Minggu, 07 Desember 2008

Bagian I

SUKSES DENGAN BERINTEGRITAS

(Biografi 27 tokoh-tokoh Indonesia terpuji )

Bagian I

Ali Alatas
Adam Malik
Artidjo Alkostar
Baharudin Lopa
Benjamin Mangkoedilaga
Bismar Siregar
Des Alwi Abubakar
Emil Salim
Frans Seda
Gito Rollies
Harry Roesli
Ida Bagus Mantra
Ismail Saleh
Iwan Fals
Komarudin Hidayat
Kwik Kian Gie
Marie Muhammad
Mochtar Kusumaatmadja
Mubyarto
Nurcholis Madjid
Pramudya Ananta Toer
J.E Sehetapy
Roeslan Adulgani
Siswono Yudohusodo
Sutan Takdir Alisyahbana
Taufik Ismail
Yap Thiam Hien

sumber:
www.tokohindonesia.com
www.biography.com
www.artisindonesia.com





Collected by
Sea GAte
(IGN Parikesit Widiatedja)








1. Ali Alatas
Singa Tua Diplomat Indonesia
Dia salah satu diplomat handal Indonesia. Menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinat dan pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia pada 1996, suatu bukti kehandalannya mewakili Indonesia di pelbagai meja perundingan dan jalur diplomatik. Selama dua dasawarsa lebih, Alex (nama panggilannya) memperlihatkan kelas tersendiri sebagai diplomat. Bahkan pada usia senjanya, ia masih mengemban tugas sebagai Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-2004). Maka tak salah bila ia dijuluki singa tua diplomat Indonesia.Kisah hidupnya adalah diplomasi. Padahal pada masa kecil ia bercita-cita menjadi pengacara. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1956, kelahiran Jakarta 4 November 1932 ini, meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun. Ia mengawali tugas diplomatnya sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok (1956-1960), sesaat setelah ia menikah.Sebelumnya, ia sempat berkecimpung dalam dunia jurnalistik sebagai korektor Harian Niewsgierf (1952-1952) dan redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954). Selepas bertugas di Kedubes RI Bangkok, ia kemudian menjabat Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966). Lalu ditugaskan menjabat Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972), Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975) dan Staf Ali dan Kepala Sekretaris Pribadi Menteri Luar Negeri (1975-1976).Kemudian, ia dipercaya mejalankan misi diplomat sebagai Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982). Lalu, kemampuan diplomasinya diuji lagi dengan mengemban tugas sebagai Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987). Selepas itu, ia pun dipercaya menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet masa pemeritahan Soeharto dan Habibie.Saat menjabat Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia harus menghadapi berbagai kritikan mengenai masalah Timor Timur. Ia dengan cekatan bisa melayaninya dengan diplomatis. Apalagi saat pecah insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang pada 12 November 1991, ia cekatan untuk meredam kemarahan dunia. “Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu,” katanya. Namun semua perjuangannya menjadi sia-sia seketika, manakala Presiden BJ Habibie memberikan refrendum dengan opsi merdeka atau otonomi, tanpa berkonsultasi dengannya. Suatu opsi yang amat naif. Ia tidak setuju atas solusi jajak pendapat yang dicetuskan Habibie itu. Sebab sebagai seorang diplomat, ia tetap berkeyakinan pada solusi diplomasi betapapun sulitnya sebuah situasi. Maka tak heran, matanya berkaca-kaca beberapa saat setelah referendum. Timtim lepas dari pangkuan ibu pertiwi dan yang lebih memilukan, Timor Loro Sa’e itu rusuh dan hangus dilalap api. Karena keputusan presiden yang sulit dimengertinya, ia harus rela mengakhiri karir diplomatnya dengan air mata.Namun semua orang tahu, bahwa kekalahan di Timor Timur itu bukan kesalahannya. Tetapi kesalahan ‘bosnya’ yang di luar batas kewenangannya. Presiden Habibie memang akhirnya menuai badai – pertanggungjawabannya ditolak MPR – akibat ‘kecerobohan’ itu. Maka, nama besar Alex sebagai diplomat yang prestisius tetap terukir tinta emas dalam lembar-lembar perjalanan karirnya.Sehingga, ketika Alwi Shihab diangkat menjabat Menlu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Alatas dipercaya sebagai penasehat. Kemudian, setelah Gus Dur jatuh dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Alex diangkat menjabat Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri.Sebagai penasehat presiden ia antara lain telah menjalankan misi diplomat ke berbagai negara, termasuk ke Swedia, mengenai Hasan Tiro. Namun, aktivitasnya sebagai penasehat presiden tidak lagi sesibuk ketika ia menjabat Menlu. Sehingga, ia berkesempatan mengisi waktu dengan mewujudkan impiannya menjadi pengacara, sebagai salah satu penasihat hukum di Biro Pengacara Makarim & Taira's. Dan untuk mengisi waktu ia pun menikmati hidup dengan keluarga di rumah kediamannya di Kemang Timur, Jakarta Selatan.

Nama : Ali AlatasLahir : Jakarta, 4 November 1932Agama:IslamJabatan:Penasehat Presiden Urusan Luar Negeri 2001-2004Pendidikan : :: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1956 :: Akademi Dinas Luar Negeri, 1956 Karir : :: Korektor Harian Niewsgierf (1952-1952) :: Redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954) :: Sekretaris II Kedutaan Besar RI di Bangkok (1956-1960) :: Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966) :: Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970) :: Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972) :: Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975) :: Staf Ali dan Kepala Sekretaris Pribadi Menteri Luar Negeri (1975-1976) :: Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978) :: Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982) :: Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987) :: Menteri Luar Negeri (1987-1999) :: Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-2004)



2. Adam Malik
Si Kancil Pengubah Sejarah
Ia merupakan personifikasi utuh dari kedekatan antara diplomasi dan media massa. Jangan kaget, kalau pria otodidak yang secara formal hanya tamatan SD (HIS) ini pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York dan merupakan salah satu pendiri LKBN Antara. Kemahirannya memadukan diplomasi dan media massa menghantarkannya menimba berbagai pengalaman sebagai duta besar, menteri, Ketua DPR hingga menjadi wakil presiden. Sang wartawan, politisi, dan diplomat kawakan, putera bangsa berdarah Batak bermarga Batubara, ini juga dikenal sebagai salah satu pelaku dan pengubah sejarah yang berperan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia hingga proses pengisian kemerdekaan dalam dua rezim pemerintahan Soekarno dan Soeharto.Pria cerdik berpostur kecil yang dijuluki ''si kancil” ini dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917 dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Semenjak kecil ia gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi. Setelah lulus HIS, sang ayah menyuruhnya memimpin toko 'Murah', di seberang bioskop Deli. Di sela-sela kesibukan barunya itu, ia banyak membaca berbagai buku yang memperkaya pengetahuan dan wawasannya.Ketika usianya masih belasan tahun, ia pernah ditahan polisi Dinas Intel Politik di Sipirok 1934 dan dihukum dua bulan penjara karena melanggar larangan berkumpul. Adam Malik pada usia 17 tahun telah menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar (1934- 1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara tahun 1937 berkantor di JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo.Di zaman Jepang, Adam Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Adam Malik pernah melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta. Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan Komite Van Aksi, terpilih sebagai Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen. Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di tahun 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965). Pada masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi. Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Sejak 1966 sampai 1977 ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II / Menlu ad Interim dan Menlu RI. Sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk rescheduling utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Kemudian tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi.Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan banyak. Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah dan aktif tiba-tiba hanya berperan sesekali meresmikan proyek dan membuka seminar. Kemudian dalam beberapa kesempatan ia mengungkapkan kegalauan hatinya tentang feodalisme yang dianut pemimpin nasional. Ia menganalogikannya seperti tuan-tuan kebon. Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, ia seing mengatakan ‘semua bisa diatur”. Sebagai diplomat ia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Tapi perkataan ‘semua bisa diatur’ itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa di negara ini ‘semua bisa di atur’ dengan uang. Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever. Kemudian, isteri dan anak-anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan.
Nama:H. Adam MalikLahir :Pematang Siantar, 22 Juli 1917Meninggal:Bandung, 5 September 1984Agama:IslamIsteri:Nelly Adam MalikAyah:Abdul Malik BatubaraIbu:Salamah LubisPendidikan:SD (HIS) dan Madarasah IbtidaiyahOtodidakJabatan:Wakil Presiden RI (23 Maret 1978-1983)Ketua MPR/DPR 1977-1978Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26Wakil Perdana Menteri II/Menteri Luar Negeri RI (1966-1977)Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965)Ketua delegasi Indonesia-Belanda (1962)Duta besar di Uni Soviet dan Polandia (1959)Anggota DPA (1959)Anggota Parlemen (1956)Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947)ProfesiWartawan (Pendiri LKBN Antara tahun 1937)Organisasi:Pinisepuh Golongan KaryaPendiri Partai Murba (1946-1948)Pendiri Partai Rakyat (1946)Ketua Partindo di Pematang Siantar (1934- 1935

3. Artidjo Alkostar
Dosen Jadi Hakim Agung
Sebelum menjadi hakim agung, pria kelahiran Situbondo Jawa Timur pada 22 Mei 1948 ini aktif sebagai dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan advokat. Sebagai advokat, ia menangani beberapa kasus penting, di antaranya Anggota Tim Pembela Insiden Santa Cruz di Dili (Timor Timur 1992), dan Ketua Tim Pembela gugatan terhadap Kapolri dalam kasus Pelarungan "Darah Udin" (wartawan Bernas Fuad M Syafruddin).
Mantan Direktur LBH Yogyakarta 1983-1989 itu, adalah alumnus FH UII Yogyakarta (1976), dan Program Doktor di FH Universitas Diponegoro Semarang. Disertasinya membahas tentang Korupsi Politik.
Saat diangkat menjadi hakim agung, dia melaporkan kekayaan: Rumah berukuran 54 meter persegi di atas tanah seluas 200 meter persegi di Jalan Cerme A-37 Perum Sidoarum Blok II, Godean, Sleman, Yogyakarta; Tanah hak milik seluas 1.122 meter persegi di Candibinangun Pakem, Sleman, Yogyakarta; Sepeda motor merek Honda Astrea tahun 1985; Penghasilan tetap sebagai dosen FH UII Yogyakarta, serta advokat/penasihat hukum. ►ti/kps

Nama:Artidjo AlkostarLahir:Situbondo Jawa Timur pada 22 Mei 1948Agama:IslamJabatan:Hakim AgungPendidikan:- FH UII Yogyakarta (1976)- Program Doktor di FH Universitas Diponegoro SemarangKarir:- Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta- Direktur LBH Yogyakarta 1983-1989Alamat Rumah:Jalan Cerme A-37 Perum Sidoarum Blok II, Godean, Sleman, Yogyakarta

