Minggu, 07 Desember 2008

Hukum lingkungan

Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Hidup Dalam Audit Lingkungan
Oleh
I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, S.H.,M.Hum.

Berbicara mengenai Lingkungan, seolah-olah menjadi isu yang dilupakan. Kita mungkin lebih fasih untuk membicarakan persoalan politik dan perkembangan ekonomi ketimbang membicarakan bagaimana caranya menjaga pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup agar bermanfaat bagi mahluk hidup. Keterkaitan lingkungan dengan Makhluk hidup sangat besar.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan tindakannya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pada dasarnya merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi seluruh manusia untuk dapat memelihara, menjaga, melestarikan sehingga lingkungan hidup dapat membawa manfaat yang optimal bagi kehidupan manusia.
Kecenderungan yang terjadi saat ini, bahwa kegiatan pembangunan yang meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu adalah beban sosial yang pada ahirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihan
Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin meningkatnya dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini menorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup sehingga risiko terhdap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin. Upaya penendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindak pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Kenyataannya, akibat proses pembangunan yang lebih menonjolkan kepentingan ekonomi, telah terjadi kondisi yang tidak lagi sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya, yaitu dengan adanya orang atau kelompok orang demi kepentingan ekonomi yang tidak memikirkan akibat yang akan terjadi, dimana telah terjadi pembabatan hutan, perusakan ekosistem di laut (terumbu karang), membuang limbah cair maupun limbah padat ke media lingkungan yang berakibat terjadi kerusakan lingkungan.
Implikasi yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang mengedepankan faktor ekonomi adalah secara perlahan tetapi pasti menimbulkan kerusakan dan degradasi kuantitas meupun kualitas sumber daya alam seperti: a. laju kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun dan sejumlah spesies hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi sumber daya hutan yang tak terkendali, b. sekitar 70% terumbu karang mengalami kerusakan serius akibat endapan erosi, pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh limbah industri, c. sekitar 64% dari total hutan mangrove seluas 3 juta hektar mengalami kerusakan serius akibat penebangan liar untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi aral pertambakan, d. kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam, yang selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya.
Untuk mengatasi dan menanggulangi masalah pencemaran dan perusakan ini, pemerintah telah berupaya untuk sebisa mungkin melakukan pencegahan dini terhadap ancaman ini. Salah satu hal yang dilakukan pemerintah saat ini adalah upaya pelaksanaan audit lingkungan sebagai sarana untuk mencegah dan menetralisir kemungkinan-kemungkinan timbulnya pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan industri.
Bidang ini dapat dikatakan masih baru di dunia pengelolaan lingkungan di Indonesia. Baru pada era 1980-an negara maju seperti kanada mulai memikirkan dan menerapkan Audit Lingkungan. Audit Lingkungan adalah evaluasi sistematis dan obyektif dari dampak yang ada maupun potensial dampak dari kegiatan suatu organisasi atas lingkungan. Apa yang dievaluasi biasanya termasuk pengelolaan lingkungan dari organisasi itu, pentaatan pada peraturan dalam pengelolaan lingkungan seperti emisi ke udara, pembungan ke air, pengelolaan limbahnya, termasuk pula manajemen komunikasi dan kursus-kursus yang diberikan kepada staffnya. Audit Lingkungan berlaku bukan saja bagi departemen-departemen di pemerintahan, juga berlaku untuk perusahaan bisnis, bahkan termasuk kelompok-kelompok lingkungan.
Salah satu kasus yang cukup menyedot perhatian terkait adalah menyangkut kontroversi pelaksanaan Audit lingkungan yang dilakukan P.T Freeport Indonesia. Audit lingkungan yang dilakukan konsultan Montgomery Watson, dianggap tidak valid. Ini diakibatkan keadaan yang terjadi di lingkungan sekitar P.T Freeport, masih terdapat limbah-limbah yang kerapkali menimbulkan pencemaran. Montgomery Watson dianggap menyembunyikan atau tidak memberikan data audit lingkungan yang benar terhadap keadaan P.T Freeport Indonesia
Factor manusia
Adalah subsistem manusia memiliki dominasi yang lebih besar dari semua subsistem-subsistem lingkungan yang lain. Dapat dikatakan disini, bahwa seberapa jauh (tinggi rendah) mutu kehidupan lingkungan itu pada dasarnya tergantung daripada manusia sendiri. Kesimpulan demikian, akan diperkuat lagi dengan teori yang mengatakan, bahwa lingkungan selalu dilihat dari perspektif kepentingan manusia (Anthrophocentris Principle). Dalam dimensi interaksi manusia dengan alam lingkungannya, sudah jelas harus membutuhkan aturan atau norma. Aturan atau norma, yang kelihatan sebagai wujud hukum, berfungsi sebagai landasan interaksional lingkungan dari setiap kegiatan manusia. Tujuan hukum di sini ialah menciptakan keseimbangan kemampuan lingkungan yang serasi (environmental harmony).
Faktor perkembangan dan kemajuan teknologi juga sangat berpengaruh dalam melihat interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Teknologi bersama-sama dengan pertumbuhan populasi manusia yang sangat pesat telah memperbesar pengaruh manusia terhadap lingkungan. Hal ini dapat melalui 2 jalan yaitu
1. penggunaan mesin dan konversi energi, teknologi telah mempertinggi kemampuan manusia dalam mengubah lingkungan hidupnya
2. memproduksi banyak macam bahan buangan yang sering merupakan bahan baru, yang memberikan kesan tertentu. Pengaruh ekologis dan medis dari bahan buangan ini acap kali tidak langsung terdeteksi kesannya. Dan baru dapat dirasakan akibatnya setelah banyak tertumpuk dalam lingkungan hidip manusia. Kemudian barulah kita bicara tentang masalah berbagai bentuk pencemaran lingkungan.
Sifat inaninatif dari komponen lingkungan hidup mengakibatkan manusia sebagai satu-satunya pihak yang berperan dalam perubahan kondisi lingkungan hidup. Peran manusia ini bisa dalam bentuk positif seperti kemampuan secara sadar dan efektif dalam pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup namun dapat pula berwujud negatif dalam hal kesewenang-wenangan dan kerakusan dalam pemanfaatan lingkungan hidup tanpa melihat kepentingan generasi yang akan datang.
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Administrasi

