat dalam pasal-pasal seperti :
Pasal 5 yang berbunyi :
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6 menyatakan :
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7 juga memberikan batasan mengenai keterlibatan masyarakat
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
(1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
(2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
(3) menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
(4) memberikan saran pendapat;
(5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
Permasalahan lingkungan di Indonesia saat ini belum mendapat perhatian yang semestinya. Baik itu masalah pencemaran lingkungan, penebangan, dan pembakaran hutan, import sampah, dan eksploitasi sumber daya alam lainnya yang sudah melewati ambang batas. Padahal dari lingkunganlah sumber penghidupan manusia. Apa jadinya bila lingkungan kelak sudah hancur (dihancurkan) oleh manusia sendiri .Fokus penyelesaian persoalan lingkungan kita masih sebatas tataran teoritis.Karena hanya membahas dampak dari suatu permasalahan dan upaya minimalisasi permasalahan lingkungan tersebut.. Itu pun tidak mencakup seluruh permasalahan lingkungan. Di sisi lain peran masyarakat untuk memproteksi lingkungan, menjaga lingkungan, dan melestarikannya masih pada titik yang rendah. Masyarakat cenderung menganggap ini adalah urusan pemerintah,LSM lingkungan, atau pakar lingkungan. Padahal dari sudut pemerintah pun dalam hal ini Hukum Lingkungan belum memadai dalam penyelesaian persoalan - persoalan lingkungan.
Menyangkut kasus lingkungan memerlukan multidisiplin, tidak saja menuntut adanya pendekatan dan pemikiran baru di bidang hukum, seperti pembuktian beracara dan prinsip-prinsip hukum. Bidang hukum lingkungan juga memerlukan bantuan ilmu lain untuk memecahkan berbagai macam persoalan lingkungan, seperti bidang ekologi, biologi, kimia, dan sebagainya. Tentang persoalan pengelolaan lingkungan hidup, fokus utamanya adalah bagaimana meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menekan laju kerusakan lingkungan hidup yang semakin cepat. Semua menyadari, bahwa kerusakan lingkungan hidup banyak diakibatkan oleh perilaku manusia yang disebabkan oleh Kelalaiannya, Ketidakpeduliannya atau Kekurangmampuannya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Oleh karena itulah, pembangunan lingkungan hidup pada dasarnya adalah terwujudnya perubahan perilaku dari tiap anggota masyarakat mulai kanak-kanak hingga dewasa, agar memiliki pola tindakan yang seimbang dengan daya dukung lingkungannya. Perkembangan penjagaan kelestarian di kalangan masyarakat umum ada tahapannya. Yakni diawali dengan tahu, sadar dan committed (menjalankan secara teguh) baru kemudian tahap penegakan hukum. Dewasa ini masyarakat Indonesia umumnya baru mencapai tahapan tahu dan sadar akan pentingnya penjagaan kelestarian lingkungan hidup.
Kendala Yang Dihadapi
Permasalahan lingkungan belum dapat teratasi karena berbagai faktor penghambat. Diantaranya, belum sadarnya manusia akan pentingnya pemeliharaan lingkungan, sulitnya pembuktian dalam peradilan lingkungan, pengelolaan lingkungan hidup yang terpusat sampai dengan lemahnya pengawasan lingkungan hidup.
Penegakan hukum Lingkungan harus dilihat sebagai sebuah alat untuk mencapai tujuan. Tujuan penegakan hukum lingkungan adalah penataan terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.
[1]Indonesia sebenarnya telah memiliki peraturan untuk mengelola lingkungannya, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, penegakkan peraturan tersebut menjadi hal yang sulit. Kondisi ini membuat penegakkan hukum di bidang lingkungan hidup (enviromental law and enforcement). Belum tersedianya sebuah aturan pelaksana yang bersifat teknis khususnya yang menyangkut keterlibatan masyarakat membuat penegakan hukum dalam lingkungan hidup masih belum optimal.Upaya pengelolaan dan penanganan masalah lingkungan hidup memang masih memperlihatkan sikap parsial, belum proaktif dan belum memiliki perspektif jangka panjang. Pelaksanaan upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup dan penegakan hukumnya secara umum masih sangat lemah.
Masalah lingkungan hidup yang dihadapi saat ini semakin berkembang dan rumit. Laju pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi dan persebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan akan ruang dan sumber daya alam dengan ketersediaan sumber daya alam, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di tanah air.
Terkait dengan keterlibatan masyarakat ini,model hukumyang bercorak represif masih mendominasi setiap aturan hukum yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup, ini dapat terlihat dari
(a). hak-hak masyarakat dirumuskan secara ambiguitas, di satu sisi diakui keberadaannya, tetapi disisi lain dibatasi secara mutlak, dan bahkan diabaikan keberadaannya dalam peraturan perundang-undangan.
(b). dicantumkan stigma-stigma kriminologis untuk menggusur keberadaan hak-hak masyarakat atas SDA dengan predikat perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, penambang tanpa ijin, perumput liar dll.