4..Baharuddin Lopa
Teladan Jaksa Pendekar Hukum
Dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah. Dia, teladan bagi orang-orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum. Sayang, suratan takdir memanggil Jaksa Agung ini tatkala rakyat membutuhkan keberaniannya. Tetapi dia telah meninggalkan warisan yang mulia untuk menegakkan keadilan. Dia mewariskan keberanian penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi bangsanya.Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan, meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan.Lopa dan Bismar Siregar merupakan contoh yang langka dari figur yang berani melawan arus. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Tetapi mereka telah meninggalkan warisan yang mulia kepada rekan-rekannya. Tentu untuk diteladani.Baharudin Lopa meninggal dunia pada usia 66 tahun, di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada jantungnya.Lopa, mantan Dubes RI untuk Saudi, dirawat di ruang khusus rumah sakit swasta di Riyadh itu sejak tanggal 30 Juni. Menurut Atase Penerangan Kedubes Indonesia untuk Arab Saudi, Joko Santoso, Lopa terlalu lelah, karena sejak tiba di Riyadh tidak cukup istirahat.Lopa tiba di Riyadh, 26 Juni untuk serah terima jabatan dengan Wakil Kepala Perwakilan RI Kemas Fachruddin SH, 27 Juni. Kemas menjabat Kuasa Usaha Sementara Kedubes RI untuk Saudi yang berkedudukan di Riyadh. Lopa sempat menyampaikan sambutan perpisahan.Tanggal 28 Juni, Lopa dan istri serta sejumlah pejabat Kedubes melaksanakan ibadah umrah dari Riyadh ke Mekkah lewat jalan darat selama delapan jam.Lopa dan rombongan melaksanakan ibadah umrah malam hari, setelah shalat Isya. Tanggal 29 Juni melaksanakan shalat subuh di Masjidil Haram. Malamnya, Lopa dan rombongan kembali ke Riyadh, juga jalan darat.Ternyata ketahanan tubuh Lopa terganggu setelah melaksanakan kegiatan fisik tanpa henti tersebut. Tanggal 30 Juni pagi, Lopa mual-mual, siang harinya (pukul 13.00 waktu setempat) dilarikan ke RS Al-Hamadi. Presiden KH Abdurahman Wahid, sebelum mengangkat Jaksa Agung definitif, menunjuk Soeparman sebagai pelaksana tugas-tugas Lopa ketika sedang menjalani perawatan. Penunjukan Soeparman didasarkan atas rekomendasi yang disampaikan Lopa kepada Presiden. Padahal Lopa sedang giat-giatnya mengusut berbagai kasus korupsi.Sejak menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat “hitam” tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Wahid, alias Gus Dur. Lopa juga menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung.Sejak menjabat Jaksa Agung, 6 Juni 2001, menggantikan Marzuki Darusman, Lopa bekerja keras untuk memberantas korupsi. Ia bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya, bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari.Penghormatan terakhirJenazah Lopa disemayamkan di Kejaksaan Agung untuk menerima penghormatan terakhir. Soeparman yang mengenal Lopa sejak lama, menilai seniornya sebagai seorang yang konsisten dalam penegakan hukum, sangat antikorupsi, sederhana, dan selalu berusaha agar orang-orang yang berada di sekitarnya bersih.Meski menjabat Jaksa Agung hanya 1,5 bulan, Lopa berhasil menggerakkan Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi. Karena itu jajaran kejaksaan merasa sangat kehilangan.Ajudan Lopa, Enang Supriyadi Samsi kaget ketika mendengar kabar kepergian Lopa, karena ia tahu Lopa jarang sakit, apalagi sakit jantung. Kalaupun dirawat di rumah sakit lantaran kelelahan, soalnya ia pekerja keras.Kalimat kunci dari Lopa yang tidak pernah dilupakan Enang, “kendatipun kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan.”Soeparman dipanggil Presiden Gus Dur ke Istana Negara, Senin, menunjuknya sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung. Tidak ada arahan khusus dari Presiden. “Laksanakan tugas, lanjutkan apa yang sudah dan akan dilakukan Pak Lopa”. Hanya itu pesan Gus Dur. Soeparman adalah Doktor Ilmu Hukum Pidana Perpajakan, UI.Saat itu Lopa masih dirawat, belum meninggal dunia. Dengan demikian Keppres penunjukan Soeparman mengundang tanda tanya publik. Memang Wakil Jaksa Agung otomatis mengambil alih tugas-tugas atasannya bilamana yang bersangkutan berhalangan. Keppres serupa pernah dikeluarkan Pak Harto ketika mengangkat Singgih sebagai pelaksana tugas-tugas Jaksa Agung Sukarton yang meninggal dunia.Warisan LopaKepergian Lopa sangat mengejutkan, meninggal ketika ia menjadi tumpuan harapan rakyat yang menuntut dan mendambakan keadilan. Sejak menjabat Jaksa Agung (hanya 1,5 bulan), Lopa mencatat deretan panjang konglomerat dan pejabat yang didugaterlibat KKN, untuk diseret ke pengadilan.Ketika menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, ia menjebloskan raja hutan Bob Hasan ke Nusakambangan. Ktegasan dan keberaniannya jadi momok bagi para koruptor kakap.Menurut Andi Hamzah, sebelum bertolak ke Arab Saudi, Lopa masih meninggalkan beberapa tugas berat. Kepergian Lopa untuk selamanya, memang membawa dampak serius bagi kelanjutan penanganan kasus-kasus korupsi.Banyak perkara yang sedang digarap tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Banyak masih dalam tahap pengumpulan bukti, sudah ada yang selesai surat dakwaan atau sudah siap dikirim ke pengadilan. Banyak perkara yang tertahan di lapis kedua dan ketiga.Akbar sendiri, meski termasuk tokoh politik yang diburu Lopa, mendukung langkah penegakan hukum yang diprakarsai Lopa. “Kita merasa kehilangan atasas kepergian Lopa.”Pengacara yang membela banyak kasus korupsi, Mohammad Assegaf, menyayangkan Lopa melangkah pada waktu yang salah.He’s the right man in the wrong time. Karena itu ia kehilangan peluang untuk melakukan pembenahan.Pengamat hukum JE Sahetapy menginginkan kelanjutan pengungkapan kasus-kasus korupsi, meski Lopa sudah tiada. Kata Sahetapy, the show must go on.Lopa sendiri sudah punya firasat, tugasnya selaku Jaksa Agung takkan lama. Banyak orang mengaitkannya dengan masa jabatan Gus Dur yang singkat. Tetapi masa bhakti Lopa jauh lebih singkat.Ia sudah merasa bahwa langkah yang dimulainya akan memberatkan penerusnya.Anak DusunBarlop, demikian pendekar hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11 meter, di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Rumah itu sampai sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung. Ibunda pria perokok berat ini bernama Samarinah. Di rumah yang sama juga lahir seorang bekas menteri, Basri Hasanuddin. Lopa dan Basri punya hubungan darah sepupu satu.Keluarga dekatnya, H. Islam Andada, menggambarkan Lopa sebagai pendekar yang berani menanggung risiko, sekali melangkah pantang mundur. Ia akan mewujudkan apa yang sudah diucapkannya. Memang ada kecemasan dari pihak keluarga atas keselamatan jiwa Lopa begitu ia duduk di kursi Jaksa Agung. Ia patuh pada hukum, bukan pada politik.Lopa menerima anugerah Government Watch Award (Gowa Award) atas pengabdiannya memberantas korupsi di Indonesia selama hidupnya. Simboliasi penganugeragan penghargaan itu ditandai dengan Deklarasi Hari Anti Korupsi yang diambil dari hari lahir Lopa pada 27 Agustus.Lopa terpilih sebagai tokoh anti korupsi karena telah bekerja dan berjuang untuk melawan ketidakadilan dengan memberantas korupsi di Indonesia tanpa putus asa selama lebih dari 20 tahun. Almarhum Lopa, katanya, adalah sosok abdi negara, pegawai negeri yang bersih, jujur, bekerja tanpa pamrih, dan tidak korup.Menurut Ketua Gowa Farid Faqih, korupsi di Indonesia telah menyebabkan kebodohan dan kemiskinan bagi seluruh rakyat, tidak mungkin diatasi jika pihaknya, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, militer, dan pimpinan parpol tetap melakukan korupsi. Karena itu perlu dimulai hidup baru melalui gerakan moral dan kebudayaan untuk memberantas korupsi.Istri Lopa, Indrawulan, telah memberi contoh kesederhanaan istri seorang pejabat. Watak keras dan tegas suaminya tidak dibuat-buat. Karena itu, ia berusaha sedapat mengikuti irama kehidupan suaminya, mendukungnya dan mendoakan bagi ketegaran Lopa. Lopa telah tiada. Memang rakyat meratapikepergiannya. Tetapi kepergian Lopa merupakan blessing in disguise bagi para koruptor dan penguasa yang enggan menindak kejahatan korupsi.***Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan. Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan mengepalai Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Sejak 1982, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Pada tahun yang sama, ayah tujuh anak itu meraih gelar doktor hukum laut dari Universitas Diponegoro, Semarang, dengan disertasi Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan yang Digali dari Bumi Indonesia.Begitu diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa membuat pengumuman di surat kabar: ia meminta masyarakat atau siapa pun, tidak memberi sogokan kepada anak buahnya. Segera pula ia menggebrak korupsi di bidang reboisasi, yang nilainya Rp 7 milyar. Keberhasilannya itu membuat pola yang diterapkannya dijadikan model operasi para jaksa di seluruh Indonesia.Dengan keberaniannya, Lopa kemudian menyeret seorang pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar. Padahal, sebelumnya, Tony dikenal sebagai orang yang ''kebal hukum'' karena hubungannya yang erat dengan petinggi. Bagi Lopa tak seorang pun yang kebal hukum.Lopa menjadi heran ketika Majelis Hakim yang diketuai J. Serang, Ketua Pengadilan Negeri Ujungpandang, membebaskan Tony dari segala tuntutan. Tetapi diam-diam guru besar Fakultas Hukum Unhas itu mengusut latar belakang vonis bebas Tony. Hasilnya, ia menemukan petunjuk bahwa vonis itu lahir berkat dana yang mengalir dari sebuah perusahaan Tony.Sebelum persoalan itu tuntas, Januari 1986, Lopa dimtasi menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman Bidang Perundang-undangan di Jakarta. J. Serang juga dimutasi ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan. ►tsl-sh, dari berbagai sumber
Nama :Baharuddin LopaLahir :Mandar, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935Meninggal:Arab Saudi, 3 Juli 2001Agama :IslamPendidikan :SD, TinambungSMP, MajeneSMA, UjungpandangFakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1962)Kursus Reguler Lemhanas (1979)FH Universitas Diponegoro, Semarang (Doktor, 1982)Karir :- Jaksa pada Kejaksaan Negeri Ujungpandang (1958-1960)- Bupati Majene (1960)- Kepala Kejaksaan Negeri Ternate (1964)- Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (1966-1970)- Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh (1970-1974)- Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (1974-1976)- Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung, Jakarta (1976-1982)- Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982-1986)- Staf Ahli Menteri Kehakiman, Jakarta (1986)- Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan- Jaksa Agung Kabinet PersatuanAlamat Rumah :Kompleks Pondok Bambu Asri Raya No 1, Jakarta Timur





5.Benjamin Mangkoedilaga, SH
Ikon Integritas Seorang Hakim Karir
Namanya muncul ke permukaan ketika sebagai hakim di sidang PTUN Jakarta, memenangkan gugatan majalah Tempo yang dibredel pemerintah Orde Baru, terhadap Menteri Penerangan Harmoko. Ia patut disebut sebagai ikon integritas seorang hakim karir di negeri ini. Kemudian dalam usia 63 tahun ia terpilih menjabat hakim agung (2000-2002).Sebelum menjabat hakim agung, pria kelahiran Garut 30 September 1937 ini, aktif sebagai anggota berbagai lembaga penting di Tanah Air. Antara lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Arbitrase Nasional, Dewan Pers, dan Partnership to Support Governance Reform in Indonesia.
Benjamin menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di SMP dan SMA Kanisius. Kendati ia seorang muslim, dia memilih sekolah Katolik itu, karena alasan bermutu dan berdisiplin tinggi. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang akrab dengan masalah hukum. Ayahnya, H Mangkoedilaga adalah seorang jaksa. Lalu, ia pun meraih sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Walaupun semasa kecil, ia sempat bercita-cita menjadi tentara. Namun, cita-cita itu tak terwujud karena ia gagal masuk Akademi Militer Nasional (AMN) akibat matanya tidak bisa melihat jauh. Cita-cita jadi tentara sedikit terobati saat duduk di Fakultas Hukum UI, ia bergabung aktif dalam Resimen Mahasiswa. Bahkan ia sempat menjadi Komandan Batalion UI.
Suami dari Roosliana ini adalah hakim karier di PN dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia memulai karir tahun 1962-1967 sebagai Asisten Dosen FH UI. Kemudian menjadi Hakim PN Rangkas Bitung (1967-1974), Hakim PN Denpasar (1974-1979), Hakim PN Jakarta Utara (1979-1982). Lalu diangkat menjabat Wakil Ketua PN Bale Bandung Kab.Bandung (1982-1987), Ketua PN Cianjur (1987-1991), dan Ketua PTUN Surabaya (1991-1993). Setelah itu, ia dipercaya menjadi Hakim Tinggi PTTUN Medan (1996-1998) dan PTTUN Jakarta (1998-1999).
Saat menjadi Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, ayah dua putri, ini memenangkan gugatan majalah Tempo yang dibredel pemerintah Orde Baru, terhadap Menteri Penerangan Harmoko. Suatu keputusan yang dianggap berani pada masa itu, ketika campur tangan kekuasaan eksekutif masih sangat kuat terhadap yudikatif. Namanya pun melambung sebagai seorang hakim yang punya integritas diri menegakkan keadilan.
Bukan hanya putusan kasus TEMPO yang membuat integritas dan kredibilitasnya sebagai haki mencuat. Sebelumnya, ia juga telah memenangkan gugatan lima perusahaan future trading terhadap Menteri Perdagangan yang mencabut SIUP mereka. Juga menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap terdakwa Lince, yang membunuh suaminya sendiri di Pengadilan Negeri Bandung, pada 1986. Serta putusan menolak gugatan petani Cimacan, Jawa Barat, yang lahannya dijadikan lapangan golf.
Penerima Suardi Tasrif SH Award (penghargaan bidang jurnalistik) ini mencantumkan sebuah rumah, sebuah tanah kosong seluas 330 meter persegi, tiga mobil, tabungan Rp 30 juta, dan deposito 12.000 dollar AS. Tanah kosong di Kecamatan Gandul, Cinere, Jakarta, disebutkan seluas 33 meter persegi. Tiga mobil adalah Feroza tahun 1995, dan dua buah sedan, masing-masing tahun 1990 dan tahun 1996.
Pada usianya yang bertambah lanjut, ia masih terlihat segar bugar. Maklum, mayoret drum band pertama di kampus UI, itu gemar berolahraga dan pernah menjadi anggota Tim PON (Pekan Olah Raga Nasional) Jakarta. Bahkan ia juga punya prestasi menjuarai lari 400 meter, 800 meter, dan 400 meter gawang. tsl