Menurut Siti Rangkuti penegakan hukum lingkungan adalah
Sebagai upaya untuk mencapai kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku baik secara umum maupun secara individual, selalu terkait dengan ketaatan masyarakat secara luas dan juga terkait dengan kinerja aparatur penegak hukum terhadap peraturan yang berlaku. Upaya penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan melalui upaya administratif, upaya pidana dan upaya perdata, harus digunakan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku

Penegakan hukum lingkungan administrasi mempunyai fungsi instrumental yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Sarana penegakan hukum lingkungan administrasi adalah pengawasan dan penerapan sanksi administratif. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini diatur dalam pasal 22 hingga 27.
Beberapa jenis sarana penegakan hukum lingkungan administrasi adalah :
1. Paksaan pemerintah atau tindakan paksa
2. Uang paksa
3. Penutupan tempat usaha
4. Penghentian kegiatan mesin perusahaan
5. Pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan, pemerintahan, penutupan dan uang paksa.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, sarana penegakan hukum administrasi dapat terlihat dalam pasal 25 ayat 1 mengenai paksaan pemerintah, pasal 25 ayat 5 mengenai pembayaran sejumlah uang tertentu dan pencabutan izin dalam pasal 27. Pasal 25 ayat 5 yang menyatakan”Paksaan pemerintahan dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu”
Dalam penegakan hukum administrasi, aspek administrasi sebenarnya memegang peranan yang sangat signifikan. Aspek ini dianggap sebagai pencegah atau selektor dalam menghadapi suatu kasus lingkungan. Pencemaran dan perusakan lingkungan dapat dicegah dengan penegakan hukum administrasi lingkungan yang konsisten. Ini lebih efektif dan berguna daripada aspek perdata atau pidana yang lebih memfokuskan diri kepada keadaan untuk mengobati atau mengembalikan suatu keadaan yang telah tercemar atau rusak. Ini jauh lebih sulit karena merupakan hal yang agak mustahil bila kita menginginkan pemulihan lingkungan yang benar-benar sesuai dengan keadaan sebelum pencemaran atau perusakan itu terjadi.
Kita dapat melihat fungsi perizinan dalam hukum administrasi lingkungan hidup, dimana fungsi perizinan adalah untuk membina, mengarahkan, mengawasi dan menerbitkan kegiatan-kegiatan dalam bidang tertentu, maka kewajiban memelihara kelestarian lingkungan dapat dimasukkan ke dalam prosedur perizinan usaha, baik dalam taraf pengajuan permohonan maupun taraf pelaksanaannya untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
Audit Lingkungan

Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat mendefinisikan audit lingkungan sebagai kajian sistematis, terdokumentasi dan dilaksanakan secara periodik oleh pelaksana kegiatan usaha terhadap fasilitas dan praktek kegiatannya agar memenuhi persyaratan-persyaratan lingkungan.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, Definisi audit lingkungan terdapat dalam pasal 1 nomor 23 yang berbunyi sbb :
Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;

Jenis-Jenis Audit Lingkungan
Berdasarkan definisi diatas, maka audit lingkungan dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis audit, yang meliputi:
1. Audit penataan: yang merupakan audit lingkungan yang terbatas pada pemeriksaan status penataan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan.
2. Audit sistem manajemen lingkungan: dilakukan untuk membantu pelaksana kegiatan atau pihak manajemen memahami kelayakan serta efektifitas dari sistem organisasi dan manajemen lingkungannya.
3. Audit penilaian resiko; ditujukan untuk memberikan pemahaman bagi manajemen perusahaan tentang potensi dan tingkat resiko lingkungan dari suatu kegiatan. Audit penilaian resiko ini dapat dilakukan melalui penilaian terhadap akibat dan praktek terdahulu,kegiatan yang sedang berjalan, maupun aktifitas yang akan datang.
Manfaat dan Tujuan dari Audit Lingkungan
Secara spesifik manfaat audit lingkungan dapat dibagi menjadi dua bagian ,yaitu :
1. Audit manajemen, yaitu untuk meningkatkan kualitas manajemen lingkungan oleh pengusaha sehingga dapat menghemat biaya, sumber daya, energi; serta mencegah resiko,tekanan masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan pada kegiatan perusahaan, seperti penyandang modal, pemegang saham, dan perusahaan asuransi. Aspek audit manajemen ini meliputi (a) pengelolaan B-3;(b) pengendalian pencemaran; (c) minimalisasi limbah; (d) teknologi proses; dan(e) program tanggap darurat.
2. Audit penataan, yaitu upaya untuk mencegah dikenakannya sanksi hukum berdasarkan syarat-syarat dalam izin kegiatan misalnya AMDAL dan HO, dan kemungkinan ditutup, dan sebagainya. Audit lingkungan dalam arti ini dapat berfungsi sebagai sarana evaluasi kinerja perusahaan terhadap aspek pentaatan manajemen lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Audit lingkungan merupakan suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik, dan obyektif tentang kinerja suatu organisasi, sistem manajemen dan peralatannya, dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian pentaatan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan.
Dari pengertian itu, maka terdapat 2 hal yang menjadi tujuan audit lingkungan, yaitu:
1. memberi fasilitas kontrol kepada manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan
2. mengkaji pentaatan kebijaksanaan usaha, termasuk untuk memenuhi ketentuan lingkungan.