(c) menonjolkan pengaturan sanksi pidana bagi masyarakat yang melanggar norma hukum, tetapi tidak berlaku bagi aparat pemerintah yang tidak melakukan kewajibannya
(d) mengedepankan penampilan petugas-petugas hukum dengan pendekatan sekuriti
Terhadap efektifitas keterlibatan masyarakat sendiri sebenarnya telah dibatasi secara implisit dalam UU No 23 Tahun 1997 dimana dalam pasal 7 tersebut, secara limitatif peran masyarakat hanya menyangkut hal-hal yang telah diatur dalam pasal tersebut, diluar itu masyarakat tidak memiliki posisi tawar dan wewenang untuk menuntut haknya. Ini secara tidak langsung sebenarnya merupakan wujud dominasi peran pemerintah terhadap rakyatnya karena segala sesuatunya bersifat sentralistik.
Belum adanya peraturan-perundang-undangan dibawah UU 23 Tahun 1997 yang dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan peran serta masyarakat menempatkan posisi masyarakat pada posisi marginal, hanya sebagai sumber data atau sebagai objek pembangunan atau pihak yang dapat dimintai pengorbanannya dalam bentuk uang,tanah/ tenaga untuk keperluan pelaksanaan pembangunan.
[2]
Alternatif Solusi
Untuk mewujudkan pola pembangunan berkelanjutan sangatlah penting, pertama, langkah tindak mengoreksi kegagalan masa lampau. Untuk ini secara sadar pemerintah berintervensi melalui perpajakan, subsidi, legislasi, insentif, dan penalti hukum memasukkan "biaya sosial dan lingkungan" agar tercapai tingkat keseimbangan dengan perhitungan ekonomi. Tetapi, ini bisa terlaksana bila tidak ada kegagalan governance sehingga pemerintahan berfungsi untuk kepentingan seluruh masyarakat. Kedua, mengoreksi "kegagalan governance" dengan menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan Ketiga, perlu langkah nyata memberdayakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai institusi pembuat kebijakan dalam lingkungan hidup
Dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” telah memberikan pijakan fumdamental dasar hukum gugatan lingkungan berkenaan dengan mencuatnya kasus-kasus lingkungan saat ini. Dan ini membuka peluang bagi masyarakat untuk menggunakan hak-hak dasar/asasinya apabila hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat (udara, air, tanah, dan lain-lain) tidak terpenuhi.
[3]
Salah satu hal yang perlu dimanfaatkan dan diberdayakan masyarakat dalam meningkatkan efektivitasnya adalah pemanfaatan suatu class action dan legal standing untuk meningkatkan posisi tawarnya dalam penyelesaian kasus-kasus lingkungan dilaksanakan. Dalam Pasal 37 dan 38 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua hal memberi ruang lebih luas kepada organisasi lingkungan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan atas nama kepentingan lingkungan hidup. menurut Pasal 37 Ayat (1) UU 23/1997, masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan. "Dalam penjelasan pasal ini disebutkan, hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan karena pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Manfaat gugatan class action dii antaranya, pertama, pengadilan tidak berulang-ulang menerima perkara yang sama dari fakta dan tuntutan yang sama. Kedua, dihindari putusan hakim atau penegakan hukum lingkungan yang beraneka ragam. Ketiga, biaya perkara lebih ekonomis, waktu lebih efisien.
legal standing ialah proses gugatan perdata yang dilakukan seseorang, sekelompok orang atau organisasi ke pengadilan untuk kepentingan lingkungan hidup. legal standing telah diatur secara tegas dalam Pasal 38 UU No 23/ 1997.pengakuan hak gugat organisasi lingkungan menjadi relevan dan strategis, sebab penegakan hukum lingkungan tidak hanya dimonopoli pemerintah, tetapi sekaligus merupakan ruang partisipasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk turut serta di dalamnya.
Salah satu cara lainnya adalah gugatan secara arbitrase apabila terjadi suatu tindakan yang merugikan kepentingan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup, ini dikarenakan setiap menginjak proses peradilan biasa, seringkali korban kerusakan lingkungan tidak mendapatkan penyelesaian yang diinginkan karena sulitnya pembuktian dalam hukum lingkungan.Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.Menurut UU no 30 Tahun 1999 tentang arbitrase,
Keberanian masyarakat untuk menuntut hak-haknya terutama hak-haknya yang dirugikan merupakan langkah awal untuk meningkatkan efektifitas peranan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat jangan lagi dijadikan sekedar obyek dan penonton dalam perburuan pengelolaan lingkungan hidup namun sekaligus harus pula berperan aktif demi menjaga prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan adanya sinergi ini tentunya pihak-pihak yang selama ini telah menyalahgunakan lingkungan akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan yang dapat mengancam kelestarian lingkungan hidup.

Penulis, pemerhati hukum tinggal di Denpasar
















Tidak ada komentar:

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...