Nama:H Benjamin Mangkoedilaga SHLahir:Garut, 30 September 1937Agama:IslamIsteri:RooslianaAnak:Dua putriAyah:H MangkoedilagaPendidikan : - SMP dan SMA Kanisius - Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jabatan:Hakim Agung (2000-2002)Riwayat Pekerjaan:• 1962-1967,Asisten Dosen FH UI• 1967-1974,Hakim PN Rangkas Bitung• 1974-1979,Hakim PN Denpasar• 1979-1982,Hakim PN Jakarta Utara• 1982-1987,Wakil Ketua PN Bale Bandung Kab.Bandung• 1987-1991,Ketua PN Cianjur• 1991-1993,Ketua PTUN Surabaya• 1996-1998,Hakim Tinggi PTTUN Medan• 1998-1999,PTTUN Jakarta• 1999-Anggota Komnas HAM• 1999-Anggota/Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI 2000)• 2000,Anggota Dewan Pers Indonesia• 2000,Anggota/Member of The Partnership to Support Governance Reform In Indonesia• 2000-2002,Hakim Agung pada MA RI- Pengajar pada sejumlah perguruang tinggi

6.Bismar Siregar
Cermin Kebeningan Nurani Hakim
Ibarat kaca, mantan hakim agung Bismar Siregar SH, menjadi cermin kebeningan hati nurani bagi para hakim. Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara (1984), ini selalu mengandalkan hati nurani setiap kali mengambil keputusan. Sebab baginya, hati nurani tidak bisa diajak berbohong. Dia merasa sangat bersyukur dan bahagia sekali tidak masuk lingkaran hakim yang bisa disuap atau dibeli. Karena itu Bismar Siregar, satu pendekar hukum langka yang berani melawan arus demi tegaknya keadilan. Baginya, undang-undang, hukum dan kepastian hukum, hanya sarana untuk mencapai keadilan.
Tatkala menjadi hakim aktif, Bismar Siregar, seringkali melakukan terobosan hukum dalam menegakkan keadilan. Sebagai seorang hakim, dia tidak mau diintervensi oleh siapa pun termasuk atasannya (Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung). Dia juga tidak mau pasrah bilamana belum ada undang-undang yang mengatur sesuatu perkara yang sedang diadili. Demi tegaknya keadilan, baginya, hakim adalah undang-undang.Untuk itu, Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya sendiri. Dia tidak ingin membohongi hati nuraninya ketika memutuskan suatu perkara. Setiap kali membuka berkas perkara atau memimpin sidang pengadilan, nurani keadilan selalu terbayang dibenaknya. Karena itu, kebanyakan teman menganggapnya sebagai hakim yang aneh, penuh kontroversi. Padahal duduk soalnya sederhana saja, Bismar tidak mau disuap, tidak bisa dibeli.
Benar apa yang ditulis Prof Satjipto Rahardjo, Guru Besar Fakultas Hukum Undip, “Bismar tidak kontroversial. Ia lurus-lurus saja. Setiap memutus perkara ia selalu bertanya kepada hati nuraninya.”
Bismar selalu berdialog dengan hati nuraninya: “Salahkah orang ini? Jahatkah dia? Bagaimana hukumannya, berat atau ringan?” Sesudah hati nuraninya memutuskan, maka ia mencari pasal-pasal hukum sebagai dasarnya.“Bismar” lain di kejaksaaan adalah mendiang Jaksa Agung Baharuddin Lopa. Kedua pendekar hukum itu, menurut Satjipto, model sosok penegak hukum yang berani melawan arus. Keberanian yang mereka tegakkan sangat dibutuhkan untuk melawan arus kebobrokan, pengaruh kapitalisme dan liberalisme hukum. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Namun mereka sama-sama memberi contoh keberanian, terserah kepada rekan-rekannya, mau meneladani atau tidak.
Bismar gemar menulis. Apa saja yang dirasakan dan dipikirkannya, tak pernah lupa ia catat. Banyak tulisannya yang dipublikasikan, baik dalam bentuk makalah ilmiah, ceramah, artikel populer, maupun buku. Tetapi masih banyak lagi buah pikiran dan gagasannya yang belum sempat dipublikasi. Naskahnya menumpuk, sangat sayang untuk dibuang.
Naskah-naskah yang tercecer ini dirangkai kembali di dalam bukunya: Dari Bismar untuk Bismar. Buku itu merangkum artikel-artikel pendek tentang berbagai topik, merupakan refleksi dirinya atas kejadian atau persoalan yang muncul atau sedang menjadi pembicaraan publik saat ia menuliskannya. Artikel-artikel itu terangkum secara kronologis sesuai tanggal, bulan atau tahun penulisannya.
Tidak seperti kebanyakan pria Batak, Bismar bertutur kata lembut, tetapi vonisnya bisa menggelegar. Ketika memangku Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara, Bismar pernah suatu kali, menambah vonis pengadilan tingkat pertama sampai 10 kali lipat. Ini dilakukannya pada perkara Cut Mariana dan Bachtiar Tahir. Kedua terdakwa dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan karena tuduhan memperdagangkan 161 kilogram ganja kering. Namun Pengadilan Tinggi menambah hukuman mereka, masing-masing 15 dan 10 tahun penjara.
Masih ada contoh lain. Bismar mengubah hukuman bagi seorang kepala sekolah yang mencabuli muridnya sendiri, dari tujuh bulan menjadi tiga tahun. Perkara ini diputuskan oleh PN Tanjungbalai, tetapi diubah oleh Pengadilan Tinggi Sumut. Bismar, sarjana hukum UI kelahiran Sipirok, Sumut, 15 September 1928, itu bersikap keras sejak awal. Ketika mengadili seorang tokoh BTI/PKI, Mei 1965, Bismar berani melawan tekanan PKI. Sebab Bismar beranggapan, hakim itu wakil Tuhan di dunia. Memang ayah Bismar, pensiunan kepala sekolah rakyat, menginginkan putra kelimanya (dari 13 anak) menjadi hakim yang baik. Bismar sempat menjadi jaksa di Palembang, hanya dua tahun, beralih menjadi hakim yang membawanya bertugas di Pangkal Pinang, Pontianak, Bandung, Medan dan Jakarta. Karirnya naik jadi hakim agung, Juni 1984.Perjalanan KarirSetelah menyandang gelar sarjana hukum UI, Bismar memulai karir sebagai jaksa di Kantor Kejaksaan Negeri Palembang (1957). Setelah bertugas dua tahun di Palembang, Bismar pindah ke Kejaksaan Negeri Ujung Pandang yang dipimpin oleh AA Baramuli yang kemudian menjadi pengusaha dan politisi. Baru setahun bertugas di Ujung Pandang, Bismar kemudian dipindahkan lagi ke Kejaksaan Negeri Ambon (1960).
Dua tahun kemudian (1962) Bismar berubah haluan, meniti karir sebagai hakim, pertama kali bertugas di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang (1962), kemudian dipindahkan ke PN Pontianak (1962-1968). Bismar mulai merenung bahwa di dalam meraih jabatan tidak boleh ngoyo.
Kisahnya begini: sebenarnya, Bismar dirancang menjadi Ketua PN Pangkal Pinang. Tetapi ketua pengadilan yang akan digantikannya belum mau pensiun, meminta dinas aktifnya diperpanjang setahun lagi. Maka, mau tidak mau Bismar menerima posisi sebagai hakim biasa. Baru saja bertugas di Pangkal Pinang, Ketua PN Pontianak meninggal dunia. Posisi yang ditinggalkannya diisi oleh Bismar. “Saya tidak tahu, mungkin ini kehendak Tuhan,” kata Bismar kepada Tokoh Indonesia.
Waktu itu usia Bismar baru 34 tahun, sebuah jabatan relatif tinggi bagi seorang hakim yang berusia semuda itu. Menilik pengalaman-nya, Bismar beranggapan, para hakim senior jangan melecehkan mereka yang muda dengan dalih masih ingusan. Kalau mampu menjalankan tugasnya dengan baik, berikan mereka kesempatan. Menjadi hakim agung di Mahka-mah Agung (1984-1995) merupakan puncak karir Bismar sebagai pende-kar hukum. Kemudian Bismar menikmati hari-hari pensiunnya, sejak 1 Desember 1995. ►mti/crs-sh-ad-ar
Hakim, Anak Petani
Bismar mensyukuri perjalanan hidup, tidak tamat SD dan SMP, tetapi menyandang gelar yang cukup bergengsi di bidang hukum. Dia besar di kalangan keluarga miskin, tetapi bisa menduduki posisi cukup tinggi di bidang hukum. Dia anak desa dan lama hidup di desa, tetapi bisa melanglang buana. Bismar bahagia sebagai muslim dan orang Batak, karena menyandang marga Siregar. Bismar bahagia karena pernah menjadi hakim.
Bismar merekam memori kehidupan di masa kecil dan mudanya di kampung di dalam sebuah buku, diberinya judul: Aku Anak Petani. Bahkan, Bismar tak malu menyebut dirinya lahir dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.Perjalanan hidup Bismar Siregar kecil yang lahir di Desa Baringin, Sipirok, Tapanuli Selatan, 15 September 1928, terbelenggu oleh kemiskinan. Ayahnya, Aminuddin Raja Baringin Siregar seorang guru sekolah rakyat (SR) desa.Sedangkan ibunya, Siti Fatimah, seorang ibu rumah tangga biasa yang harus membesarkan 13 orang anak. Karena itu, Bismar menghabiskan masa mudanya di Mandailing, Sumatra Utara, membantu ayahnya yang merangkap jadi petani. Mandailing adalah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang tidak pernah diduduki oleh Belanda. Kenyataan ini, sikap anti penjajah menempa jiwa dan semangatnya menjadi seorang republiken.
Bahkan, Bismar tak malu menyebut dirinya lahir dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ayahnya mewariskan catatan bahwa keluarganya pernah makan nasi hanya sekali sehari ditambah ubi rebus malam hari. Sewaktu membaca catatan tersebut, Bismar merenung sejenak, dan menemukan jatidirinya. Tuhan seakan berkata kepadanya: “Tidak percuma engkau bisa membaca catatan ayahmu supaya engkau lebih merasakan bahwa sejak usia enam bulan engkau sudah bernasib sepedih itu. Adakah engkau mengenal sekitarmu? Sungguh banyak orang sekarang ini yang lebih parah daripada hidupmu dahulu. Kalau dulu masih makan nasi sekali, ubi sekali, sekarang, nasi tidak bisa dimakan saban hari. Adakah engkau tidak merasakan yang sedemikin itu?”
Semiskin apapun perjalanan hidupnya dahulu, sampai tidak bisa menamatkan sekolah rakyat (HIS), Bismar tetap menyukurinya. Dia tidak mampu masuk sekolah lanjutan pertama, meskipun teman-temannya sudah masuk SMP, lantaran keluarganya sangat miskin. Maka dia bertahan menjadi anak desa yang tidak mengenyam bangku sekolah lanjutan. Bismar bukan sembarang anak desa. Tetapi anak desa yang membuka hutan untuk dijadikan sawah. Bersama orangtuanya, Bismar tidur di tengah persawahan, mendengarkan nyanyian jangkrik. Dia merasakan nikmat sekali. Sampai sekarang pun Bismar masih merasakannya, dan menangis di saat mengenangnya.
Keluarga Bismar memetik hikmahnya. Berjuang keras di jalan kehidupan seperti itu namun tidak sesulit sekarang untuk mencari makan. Bismar merekam memori kehidupan di masa kecil dan mudanya di kampung di dalam sebuah buku, diberinya judul: Aku Anak Petani.
Kenapa Bismar terdorong menulisnya dalam bentuk buku? Karena dia melihat perlakuan dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani. Harga gabah dipatok sedemikian rendah, sementara harga pupuk dipatok sedemikian tinggi. Petani ribut dan demo, masa bodoh. Semua mengatakan, “itu bukan urusanku.”
Tulis Bismar dalam bukunya yang juga diulangi dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia: “Mungkin saja mereka merasa bukan anak petani. Mereka telah berbohong terhadap diri mereka sendiri. Kalau bukan ayahnya yang petani, kakeknya yang petani.” Namun Bismar, bukan hanya ayah atau kakeknya yang petani, dia sendiri petani. Dia merasakan dan menikmati menjadi seorang petani. Ketika berada di tengah sawah, kehujanan dan kepanasan, dia merasa senang dan bahagia menunggu sampai panen selesai. Bismar merasakan nikmatnya melihat padi yang tumbuh, kemudian mulai boltok (istilah di Tapanuli) berbuah. Hidup di kampung, memiliki hasil panen cukup untuk makan setahun sudah bersyukur. Itu waktu dulu. Tapi sekarang tidak berlaku lagi. Karena lahan-lahan sudah dibagi kepada para ahli waris. Sawah terbagi-bagi semakin sempit.
Bismar mempertanyakan: “Salahkah kalau anak-anak desa harus meninggalkan kampung mereka untuk mencari nafkah di kota?” Pertanyaan ini dijawabnya dengan kenyataan, misalnya, warga Siborong-borong yang meninggalkan desa mereka karena memang tidak bisa lagi hidup di situ. Harga hasil pertanian tidak dapat lagi diandalkan. Bismar masih bertanya, “kenapa pemerintah tidak memikirkan nasib petani?”. Kalau petani diperhatikan, mereka tidak datang ke kota, menjadi supir bus, pedagang asongan atau pedagang kali lima yang sering menimbulkan masalah. Mereka dikejar-kejar aparat Trantib, seterusnya untuk diperas dan diperas lagi.
“Karena itu makmurkan para petani,” kata Bismar. Kapankah Indonesia memberikan kedudukan terhormat kepada para petani, dari mana kebanyakan petinggi negara berasal? Kata Bismar, pengabaian dan kesalahan kepada para petani perlu diakhiri, supaya semua orang cinta pada pertanian. Dulu Bismar bangga membawakan makanan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah. Sekarang, katanya, mana lagi ada anak yang mau begitu. Secara tidak sadar tatanan yang diwariskan nenek moyang telah dirusak sendiri.