Wewenang Pelaksanaan Audit Lingkungan
Dalam Undang-Undang No.23 tahun 1997, wewenang pelaksanaan audit lingkungan dapat terlihat dalam pasal 29 yang berbunyi:
(1) Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Dalam pemaparan dalam pasal 29 ini dapat terlihat bahwa setiap pelaku usahalah yang melakukan audit lingkungan dalam perusahaannya. Menteri lingkungan hidup baru berwenang memerintahkan audit lingkungan apabila terdapat sebuah kecenderungan adanya suatu pelanggaran/ketidak patuhan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Yang menjadi perdebatan dalam penerapan audit lingkungan ini adalah mengenai sifat pelaksanaan dari audit lingkungan itu sendiri. Apakah audit lingkungan itu bersifat keharusan (mandatory) sehingga dapat dipaksakan berlakunya oleh pemerintah, atau semata-mata kerelaan sang pengusaha untuk menjalankannya sebagai bagian dari manajemen internal mereka ? .Dalam perkembangan lebih jauh, Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 menyatakan dalam penjelasan pasal 28 dimana audit lingkungan merupakan instrumen penting bagi penanggung jawab dan/atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya data menaati persyaratan lingkungan hidup yang ditetapkan oleh peraturan-perundang-undangan. Dalam pengertian ini, audit lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverikasi ketaatan terhadap peraturan-perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan secara internal oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sifat pelaksanaan audit lingkungan adalah sukarela dan merupakan urusan internal perusahaan yang bersangkutan. Jika memang Audit Lingkungan merupakan urusan intern perusahaan, setidaknya masalah transparansi menjadi penting disini, sehinga pihak luar dapat menjalankan fungsinya sebagai eksternal kontrol. Apalagi mengingat kesalahan perhitungan dalam mengelola lingkungan tidak hanya ditanggung oleh pengusaha, tetapi juga masyarakat lainnya.
Dilihat dari sisi efektifitasnya, pelaksanaan audit lingkungan karena bersifat sukarela dan internal, maka hal ini tidak dapat dipaksakan oleh pemerintah. Ini berarti pelaksanaan audit lingkungan sangat memerlukan ‘niat baik’ dari sang pemrakarsa audit lingkungan untuk mau terbuka atas aktivitas mereka.
Menyimak audit lingkungan yang dilakukan oleh PT. Freeport setelah lebih dari setahun berjalan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kemajuan proses audit tersebut. Ini ditambah tidak ada satu lembagapun yang dapat memaksa PT. Freeport untuk mengumumkan hsail Audit Lingkungannya. Konsultan Montgomery Watson hanya menjelaskan bahwa setelah audit lingkungan terhadap P.T Freeport telah dilakukan dengan hasil tidak ditemukan adanya pencemaran lingkungan seperti yang dituduhkan selama ini. Jika sudah begini, maka apa yang disinyalir para praktisi lingkungan hidup akan mendekati kenyataan; bahwa audit lingkungan menjadi tidak bermakna.
Kecenderungan ini diakibatkan karena sifat sukarela dan internal dari pelaksanaan audit lingkungan itu sendiri. Konsultan Montgomery Watson ditunjuk oleh P.T Freeport sendiri untuk meneliti dugaan pencemaran P.T Freport. Hal ini mengindikasikan kepentingan P.T Freeport untuk menghindari sanksi hukum dalam dugaan pencemaran dengan melaksanakan audit lingkungan melalui Montgomery Watson. Keterangan konsultan Montgomery Watson yang notebene dibiayai oleh P.T Freeport dianggap bisa mematahkan opini-opini yang selama ini menganggap P.T Freeport melakukan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Sifat sukarela dan internal inilah yang dimanfaatkan sebagai celah hukum untuk dapat melepaskan diri dari ancaman sanksi administratif.Akan lain halnya jika audit lingkungan ini diberlakukan sebagai persyaratan wajib yang harus disertakan bersama dengan AMDAL dengan konsultan yang ditunjuk oleh pemerintah atau agar lebih efektif terdapat sebuah lembaga yang khusus melaksanakan audit lingkungan dengan anggota-anggota yang merupakan perpaduan antara unsur praktisi, para ahli lingkungan dan unsur LSM lingkungan. Hasil audit lingkungan pun harus diumumkan kepada publik dengan jagka waktu tertentu untuk lebih mengetahui perubahan-perubahan kondisi lingkungan yang mungkin saja terjadi akibat proses industrialisasi.