Karena itu, Bismar kembali mengetok pintu hati nurani mereka yang diberikan amanah jabatan oleh Yang Maha Kuasa. Ingatlah, amanah dan jabatan itu sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Setiap orang tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban. Kepada SBY pun, sewaktu Pilpres, Bismar bilang, “engkau imam yang harus bertanggungjawab terhadap lingkunganmu.” SBY sekarang menjadi imam untuk bangsa ini. PendidikanPerjalanan pendidikan Bismar tergolong unik. Tahun 1942, ketika Bismar akan menempuh ujian sekolah dasar di kelas tujuh HIS (Hollands Inlandsche School), Jepang masuk. Kekacauan yang timbul karena gejolak pergantian penjajah, membuat Bismar tidak menempuh ujian akhir, dan pendidikannya praktis terhenti. Bismar muda hidup di kampung selama delapan tahun tanpa duduk di bangku sekolah. Tahun 1950, dia merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Ironis. Bismar yang tidak tamat sekolah dasar, malah dibawa abangnya ke Magelang untuk melanjutkan sekolah di SMA Pejuang, sebuah sekolah lanjutan khusus bagi para pejuang kemerdekaan.
Bismar seperti memakan buah simalakama. Mau masuk SMA, ijazah SD pun tidak punya, mau duduk di bangku SMP usianya sudah kadaluwarsa. Berkat bujukan si abang, Bismar memberanikan diri untuk mendaftar ke SMA Pejuang. Caranya, dia mengubah tanggal kelahirannya dari 15 September 1928 menjadi 15 November 1930. Sampai sekarang yang tercantum di ijazahnya, tanggal kelahiran terakhir.
Setelah masuk SMA, Bismar menghadapi kendala lain. Dia sangat takut pada mata pelajaran Aljabar, sebab mata pelajaran itu tidak pernah dia pelajari sebelumnya. Bayangkan, dia harus bersaing dengan kawan-kawannya yang sudah biasa mendapat mata pelajaran Aljabar. Bismar benar-benar mengalami kesulitan. Beruntung, hasil ujian akhir Bismar untuk mata pelajaran tersebut adalah nilai 5. “Tapi tidak jadi masalah karena itulah kekurangan saya,” kenang Bismar.Soal perbedaan versi tanggal kelahiranya pernah menjadi perdebatan media massa ibukota sewaktu Bismar menduduki posisi hakim agung. Ada yang memberita-kan, mestinya Bismar sudah pensiun. Namun Bismar tidak pernah gentar meskipun memiliki dua tanggal kelahiran yang berbe-da, apalagi alasannya cukup logis.
Bismar menamatkan SMA di Bandung tahun 1952. Kemudian melanjutkan studi di Fakultas Hukum UI Jakarta. Bismar meraih gelar sarjana hukum dalam tempo 4 tahun. “Ini sesuai dengan amanat orang tua saya,” kata Bismar. Memang sejak kanak-kanak, ayahnya selalu mengharapkan Bismar menjadi Meester in de Rechten (Mr). Dalam hidup Bismar Itulah saat-saat yang paling membanggakan dan membahagiakan.Perihal memperdalam ilmu hukum, Bismar tidak berhenti sampai di situ. Kehausan menuntut ilmu dilanjutkannya dengan menempuh pendidikan di luar negeri, antara lain, di Unversity of Nevada (1973), University of Alabama, Tooscaloosa (1973), University of Texas di Dallas (1979), dan Rijks-Universiteit di Utrecht (1990).
Dalam usianya yang beranjak tua, Bismar merasa sedih karena saat ini tidak bisa berbuat, hanya bisa menyaksikan penderitaan yang dialami rakyat. Yang bisa dilakukannya, hanya menulis, menulis dan terus menulis. Namun, di dalam hidupnya sampai saat ini, Bismar tidak pernah berhenti membaca dan menulis. Bismar meneladani apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW: “Tinta seorang pandai lebih suci daripada darah seorang syuhada.’’ Menjalani hari-hari tuanya, Bismar mengekspresikan keahlian melukis di rumahnya yang luas di Cilandak, Jakarta. Juga dia tidak lupa berenang dan jogging (jalan) pagi setiap hari. ►mti/sh-crs-ar
Isteri Teman Diskusi
Bismar menikahi Yunainen F. Damanik tahun 1957. Mereka bertemu selagi Yunainen menjadi siswi Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) di Jakarta. Padahal karakter mereka bertolak belakang. Bismar pendiam, sedangkan isterinya periang. Tapi di situlah dia menemukan hikmahnya. Ada dinamika yang menarik saat mencari persamaan.Pasangan tersebut dikaruniai 7 putra dan 14 cucu. Setelah pensiun sebagai hakim agung, Bismar tetap bersikukuh untuk terus berkarya. Di samping kegiatan menulis, Bismar juga aktif mengajar. Dia menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan dosen di Universitas Pancasila. Bismar anggota BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Dia juga aktif di ICMI sebagai Asisten Ketua Umum untuk Koordinator Wilayah Sumatera.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istri jangan turut campur dalam urusan dinas, Bismar malah berbuat sebaliknya. Sebab peran istri sebagai pendamping suami mampu memberikan masukan yang berharga buat urusan dinas. Bismar selalu mendiskusikan dengan istrinya kalau hendak mengerjakan sesuatu, termasuk di dalam menjatuhkan putusan pengadilan.
Mengapa demikian? Sifat laki-laki lebih rasional, sedangkan sifat perempuan lebih emosional. Di situlah terciptanya keseimbangan, sehingga keputusan yang diambil bisa lebih bijaksana. “Tapi, bukan berarti saya dikendalikan oleh istri,” kata Bismar.Bismar adalah tipe pria yang sangat setia pada istri dan anak-anaknya, meski pernah menjadi pejabat tinggi. Setiap digoda oleh wanita, Bismar membayangkan wajah istrinya yang sudah mulai keriput, dan rambutnya yang memutih. Pada keriput waja dan pada putih rambut istrinya, Bismar melihat rahmat Ilahi. Mereka pun sukses membina hidup rumah tangga yang langgeng dan bahagia. r mti ►mti/sh-crs-ar
Pendekar Hukum Jalan Lurus
Selama bergelut di dunia hukum, cap hakim kontroversial selalu dialamatkan kepada Bismar, karena selalu tampil berbeda di garda terdepan jalan lurus untuk memperjuangkan tegaknya keadilan. Sikapnya yang tak mau kompromi di dalam menegakkan keadilan acapkali mendapat reaksi keras dari kalangan praktisi hukum. Bismar memegang prinsip: “Keadilan nilainya jauh lebih tinggi daripada hukum. Hukum hanyalah sarana untuk menegakkan keadilan.
Bagi Bismar keadilan hanya bisa ditemukan dalam hati nurani hakim. Kalau seorang hakim memiliki nurani keadilan, maka dia akan mampu melahirkan keputusan yang adil. Bismar memberi contoh; ada seorang ayah, didakwa mencuri, tetapi dia melakukan itu untuk memberi makan anak-anaknya yang menangis kelaparan. “Apakah dia bersalah? Dia memang bersalah karena telah mencuri.” Tetapi kalau dilihat dari motifnya: “demi menghidupi anak-anaknya”, yang haram saja susah diperoleh apalagi yang halal. Kata Bismar, si ayah tersebut bisa dibebaskan dari hukuman. Tetapi kebanyakan hakim tidak melakukannya. Mereka memandang secara apriori, “mencuri adalah perbuatan melawan hukum, tidak peduli apapun alasannya.”
Menurut Bismar masih banyak putusan hakim yang belum melegakan masyarakat. Persoalannya, mereka tidak konsekuen dengan konsep keadilan. Karena itu, Bismar mengingatkan lagi, hukum hanyalah sarana. “Masa sarana kita pakai untuk menegakkan keadilan. Itu tidak bisa,” kata Bismar. Bismar pernah menjatuhkan hukuman yang menggemparkan, ramai diperdebatkan publik. Saat itu (1976), ketika menjabat Ketua PN Jakarta Timur, Bismar menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Albert Togas. Dari situlah mencuat polemik tentang hukuman mati. Kasusnya, Albert Togas, karyawan PT Bogasari yang di PHK, membunuh Nurdin Kotto, staf ahli perusahaan tersebut.
Padahal selama menganggur, Albert ditolong oleh Nurdin. Namun Albert membunuh Nurdin secara keji. Mayatnya dipotong-potong, dagingnya dicincang, dicuci bersih, lantas dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu, potongan mayatnya dibuang ke sebuah kali di Tanjung Priok. Albert membalas air susu dengan air tuba, kebaikan dibalas dengan kejahatan. “Kekejaman itulah yang saya tidak ragu menjatuhkan hukuman mati,” kata Bismar.
Namun Bismar, atas putusannya, menerima serangan bertubi-tubi dari orang-orang yang menentang hukuman mati. Dia dicap tidak Pancasilais kare-na dituding menjatuhkan hukuman yang tidak patut dilakukan oleh seo-rang hakim, merampas nyawa orang. Sedangkan yang berhak melakukan itu hanya Tuhan. Bismar punya alasan sendiri, boleh saja berbeda pendapat. Tetapi, sebagai seorang muslim, “saya katakan, hukuman mati itu sah-sah saja. Sebab, ada ayat membenarkan hukuman mati.”
Juga putusan kontroversi lainnya menyangkut kasus pemerkosaan yang menimpa keluarga Acan di Bekasi. Bismar mengusulkan agar hakim yang mengadili kasus itu menjatuhkan hukuman mati kepada pata pelakunya yang lebih keji dari binatang. Menurut Bismar ketentuan hukum positif yang maksimal menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara bagi terdakwa kasus pemerkosaan terlalu ringan.
Kata Bismar: “Kalau dalihnya tidak Pancasilais, Pancasila yang mana?” Pancasila sejatinya sesuai dengan iman Islam. Berbeda dengan umat Kristiani yang Kitab Perjanjian Baru-nya tidak membolehkan hukuman mati. Tapi dalam Kitab Perjanjian Lama hukuman mati dibolehkan. Jadi, sebetulnya tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Keputusan kontroversial lain, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakan menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15 tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim, itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba.
Pada tahun 1974, Bismar juga membuat putusan yang menghebohkan tentang perkawinan yang tidak berdasarkan hukum perkawinan. Kasusnya menimpa pasangan yang beragama Katolik. Tapi, dilaksanakan secara agama (tidak melalui catatan sipil). Bagi Bismar, perkawinan itu sah. Mengapa? Sebab dia melihat sosok yang meresmikan perkawinan itu membawa nama Tuhan. Seorang pastur. Masa pastur mempermainkan nama Tuhan.
Masalah ini sempat membuat ribut kalangan praktisi hukum. Soalnya dia dinilai telah merusak kepastian hukum. Karena sudah ada ketentuan bahwa setiap perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan undang-undang tidak sah. Namun Bismar merasa bahagia karena sebagai muslim bisa memberikan rasa keadilan kepada orang yang tidak seiman dengannya.Ubah ManusianyaSebenarnya, menurut Bismar, mate-ri dan sistem hukum yang berlaku sekarang tidak perlu diubah. Sudah bagus. Yang perlu diubah adalah manusianya. Dalam peradilan di Indonesia telah dengan tegas disebut-kan bahwa dasar seorang hakim dalam mengambil keputusan: “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Indonesia sudah mempunyai irah-irah (baca: sumpah) yang sesuai dengan sila pertama Pancasila. Baginya, irah-irah harus dihayati dan dipahami. Bukan Cuma di bibir (lips service), kenyataan tidak.Bismar merujuk pada firman Tuhan (dalam Al Quran): “Jangan perjualbelikan ayat-Ku dengan harga yang murah.” Dan, irah-irah atas nama Tuhan sekarang sudah diperjualbelikan. Bismar menangis kalau ada penyimpangan keadilan dengan mengatasnamakan Tuhan.
Bismar prihatin dengan merosotnya wibawa penegak hukum di mata masyarakat saat ini. Kalau mencari bukti-buktinya mudah saja. Contoh-nya, banyak kasus pelanggaran hu-kum yang masuk dark number. Tapi dia merasa risih dengan akronim-akronim yang berkembang di masyara-kat berkaitan dengan jabatan penegak hukum. Misalnya, “Polisi” (baca: main amplop), “Jaksa” (Tukang Injak dan Tukang Paksa), “Hakim” (Hak si Kim, baca : kepentingan orang Cina, atau Hubungi Aku Kalau Ingin Menang). Mestinya ungkapan-ungkapan itu membuat aparat penegak hukum mawas diri. Bismar mengajak para penegak hukum, kalau itu benar, beristighfarlah, jangan diteruskan. ►mti/sh-crs-ad-ar
Nama:Bismar SiregarLahir:Sipirok, Sumatera Utara, 15 September 1928Agama:IslamIsteri:Yunainen F. DamanikAnak:Tujuh orangCucu:11 orang (Juni 2006)Ayah:Aminuddin Raja Baringin SiregarIbu:Siti FatimahPendidikan:-HIS, Sipirok (tidak selesai)-SMP, Sipirok (tidak selesai 1942)-SMA, Bandung (1952)-FH UI, Jakarta (1956)-National College of the State Judiciary, Reno, AS (1973)-American Academy of Judicial Education, Tescaloosa, AS (1973)-Academy of American and International Law, Dallas, AS (1980)Karir:-Jaksa di Kejari Palembang (1957-1959)-Jaksa di Kejari Makassar/Ambon (1959-1961)-Hakim di Pengadilan Negeri Pangkalpinang (1961-1962)-Hakim di Pengadilan Negeri Pontianak (1962-1968)-Panitera Mahkamah Agung RI (1969-1971)-Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur (1971-1980)-Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Bandung (1981-1982)-Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Medan (1982-1984)-Hakim Agung di Mahkamah Agung RI (1984 - 2000)Alamat Rumah:Jalan Cilandak I No 25 A, Jakarta 12430 Telp: 7657416


7.Des Alwi Abubakar
Tokoh Simbol Masyarakat Banda
Di Banda Naira ia bukan saja tokoh, tapi juga ‘pusat komunikasi’ sebagai tempat mengadu, berkeluh kesah, meminta petunjuk untuk memecahkan masalah. Di Jakarta, ia terkenal sebagai pelobi tingkat tinggi dan simbol masyarakat Banda. Lalu, siapa Des Alwi?
“Sebuah kapal putih tampak merapat ke dermaga. Semua mata tertuju pada dua orang tua mengenakan setelan jas putih dan berdasi yang menuruni tangga kapal. Kedua tuan berparas pucat itu membawa delapan koper besar dari kayu dan empat tas besar dari kulit. Dengan celana renang dan rambut yang masih basah saya perhatikan mereka. Yang salah seorang di antaranya memakai kaca mata. Seorang di antara mereka tersenyum kepada saya,” demikian kenangan Des Alwi saat pertama kali bertemu Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir di masa pembuangan mereka di Banda Naira.Saat itu Des Alwi baru berusia 8 tahun dan duduk di kelas dua ELS (Europeesche Lagere School). Namun ia mengaku sudah mengetahui dengan pasti bahwa kedua tuan itu dari Boven Digul, karena wajah mereka pucat. “Setiap orang yang datang dari Digul senantiasa berwajah pucat. Agaknya di sana mereka kekurangan makan dan banyak yang menderita malaria,” ungkapnya. Kedua orang itu lalu bertanya pada Des dengan bahasan Belanda, apakah tahu di mana rumah dokter Tjipto Mangunkusumo? “Tahu, tetapi jauh dari sini. Kalau rumah Mr. Iwa Kusumah Sumantri persis di depan dermaga ini,” jawab Des kecil. Nama dokter Tjipto dan Mr. Iwa memang sangat di kenal di Banda, karena mereka telah cukup lama berdiam di Naira dan Des Alwi adalah teman putra-putri mereka.Belakangan Des baru tahu, kedua ‘tamu jauh’ itu bernama Muhammad Hatta dan Sjahrir, orang tahanan politik Belanda yang dibuang ke Boven Digul. Pertemuan dengan kedua tokoh itulah yang hingga kini tak pernah ia lupakan. Bahkan ia menganggapnya sebagai pertemuan yang kemudian menjadi arah hidupnya hingga menjadi Des Alwi yang sekarang ini. Karena kecerdikan, kepandaian dan ‘kenakalan’nya, kedua tokoh tersebut konon sangat menyukai cucu Said Baadila ini. Hingga kemudian Bung Hatta mengambil Des Alwi sebagai anak angkat. “Saya merasa sebagai orang pertama yang mereka tangani. Dalam kehidupan saya selanjutnya, ketepatan dan ketelitian dalam bekerja yang telah beliau tanamkan merupakan salah satu nilai tambah yang besar dalam karier saya selama ini. Dari Oom Sjahrir, saya mendapat banyak wawasan dan pengertian,” kata Des Alwi. Cucu Raja Mutiara MalukuDes Alwi Abubakar lahir 17 November 1927 di Desa Nusantara, Naira sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Ayahnya bernama Alwi, berasal dari Ternate yang konon masih keturunan Sultan Palembang yang dibuang ke Banda. Sang ibu bernama Halijah Baadilla, anak perempuan dari Said Baadilla, pengusaha mutiara yang pernah terkenal dari Naira. Sang kakek, Said Baadilla terkenal sebagai pebisnis ulung di Banda. Dengan bendera perusahaan Baadilla Brothers, ia mengembangkan bisnis mutiara Banda dan perkebunan Pala yang terkenal dengan Perk Kele Norwegen di Lonthor dan di Pagar Buton, Banda Besar. Mutiara dan Pala itu diekspor ke berbagai negara di Eropa, hingga ia dikenal sebagai eksportir berpengaruh. Berkembangnya perusahaan Baadilla Brothers menjulangkan nama Said Baadilla, hingga Pemerintah Hindia Belanda menjulukinya sebagai Raja Mutiara Maluku. Dengan julukan itu, pada tahun 1896 Said Baadilla mendapat kehormatan menjadi tamu istimewa Ratu Emma, istri Wilhelm III di Belanda. Namun, kebesaran sang kakek hanya kenangan di benak Des Alwi. Sebagai cucu raja mutiara, Des Alwi lahir saat usaha Baadilla sudah hampir ambruk. Masa kebesaran sang kakek sudah mulai memudar, bahkan kondisinya semakin memburuk ketika sang kakek meninggal tahun 1934. Sampai usia 6 tahun Des sama sekali tidak tahu jika sang kakek pernah menjadi orang terkaya di Banda Naira, bahkan di Maluku. Ia mengaku tak sempat menikmati kejayaan sang kakek, walaupun sisa-sisa kejayaan itu masih terlihat. Namun, betapa buruknya kondisi ekonomi keluarga, Des mengaku kehidupan masa kecilnya sangat menyenangkan. Setiap hari ia mengaji, berenang di laut sambil berebut memburu coin yang dilempar orang, mencuri buah dari kebun tetangga dan bermain dengan teman-temannya. “Masa kecil saya demikian indah. Saya bangga lahir di Naira,” ungkap ayah Mira, Tanya dan Ramon Alwi ini. Ahli Lobi Dan Model Komunikasi Kebesaran nama keluarga tidak membuat Des Alwi terlena. Ia tumbuh sebagai sosok pemuda yang begitu mencintai tanah kelahiran dan negaranya. Barangkali karena ‘pengaruh’ pendidikan Hatta dan Sjahrir, di samping sekolahnya di ELS, Des tumbuh menjadi pemuda yang tidak sekedar berani dan penuh percaya diri, tapi juga memiliki ‘kelebihan’ dalam berdiplomasi. Sebagian orang menilai, kepiawaian Des Alwi dalam hal melobi, hingga mendapat julukan pelobi tingkat tinggi, dari petinggi nasional hingga internasional itu salah satunya hasil dari kebiasaannya bergaul dengan tokoh-tokoh tahanan politik yang dibuang ke Banda. Des banyak belajar dari dr. Tjipto Mangunkusumo yang disebutnya sebagai Oom Tjip, Dr. Muhammad Hatta yang dipanggilnya sebagai Oom Kaca Mata, Sjahrir sebagai Oom Rir, Mr. Iwa Kusumah Sumantri dan beberapa anggota Sjarikat Islam Indonesia lainnya.
Maka, dalam perjalanan karier selanjutnya, ia pernah beberapa kali menjadi Atache Press/Kebudayaan KBRI di luar negeri yaitu KBRI Bern, KBRI Austria dan KBRI Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia – Malaysia tahun 1965-1975 ia sebagai Dinas Diplomatik terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Des berhasil menjadi perantara ‘sulit’. Jurus-jurus kepiawaian diplomasinya mendekati almarhum mantan PM Tun Abdul Rahman dan almarhum mantan DPM Tun Abdul Razak berhasil meredakan konfrontasi itu.Sebagai putra daerah ia berperan aktif dalam lobi-lobi nasional dan internasional, untuk berbagai kepentingan Indonesia di dalam maupun luar negeri. Secara lebih spesifik, Des Alwi memiliki jalur lobi kepada tokoh-tokoh nasional di Jakarta. Dalam hal ketokohan Des Alwi ini, maka realitas yang ada bahwa hampir sembilan puluh persen pembangunan fisik dan masyarakat Banda yang membutuhkan peran lobi, semuanya dipengaruhi oleh hasil lobi Des Alwi di tingkat nasional. Dalam hal ini pula maka sebenarnya semua keputusan tentang pembangunan Banda yang berskala besar pada kenyataannya bukan diputuskan di tingkat Maluku atau Maluku Tengah, akan tetapi diputuskan di tingkat Jakarta.
Bahkan kini, dalam perkembangan masyarakat Banda, tokoh Des Alwi menjadi salah satu model komunikasi. Model komunikasi yang memusat pada tokoh Des Alwi ini adalah semua komponen masyarakat yang terlibat langsung dalam usaha dan kegiatan Des Alwi. Termasuk mereka yang pernah mendapat bantuan Des baik fasilitas, dana maupun koneksitas. Melihat ketokohan dan peran Des Alwi yang begitu dominan terhadap pengembangan masyarakat di Banda, terutama pariwisata, maka umumnya masyarakat Banda berpendapat bahwa Banda sangat identik dengan kehendak Des Alwi. Pendapat-pendapat macam ini dan kaitan-kaitan kepentingan masyarakat dengan bidang-bidang yang bersentuhan dengan usaha Des Alwi di Banda inilah yang melahirkan model-model komunikasi memusat kepada tokoh ini. ►e-ti/anna
Nama:Des Alwi AbubakarLahir:Banda Naira, 17 Nopember 1927Agama:Islam Jabatan:Direktur Utama PT. Avisarti Film CorporationIstri:(Alm) Anne Marie Mambu (Lahir Tondano, 21 Maret 1929, Menikah, Jakarta, 8 Mei 1953)Anak: 1. Karma Alwi (Alm)– Laki- laki2. Mira Alwi – Perempuan3. Tanya Alwi – Perempuan4. Ramon Alwi - Laki- laki7. Tempat & Tgl Lahir Anak:1. Karma Alwi (Alm) Bern (Swiss) 17 Juli 19542. Mira Alwi Bern (Swiss) 30 Juni 19563. Tanya Alwi Hong Kong 02 Oktober 19604. Ramon Alwi Kuala Lumpur, Malaysia 27 Juni 1962Pendidikan:1. E.L.S lulus 1953-19412. IVELO (STM) lulus 1942-19453. British Institute of Technology London lulus 1947-1950Pendidikan Pasca Sarjana1. Philips NSF Advance School Hilversum Jan-Juli 1950 Hilversum2. Special Antena Penyiaran Rombek ITB dan PT (Pos, Telegraph dan Telepon) 1951 BandungPekerjaan:1. Penterjemah Siaran Teknik dan Bahasa Asing RRI 1950-19512. Atache Press/Kebudayaan KBRI di Bern 1952-19563. Atache Press/Kebudayaan KBRI Australia 1956-19574. Atache Press/Kebudayaan KBRI Philipina 1957-19585. Operasi Khusus Tim Penyelesaian KonfrontasiIndonesia-Malaysia (Dinas Diplomatik) 1965-19756. Komisaris Bank Danamon 1977-19817. Wakil Ketua PPFI (Pusat Persatuan Film Indonesia) 984-19878. Direktur Utama pt Avisarti Film Corporation 1974-sekarang9. Wakil Ketua Bidang Energi & Pertambangan Kadin 198010. Direktur Utama PT Kaliraya Sari 1981-200011. Ketua Himpunan Masyarakat Banda 1981-198312. Ketua Yayasan Warisan dan Budaya Bunda 1988-sekarang13. Ketua Yayasan 10 Nov’45 1990-sekarang14. Wakil Ketua II Departemen Usaha Sea And Island Resort DPP Gahawisri 1990-sekarangPenghargaan:- Bintang Pejuang 45 -- Bintang Pejuang 50 -- Bintang Mahaputra Pratama 2000Alamat Kantor:PT. Avisarti Film Corporation10. Alamat Kantor dan No Telp : Jl. Narada No 36 Tanah Tinggi Jakarta Pusat. Telp. 4251613 Fax. 4240151Alamat Rumah:Jl Taman Biduri Blok N 1 No 7Permata Hijau, Jakarta Barat Telp. 5482565