Penegakan hukum dalam persoalan audit lingkungan di Indonesia masih berpijak pada Audit Lingkungan yang biasa diterapkan di negara barat; yaitu sebagai management tool yang lemah segi penegakannya. Berbeda dengan visi WALHI bahwa Audit Lingkungan adalah enforcement tool yang dilampirkan bersamaan dengan AMDAL. Sehingga dapat dipahami para praktisi, dan pembuat studi AMDAL banyak yang pesimis akan kegunaan Audit Lingkungan. Kata mereka masalah utama adalah bagaimana rekomendasi-rekomendasi AMDAL dapat diterapkan, sehingga yang diperlukan adalah pengawasan dan penegakan agar hasil studi AMDAL dapat dilaksanakan. Jika, masalah penegakan tidak dapat diselesaikan, maka audit lingkungan dipandang hanya sebagai tambahan pekerjaan dan biaya tanpa kejelasan makna perlindungan bagi lingkungan hidup.
Dalam pasal 29 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 disebutkan mengenai audit lingkungan wajib bagi perusahaan, yang menurut pertimbangan menteri negara lingkungan hidup tidak menaati peraturan/ menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang ini. Selanjutnya apabila perusahaan tersebut tetap tidak melakukan audit lingkungan, tindakan selanjutnya adalah Menteri Lingkungan Hidup menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit lingkungan dengan biaya proses audit lingkungan dibebankan kepada perusahaan yang bersangkutan.
Yang patut dipertanyakan dari rumusan ini ialah mengenai kualifikasi dari ketidakpatuhan itu sendiri, dalam penjelasan pasal 29 tidak terdapat rumusan mengenai kualifikasi ketidakpatuhan, sejauh mana dan bagimanakah suatu perusahaan dinyatakan tidak patuh, tidak dijelaskan dalam pasal ini. Ini dapat menimbulkan kekhawatiran perlakuan diskriminatif dalam penentuan dan penerapan audit lingkungan di lapangan. Keberadaan Menteri Lingkungan Hidup yang menentukan patuh tidaknya suatu perusahaan, kental dengan nuansa sentralistik dan otoritarian. Suatu perusahaan yang sebenarnya telah memenuhi kualifikasi persyaratan lingkungan hidup dapat saja dianggap tidak patuh, begitu pula sebaliknya jika suatu perusahaan yang sebenarnya dari segi kualifikasi adalah pelaku pencemar namun karena pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti ekonomi atau politik dapat diloloskan begitu saja dan dianggap telah mematuhi peraturan lingkungan hidup.
Dalam kasus P.T Freeport, Konsultan Montgomery Watson merupakan konsultan yang ditunjuk sendiri oleh P.T Freeport dan bukan atas perintah Menteri Negara Lingkungan Hidup. Menteri Negara Lingkungan Hidup juga tidak menetapkan bahwa P.T Freeport menunjukkan sikap ketidakpatuhan. Maksud audit lingkungan yang dilakukan P.T Freeport sendiri lebih kepada kepentingan politis untuk melepaskan diri dari dugaan pencemaran lingkungan yang banyak disuarakan para aktivis lingkungan dan pertimbangan bisnis untuk meningkatkan daya saing dengan kompetitor dengan harapan pelaksanaan audit lingkungan dapat meningkatkan nilai jual dari P.T Freeport itu sendiri.
Seperti kita ketahui komponen hukum yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum harus merupakan kesatuan dan berjalan dengan saling terkait satu sama lain. Dalam persoalan audit lingkungan, unsur substansi hukum yang masih lemah dan tidak efektif mengakibatkan tidak bekerjanya unsur-unsur lainnya. Struktur hukum tidak dapat berjalan dalam proses penegakan diakibatkan sifat sukarela dan internal dari audit lingkungan ditambah wewenang penentuan kualifikasi patuh tidaknya suatu perusahaan dalam memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan hidup yang hanya oleh seorang Menteri. Ini mengakibatkan budaya hukum dalam arti cita-cita dan keinginan masyarakat dalam pelaksanaan hukum belumlah tercapai.

Penulis, pemerhati hukum tinggal di Denpasar.

Tidak ada komentar:

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...