8. Emil Salim
Mencari Kearifan Masa Lalu
Ia memiliki kecerdasan dan daya analisa setiap kali mengambil kesimpulan, menyampaikan pendapat dan beragumentasi. Keterbukaan sikap dan keterusterangann menempatkannya menjadi seorang pribadi yang disenangi banyak orang. Ia termasuk salah seorang peletak dasar ekonomi Orde Baru yang dijuliki "Berkeley Mafia" yang dikenal lurus dan bersih.
Menurut mantan guru besar FE-UI ini, keliru besar jika sarjana ekonomi kemudian jadi koruptor. Sarjana ekonomi harus berpikir, bekerja, dan mengabdi dengan landasan hati nurani.Ia mengecap pendidikan dasar di Lahat, sebuah kota kecil di pinggir sungai Lematang, Sumatera Selatan. Ketika itu hutan masih tumbuh lebat di sekeliling kota. Pohon duren tumbuh bebas di pinggir jalan dan dalam hutan. Tiap kali sehabis hujan deras dengan angin kencang, ia bersama teman-teman sering masuk hutan mencari buah duren yang banyak berjatuhan ditimpa angin.Selain itu, guru kelasnya di Sekolah Dasar setiap hari Sabtu suka mengajak murid-murid berjalan-jalan masuk hutan, di kaki bukit Serelo yang tersohor di daerah. Sambil berjalan di hutan, guru menjelaskan berbagai peranan pacet penghisap darah manusia, yang rupanya juga berguna bagi manusia sebagai penunjuk arah matahari karena sifat kepala pacet selalu mencari kehangatan. Dan dengan mengetahui letak arah matahari, sekaligus kita memiliki kompas alami penunjuk jurus Utara-Timur-Barat-Selatan. Guru juga mengajak mereka (murid) belajar "minum madu" dari sejenis bunga sebagai pengganti air bila tersesat. Dan mencari sisa makanan beruk di tanah untuk memperoleh petunjuk jenis buah mana bisa dimakan manusia. Karena apa yang bisa dimakan monyet dapat pula dimakan manusia. Dan sambil bertualang guru bercerita tentang hutan sehingga dalam alam fikiran Emil hutan itu menjadi buku pembuka rahasia alam.Secara selang seling, pada hari-hari Sabtu berikutnya, guru membacakan buku pada jam pelajaran terakhir. Guru pandai membawakan suaranya sehingga pelaku dalam buku terasa hidup. Guru suka membacakan isi buku Karl May menceritakan petualangan Old Shatterhand dengan kawan karibnya Winnetou, kepala Suku Appachen. Tetapi gurunya ini cerdik. Ia mengambil adegan dalam bab yang mengasyikkan dan seru. Pada saat cerita mencapai klimaksnya dan Winnetou tertembak lalu guru berhenti membaca dan mempersilahkan murid membaca sendiri. “Bisalah dibayangkan bahwa kita berebutan mencari buku, tidak saja dalam perpustakaan sekolah tetapi juga di toko-toko buku,” kenang Emil Salim dalam tulisannya yang sengaja dibuat atas permintaan Penjaga Wigwam (15 September 2000).Akibat pengaruh gurulah ia menjadi "kutu buku" membaca semua buku karangan Karl May dan mengenal tokoh-tokoh Old Shatterhand, Winnetou, Kara-ben-Nemsi dan lain-lain. Lalu bersama teman-teman di waktu libur ia menjelajahi hutan di sekitar Bukit Serelo dan sepanjang sungai Lematang untuk berlaku-gaya sebagai Old Shatterhand. Daging semur dari dapur dibungkus untuk dipanggang di hutan meniru gaya para Indian membakar daging. Mereka bikin tanda-tanda sepanjang jalan yang dilalui agar tidak sesat di hutan.Mereka mencoba menghidupi daya khayal cerita bacaan menjadi kenyataan. “Dan hidup terasa begitu tenteram mengasyikkan. Karena benang merah yang ditonjolkan dalam buku-buku Karl May adalah kedamaian, keikhlasan, keadilan, kebenaran dan ketuhanan,” urai Emil.Setelah selesai membaca buku "Kematian Winnetou" ia termenung dan air mata meleleh. Alangkah agungnya pribadi Winnetou, kepala suku Indian Appachen ini.Puluhan tahun kemudian, ketika ia ditugaskan mengembangkan lingkungan hidup di tanah-air, ingatannya pada cerita Karl May bangkit kembali. Hutan tidak lagi dilihat sebagai obyek pengusaha HPH, tetapi sebagai "rumah besar" bagi segala makhluk yang hidup. Maka terbayang di matanya peranan pacet, bunga pemberi madu, monyet dll. Terpampanglah keterkaitan antara hubungan manusia dengan hutan sebagaimana tergambarkan pada besarnya peranan hutan bagi Winnetou dan suku Apachennya. Tapi, katanya, hidup di abad "modern" telah "memakan" hutan alami untuk disubstitusi dengan "hutan buatan manusia." Namun bisakah "hutan buatan manusia" ini masih menumbuhkan keterkaitan akrab antara manusia dengan alam-buatan ini?Akan mungkinkah "kedamaian, keihlasan, keadilan, kebenaran dan ketuhanan" ini ditumbuhkan dalam hutan buatan manusia? Akan mungkinkah tumbuh sosok tubuh seperti Winnetou yang mempersonifikasikan berbagai ciri-ciri kehidupan asri ini?Dalam bergelut dengan tantangan permasalahan ini, ingatannya kembali pada "dunia alamnya" Old Shatterhand, Winnetou dan Kara-ben-Nemsi. Mencari kearifan di masa lalu untuk bekal menanggapi tantangan masa depan.Kebanggaan di Masa Purnabakti Jika ada pejabat negara risi dengan hibah yang dicantumkan dalam daftar kekayaannya, lain halnya dengan Prof Dr Emil Salim. Mantan Meneg KLH di masa pemerintahan rezim Orde Baru itu mengaku terharu dan bangga atas hibah yang diterimanya. "Saya bangga dan mengucapkan terima kasih atas pemberian hibah cincin ini," ujar Emil Salim di hadapan civitas akademika yang sedang merayakan hari jadi ke-51 FE UI di Kampus Universitas Indonesia Depok.Emil merupakan salah satu guru besar FE UI yang memasuki purnabakti. Sebagai wujud tali kasih, FE UI memberikan hibah cincin kepadanya. Selain Emil, guru besar FE UI yang purnabakti lainnya adalah Prof Dr Subroto, Prof Dr Saleh Afiff, Prof Dr Rustam Didong, Prof Dr B.S. Muljana, dan Prof Dr Moh. Arsjad Anwar.Emil termasuk salah satu peletak dasar ekonomi Orde Baru. Dia dikenal lurus dan bersih. Karena itu, saat memberikan pidato perpisahan, ia meminta para sarjana FE UI peduli terhadap nasib rakyat. Dia minta agar para sarjana UI tidak menjadi pekerja otak yang berusaha mendapatkan penghasilan maksimal."Dan, keliru besar jika sarjana ekonomi kemudian jadi koruptor. Keliru besar dan sesat juga jika menjadi bajingan-bajingan seperti itu," katanya. Tak jelas betul siapa yang kena tohok anggota Komnas HAM itu sebagai koruptor bajingan. "Sarjana FE UI harus berpikir, bekerja, dan mengabdi dengan landasan hati nurani," tambahnya. Meski resmi purnabakti, ia tampak masih disegani civitas akademika UI. Karena itu, civitas akademika tampak keberatan atas kepergiannya dari almamater. Lalu, apa kata Emil? "Sudah lama saya mengabdi pada almamater ini. Sekarang, giliran anak-anak muda," kata Emil.Revolusi Berhenti Hari MingguKompas 13 Juli 2000: Andaikan orang Jawa, istilahnya, "...ora nduwe wudel, tak punya pusar. Karena tanpa mengenal istilah lelah, setiap hari dan di segala macam kesempatan, ada saja yang dia lakukan. Malah kalau mengundang rapat, hari libur dan hari Minggu dia trabas seenaknya sendiri," komentar rekannya semasa mahasiswa. Akan tetapi tiba-tiba, mulai suatu waktu, dia tak pernah lagi menyelenggarakan rapat pada hari Minggu. Keanehannya berlanjut, sebab ternyata dia juga tak pernah datang, kalau diundang pada kegiatan Minggu. Tentu saja, kehidupan kampus yang penuh rumor, desas-desus, dan gosip, segera memancing perasaan ingin tahu. Apalagi, yang dipergunjingkan pimpinan mahasiswa, dengan posisi strategis, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. "Akhirnya, tim penyelidik lapor. Bisa dipastikan, dia tak akan pernah mau datang rapat hari Minggu, ... karena, waktu tersebut sedang dia pakai pacaran," kata Wisaksono Noeradi sambil menambahkan "...boleh saja, setiap hari masa itu Bung Karno berteriak, revolusi belum selesai. Tetapi untuk Emil Salim, segala macam kegiatan, bahkan sampai revolusipun, harus berhenti pada hari Minggu, sejak masa pacarannya datang..." Revolusi Berhenti Hari Minggu, demikian judul yang dipakai untuk merangkum kumpulan tulisan para sahabatnya dalam menyambut 70 tahun usia Prof Dr Emil Salim. Hasil kerja keras panitia lima; Koesnadi Hardjasoemantri, Alwi Dahlan, Sabam Siagian, Wisaksono Nuradi, dan MS Kismadi, diterbitkan Penerbit Buku Kompas dan diluncurkan pada Kamis (13/7) malam di Grand Melia Hotel, Jakarta. Tentang pemakaian istilah tersebut, Emil Salim berkata, "Bertolak dari anggapan, kerja harus berhenti pada hari Minggu dan perlu dicurahkan untuk kegiatan non-dinas. Pekerjaan saya selalu menumpuk dan sudah jadi kebiasaan, bekerja 12 jam sehari. Keluarga saya masih muda dan anak-anak berteriak, cukup, biarkan 'revolusi' berhenti hari Minggu. Tak ada teori serius di balik ini, sekadar menarik garis antara tugas kantor dan kewajiban keluarga..." Emil Salim bertemu Roosminnie Roza pada masa perpeloncoan Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) tahun 1956. Dua tahun kemudian mereka menikah dan sekarang, keluarga bahagia tersebut sudah disemarakkan dengan kehadiran dua putra dan tiga cucu.Lahir di Lahat, Sumsel, tanggal 8 Juni 1930, sejak remaja kegiatannya tidak sekadar mencari ilmu. Selain duduk di bangku sekolah, dia mengembangkan talenta alaminya dengan berorganisasi. Ketika perang kemerdekaan memanggil, ial dipilih sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Sumatera Selatan, sekaligus Ketua Tentara Pelajar Palembang (1946-1949). Ketika tahun 1949 terpaksa pindah ke Bogor, karena ditangkap Belanda, dia langsung terpilih sebagai Ketua IPPI Bogor dan anggota Korps Mobilisasi Pelajar Siliwangi. "Kupaksakan nama-nama majalah mahasiswa luar negeri berparade di kepala. Ingatanku tak mau lepas dengan Academia. Tiba-tiba, asosiasi pikiranku melekat pada Forum Academiale, majalah mahasiswa di Belanda. Mengapa tidak pakai nama Forum? Bibir Nahar Tanjung mencucu ke depan, sepasang gigi putih Jusuf Indradewa hanya nampak di kegelapan, Asharsono Munandar mengangguk dengan sifat kebapakan, dan kereta api terus melaju ke Surabaya..." Demikian Emil Salim dengan kalimat plastis menuliskan penemuan nama Forum, majalah mahasiswa UI yang kemudian dia pimpin. Penemuan tersebut tercetus ketika bersama rekannya, sedang menuju ke Surabaya menghadiri Kongres PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) bulan April 1954. Tangkas berbicara sekaligus lancar menulis, kedua bakat tersebut sejak remaja melekat pada dirinya. Kegemarannya berdebat, dan tidak gentar untuk menghadapi siapa pun, semula diharapkan bisa membawa angin segar dalam sidang kabinet, ketika tahun 1971 ia ditunjuk menjadi Menteri Negara Penyempurnaan & Pembersihan Aparatur Pemerintahan merangkap Wakil Ketua Bappenas. "Andaikan era Pak Harto lebih demokratis dan lebih pluralistik dalam kebudayaan, Emil sebagai orang Minang dengan dukungan nama besar Salim, seharusnya menjadi aset serta kontribusi untuk kultur politik. Tetapi lingkungan pada masa itu, bahkan juga oleh Widjojo, diupayakan agar Emil menyerap kultur Jawa, terutama dalam hubungannya dengan Pak Harto," kata Prof Dr M Sadli. Harapan tinggal harapan. Emil yang muda dan agak pemberang malahan mulai terjinakkan. Keberaniannya berbeda pendapat dengan Pak Harto, misalnya ketika mereka membicarakan Bulog, lama-kelamaan luluh, karena suasana sidang kabinet tidak pernah mendukung. Begitu seterusnya, sampai akhirnya sejak tahun 1993, sesudah 22 tahun menjadi menteri di beragam bidang, Emil dilepaskan. Sebagaimana pernah diramalkan oleh ibu kandungnya ketika Emil Salim pertama kali dijadikan menteri, "Tapi baiko ndak paralu lai di si Soeharto, dicampakannyo Emil. Ka mangga? (Tapi bila nanti tak perlu lagi oleh si Soeharto, dicampakkannya Emil. Mau apa?") Pembangunan selalu memerlukan kader. Dekan FE UI Prof Sumitro Djojohadikusumo memimpikan para kadernya menambah ilmu di bekas sekolahnya, London School of Economics and Political Science di Inggris. Sayangnya, British Council tidak punya dana, yang ada justru tawaran dari AS. Maka mereka dikirim ke Departemen of Economics Universitas California di Berkeley AS. Sambil belajar, kelompok tersebut rutin berdiskusi membicarakan pemerintahan Bung Karno yang meskipun secara politis populer dan namanya menjulang di dunia internasional namun perekonomiannya morat-marit. Begitu rezim Sukarno jatuh, para pendekar ekonomi ini beramai-ramai pulang, mencoba resep baru untuk memacu pembangunan. Mereka inilah, di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro, kemudian menerima julukan, "Berkeley Mafia." Prof Widjojo Nitisastro mengakui, "Di antara murid Prof Sumitro, Emil Salim yang paling setara dengan gurunya, dalam hal kecerdasan, daya analisa, mengambil kesimpulan, penyampaian pendapat, daya beragumentasi, keterbukaan sikap, dan keterusterangan." Emil Salim melukiskan, "Antara tahun 1962-1964, pemikiran pembangunan yang perlu dikaji adalah menemukan model yang tidak kapitalis seperti AS atau komunis macam Rusia, namun cenderung ke mixed system dan khusus Indonesia dengan nuansa Islam. Saya tertarik gagasan Nasser menerapkan Sosialisme Islam." Hasil studinya ditulis sebagai disertasi dengan kasus Mesir dan analisa, "Institusional arrangement bisa berbeda sesuai sistem politik negara, tetapi bingkai teori pembangunan dasarnya universal." Pertengahan tahun 1998, angin musim semi perubahan seolah-olah bertiup kencang. Emil Salim dengan tegar mengajukan diri sebagai calon Wakil Presiden. Apa latar belakangnya? "Saya, dan semua rekan tahu, kemungkinan lolos sangat kecil, karena memang tidak bakal dimungkinkan dalam konstelasi politik masa itu. Namun yang ingin kami ungkapkan adalah hadirnya voice of dissent, ada calon lain di luar yang sudah ditunjuk dari atas." (Kompas, Julius Pour) Good GovernanceDalam proses memahami apa dan bagaimana proses penyelenggaraan negara yang baik dan korporasi yang bertanggung jawab, penghormatan atas nilai-nilai hak asasi manusia merupakan bagian yang paling integral. Nilai-nilai tersebut bisa disebut dengan pilar yang sangat penting bagi pembangunan masyarakat dan warga. Dalam pandangan ini nilai-nilai hak asasi manusia merupakan sokoguru bagi pengembangan masyarakat dan warga itu sendiri. Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial di dalam pengertian good governance yang substansi dan pelaksanaannya menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat yang utama: efisiensi dan pemerataan. Dalam pelaksanaannya, good governance mengandalkan rule of Law terutama yang mencakup bidang ekonomi dan politik, penentuan kebijakan yang transparan, pelaksanaan kebijakan yang accountable, birokrasi yang berkualitas dan juga masyarakat yang capable.Elemen-elemen accountability (political dan publik), adanya kerangka hukum dalam pembangunan yang menjelaskan prediktibilitas abdi negara terhadap sektor swasta, informasi mengenai kebijakan pemerintah yang terjangkau oleh publik dan transparan berisikan kebijakan terbuka untuk pengawasan yang sangat berkaitan dengan convenant on Civl and Political Rights dan Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights.
Good Governance pun mempunyai inti yaitu mempromosikan demokrasi, aturan hukum dan juga hak asasi manusia berdasarkan pemikiran bahwa pasa dan pemerintah hanya dapat berfungsi efisien jika dikontrol oleh pemberi suara.Inti lainnya adalah mengakui bahwa pasar memliki keterbatasan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Yang terakhir adalah mengkonstruksikan kembali hubungan tiga sektor yaitu negara, pasar dan masyarakat negara.Dalam pasar yang berperan penting adalah pengusaha. Karena untuk memungkinkannya Good Governance berkembang adalah pentingnya corporate governance yang bertanggung jawab. Dengan Corporate governance bisa mengartikan proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan bisnis dan akuntabilitas korporat dengan tujuan akhir mewujudkan nilai-nilai jangka panjang pemegang saham sambil memperhitungkan kepentingan stakeholders lain.Unsur-unsur yang terkandung didalam good governance itu sendiri meliputi beberapa hal. Pertama, Kewajaran (Fairness) dalam hubungan dengan semua pemegang saham dan kewajaran dalam bertransaks dengan rekanan. Kedua,Transparansi mengenai keuangan dan operasi perusahaan terhadap pemegang saham dan pemerintah. Ketiga, Akuntabilitas dalam hubungan pertanggungjawaban dewan komisaris dan dewan direksi pada perusahaan. Keempat, Pertanggungjawaban perusahaan dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan.Yang dimaksud dengan tanggung jawab bisnis terhadap perijinan dan peraturan terhadap karyawan, tanggung jawab sosial, tanggungjawab terhadap lingkungan, terhadap masyarakat sekitar serta tanggung jawab etika dan moral. Secara ideal tanggung jawab perusahaan harus menjadi bagian dari filosofi perusahaan.Unsur-unsur tanggungjawab perusahaan ini terjalin erat dengan isi hakekat dari hak asasi manusia. Dengan demikian akan tergambar dengan jelas alur penyatuan hakekat hak asasi manusia sebagai pilar masyarakat warga yang perlu diwujudkan oleh good governance dan tanggung jawab corporate governance. Dalam hal ini perlu diperjelas dan kajian yang lebih mendalam ke unsur-unsur pokok dalam porses penegakkan dan pengembangan hak asasi manusia sebagai pilar masyarakat warga yang diwujudkan oleh good governance dan tanggung jawab corporate governence.Dalam sejarah perkembangan Indonesia memberikan kesempatan untuk belajar dari masa lalu dan mencegah kembali terulangnya kesalahan-kesalahan dalam mengembangkan lebih lanjut hal-hal yang sudah benar. Dalam masa lalu masyarakat bangsa kita telah menderita pelanggaran hak asasi manusia (Human Rights Abuse). Untuk mencapai good governance itu sendiri sangatlah penting bagi rakyat Indonesia untuk memahami apa, bagaimana, mengapa terjadi pelanggaran HAM untuk mengidentifikasi ciri-ciri pokok sebagai diagnosa bagi terapi selanjutnya. Setelah mengetahu sebabnya, langkah selanjutnya adalah bagaimana menegakkan hukum dan keadilan terhadap pelaku dan korban, baik militer dan/atau sipil baik secara sendiri-sendiri (terpisah) maupun secara bersama-sama. Bagaimanakah mengganti kerugian korban dan menyembuhkan derita, azab dan sengsara korban. Bagaimanakah perlakuan atas pelaku, bilakah diperlukan amnesti, serta mungkinkah dibeberkan kebenaran untuk menegakkan rekonsiliasi.Rumusan dari proses diatas bisa mencakup masing-masing good governance, corporate governance atau kelompok warga saja, bahkan mencakup ketiganya. Salah satu contoh adalah gagasan yang sedang dibahas dengan Indonesian Detherlands Association (Suatu organisasi masyarakat warga), adalah penyusunan kriteria dan indikator HAM yang perlu dilaksanakan perusahaan untuk dinilai secara berkala oleh KOMNAS HAM dan diberi Performance Rating dan penghargaan "HAM AWARD" pada hari HAM.

Pada kesempatan ini termuat langkah-langkah yang kongkrit dari kelompk masyarakat warga dalam menekan dan merangsang corporate governance dan melaksanakan ketentuan Good Governance di bidang HAM. Langkah-langkah ini pun sekaligus mengajak pengusaha dan masyarakat langsung berperan serta dalam mengembangkan HAM.Hindari Penyalahgunaan KekuasaanKompas Rabu, 17 Februari 1999: Untuk menghindari praktik korupsi di masa depan, para pejabat hendaknya tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan diyakini sebagai salah satu pemicu terjadinya korupsi. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih di masa depan, dalam Pemilihan Umum 1999 rakyat hendaknya tidak memilih orang yang dahulu dan saat ini patut diduga telah melakukan praktik korupsi. Ini dikemukakan pengamat ekonomi-politik Emil Salim dalam acara bedah buku Pengembangan Sistem Integritas Nasional dengan penyunting Jeremy Pope sebagai Buku Panduan Transparency International (TI) yang diselenggarakan Pact Indonesia di Jakarta, Senin (15/2) lalu. Korupsi, menurut Emil Salim, akibat adanya keterkaitan dan kondisi saling bergantung yang diciptakan masyarakat dan pejabat di suatu negara. Dikenal adanya praktik smiling money yang dapat diartikan, pejabat akan melontarkan senyum manakala jasa yang diberikannya mendapatkan imbalan sejumlah uang, padahal itu tidak perlu dilakukan. Keadaan ini akibat adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan seorang pejabat. Karena jabatan yang melekat padanya itu, menurut Emil, memungkinkan ia memainkan perannya untuk meminta sejumlah uang dari pekerjaaannya dalam melayani masyarakat. Kuat cenderung korup Untuk memberantas praktik korupsi, Emil Salim menyatakan perlu melalui berbagai tahapan yang melibatkan peran rakyat secara maksimal. Tetapi untuk sampai ke sana perlu diingatkan akan adanya peranan negara dan kekuatan rakyat. "Negara yang kuat sementara rakyatnya lemah jelas ada kecenderungan maraknya praktik korupsi. Untuk itu perlu ada keseimbangan peran atau check and balance antara negara dan rakyatnya," tegas Emil. Untuk itu, kata Emil Salim, peran rakyat di masa depan harus terus diberdayakan. Demikian juga peran media massa sebagai salah satu alat kontrol agar peran negara jangan menjadi terlalu kuat. Setiap peran dan kiprah negara dan pejabatnya harus terus dikontrol. "Salah satu caranya adalah dengan memberdayakan rakyat dalam Pemilu Juni 1999 mendatang. Rakyat harus diberitahu haknya untuk tidak memilih wakilnya atau adanya pribadi yang patut diduga melakukan korupsi sebagai wakilnya kelak di parlemen. Ini penting untuk setidaknya mencegah berkelanjutannya praktik korupsi," papar Emil Salim. Empat Skenario Indonesia 2010Kompas, 5 Agustus 2000: Empat skenario mengenai masa depan Indonesia tahun 2010 yang diharapkan menjadi wacana diskusi dalam Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000, Jumat (4/8), disampaikan oleh Kelompok Kerja Prakarsa Bersama Indonesia Masa Depan (KKPBIMD) kepada Ketua MPR Amien Rais. Keempat skenario ini mengungkapkan kemungkinan terburuk dan terbaik yang bisa dihadapi Indonesia berdasarkan proses politik yang berjalan. Skenario ini disusun berdasarkan proses dialog di 14 kota yang melibatkan sekitar 500 partisipan selama 15 bulan. Emil Salim sebagai anggota KKPBIMD menyebutkan, skenario "biar lambat asal selamat" adalah skenario yang terbaik bagi masa depan Indonesia 2010. Skenario keempat ini memberi gambaran masa depan Indonesia yang dicita-citakan, karena bukan hanya tatanan masyarakat sipilnya yang secara politis kuat, tetapi juga kehidupan ekonomi. Dalam skenario ini, demokrasi dikedepankan dan terjadi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. "Pilihan skenario ini akan mengarah pada demokratisasi, tidak adanya konglomerasi, sampai sistem pemilu distrik dan pemilihan Presiden secara langsung," kata Emil Salim, usai menyampaikan Empat Skenario Indonesia 2010 kepada Ketua MPR. Sedangkan tiga skenario lainnya, adalah "berada di ujung tanduk", "masuk ke rahang buaya", dan "mengayuh biduk retak". Keempat skenario itu merupakan skenario terburuk bagi masa depan Indonesia. Menurut anggota KKPBIMD lainnya, MM Billah, skenario "berada di ujung tanduk" adalah penggambaran kondisi Indonesia yang menunjukkan negara menjadi korban. Pemerataan dan pertumbuhan ekonomi tidak berjalan, sedangkan masyarakat sipilnya lemah. Hal ini dikhawatirkan akan mengundang kembalinya Orde Baru dan militerisasi. Sedangkan skenario "masuk ke rahang buaya" merupakan skenario yang memperlihatkan terjadinya proses politik yang melemahkan kekuatan reformasi. Dalam skenario ini, kekuatan reformasi terpinggirkan, sementara kekuatan lama kembali bangkit. Sementara skenario "mengayuh biduk retak", menggambarkan kembalinya kekuasaan Orde Baru, yang memperlihatkan ekonomi kembali dikuasai konglomerat. Dalam skenario ini, meskipun ada sedikit suasana demokratis, tidak terjadi pemerataan ekonomi. Pemerintah hanya menekankan pada pertumbuhan dan mengabaikan pemerataan ekonomi. Disambut baik Menurut Emil Salim, yang juga Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Ketua MPR menyambut baik empat skenario tersebut dan ingin menyebarkannya kepada anggota MPR untuk dibahas dalam Sidang Tahunan MPR. Ditegaskan, tujuan dari penyampaian skenario itu adalah menjadikan empat skenario tersebut sebagai wacana publik. "Keprihatinan yang menonjol adalah keprihatinan apakah pemerintah bersifat otoriter atau demokratis, di bidang ekonomi apakah bersifat pemerataan, terpusat, atau konglomerasi. Maka, kombinasi dari keduanya itu dibahas dalam empat skenario," ujarnya. "Sekarang ini diharapkan kenegarawanan dari para peserta Sidang MPR Tahunan untuk dapat mengutamakan bangsa daripada kepentingan kelompok. Kalau membahas, perhatikan dampaknya pada totalitas keberlanjutan negara ini. Saya harap yang merugikan kepentingan negara harus ditolak," ujar Emil Salim. "Masa depan Indonesia dalam 10 tahun mendatang bisa saja terjadi hal-hal yang buruk sampai terbaik. Nah, semuanya itu harus diperjuangkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Mana yang mau dipilih?" tambahnya. Fenomena Emil SalimMajalah D&R, 28 Februari 1998: Komentar di sekitar pencalonan Emil Salim sebagai kandidat wakil presiden adalah: ini negara demokrasi, tiap orang boleh dicalonkan, asalkan lewat jalur konstitusional. Dan, sejauh ini, jalur konstitusional itulah yang ditempuh kelompok Gerakan Masyarakat Madani, yang mencalonkan mantan Menteri Lingkungan Hidup itu (lihat Sidang Akbar yang Tinggal Ketok Palu). Apa maknanya? Kata kunci komentar itu ada pada kata konstitusional, bukannya demokrasi. Sebab. untuk demokrasi, sejauh ini sudah tercerminkan. Tak ada yang mencoba secara "inkonstitusional" menjegal pencalonan Emil, terang-terangan maupun diam-diam, misalnya mengintimidasi. Malah fraksi di DPR pun, Fraksi Utusan Daerah, dengan serius menerima wakil kelompok Madani yang mengusulkan Emil. Secara konstitusional, agar nama Emil Salim masuk dalam sidang umum (SU) MPR, nama ini harus diusulkan tertulis oleh fraksi kepada pimpinan Majelis. Disinilah masalahnya. Ketentuan apa yang menyebabkan fraksi di DPR itu mengusulkan atau tidak mengusulkan nama calon yang masuk ke fraksi. Tak Menjamin Demokrasi Aturan itu tidak ada, karena itu semacam sikap sewenang-wenang terbuka di sini. Maksudnya, traksi mengusulkan nama calon atau tidak kepada pimpinan Majelis, sepenuhnya tergantung fraksi itu sendiri. Maka, komentar di atas -- karena ini negara demokrasi, siap pun boleh dicalonkan, asalkan konstitusional -- menjadi sesuatu yang kontradiktif. Ternyata yang "konstitusional" itu tak menjamin berjalannya "demokrasi". Bila nama Emil Salim tak masuk dalam perdebatan (kalau memang ada perdebatan) SU MPR, fraksi yang menerima usulan nama itu tak bisa dimintai peetanggungjawaban. Tak ada pasal dalam aturan mana pun sekitar pencalonan wakil presiden bisa menjeratnya. Dari sisi inilah lalu bisa dibilang bahwa peluang Emil masuk nominasi calon wakil presiden sangat kecil. Bila nanti ternyata Emil terpilih, agaknya bukan karena demokras, tapi karena presiden terpilih menghendaki Emil menjadi wakilnya. Jadi, peluang itu tetap ada, juga karena ketentuan yang tidak jelas. Yang tidak jelas itu umpamanya, bila pencalonan presiden harus masuk ke pimpinan Majelis paling lambat 24 jam sebelum SU MPR dibuka, untuk calon wakil presiden tidak ada satu ayat pun yang mengatur kapan paling lambat pencalonan bisa masuk. Artinya, bila dikehendaki, sesudah presiden terpilih dilantik, bisa saja masih ada nama yang diusulkan oleh fraksi untuk calon wakil presiden -- dan itu sah-sah saja. Sebaliknya, betapa pun kuatnya dukungan dari masyarakat, umpama saja tanda tangan untuk Emil Salim datang dari seluruh penjuru Tanah Air, bisa saja nama ini masuk ke pimpinan Majelis pun tidak. Fraksi-fraksi bisa bilang bahwa pencalonan sudah ditutup, dan calon tunggal sudah disebutkan. Ini mencerminkan salah satu dari sejumlah kontradiksi di tubuh parlemen kita. Misalnya, ihwal orsospol kita yang tiga itu. Golkar, tampaknya ingin konsekuen, mencalonkan Ketua Umum dan Koordinator Pelaksana Dewan Pembina Golkar --bukan sebagai presiden dan wakilnya, tapi keduanya sebagai calon wakil presiden. Meski kemudian ketua umumnya pun legawa, memberikan jalan licin untuk yang satu.Untuk Apa Pemilu? Mcstinya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pun mencalonkan orangnya. Juga Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Yang terjadi, dua partai ini ternyata mencalonkan orang yang sudah dicalonkan Golkar: B.J. Habihie sebagai wakil presiden. Juga calon presidennya, dari Golkar. Bila memang pilihannya begitu, untuk apa pemilu dengan korban-korban segala macam itu? Apa bukan PPP dan PDI adalah bentuk lain dari Golkar? Konon, pemilu bukan ajang pencalonan nama-nama, tapi arena untuk adu program pembangunan. Tapi, yang ramai disiarkan di media cetak dan elektronik adalah nama-nama yang mewakili orsospol. Dan, pernahkah jelas apa program pembangunan PDI? PPP? Walhasil, bisa disimpulkan dalam satu kalimat. Yakni, pemilihan presiden dan wakil presiden beserta proses yang menyertainya (ada tiga orsospol, kampanye pemilu, pemilu beserta undang-undangnya) belum mewadahi aspirasi masyarakat luas. Segalanya cenderung mengukuhkan status quo, persisnya mengegolkan apa maunya penguasa. Emil Salim boleh didukung sekian puluh ribu tanda tangan, tapi perkara ia menjadi wakil presiden atau tidak menunggu pilihan presiden terpilih, nanti. Mungkin presiden itu (siapa lagi bila bukan Presiden Soeharto) memang sudah punya pilihan (misalnya Habibie). Cuma, tetap ada peluang, sekecil apa pun, bila ia menghendaki Emil Salim (atau siapa pun yang tidak bakal membuka peluang bahwa ini tidak demokratis), jadilah! *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber

Nama:Prof Dr Emil SalimLahir:Lahat, Sumsel, 8 Juni 1930Agama:IslamIsteri:Roosminnie Roza (12 Januari 1934)Anak:1. Amelia Farina (1 Februari 1962)2. Roosdinal Ramdhani (17 Desember 1966)Pendidikan:- Frobel School, Banjarmasin (1935-1936) - Europesche Lagere School, Banjarmasin (1936-1940), Lahat (1940-1942) - Dai Ichi Syo-Gakko, Palembang (1942-1944) - Sekolah Menengah Umum Pertama, Palembang (1945-1948) - Sekolah Menengah Atas I, Bogor (1948-1951) - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1951-1958) - University of California, Berkeley, AS, Department of Economics (1959-1964), (Master of Arts, 1962; Ph.D, 1964 dengan disertasi berjudul Institutional Structure and Economic Development)Karir:- Asisten Dosen FE UI - Dosen, dan selanjutnya guru besar FE UI - Tim Penasihat Ekonomi Presiden (1966) - Anggota DPR GR (1967-1969) - Anggota Tim Penasihat Menteri Tenaga Kerja (1967-1968) - Ketua dan Anggota Tim Teknis Badan Stabilitas Ekonomi (1967-1969) - Dosen Seskoad dan Seskoal (1971-1973) - Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Kepala Bappenas (1971-1973) - Menteri Perhubungan (Kabinet Pembangunan II 1973-1978) - Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan III 1978-1983) - Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan IV-V 1983-1993) - Guru Besar FEUI (1983) - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN-1999-2000)- Anggota Dewan Penasihat Presiden (2007-2009)Kegiatan Lain:- Anggota Korps Mobilisasi Pelajar Siliwangi (1950) - Ketua IPPI Bogor (1949) - Ketua Tentara Pelajar Palembang (1946-1949)- Ketua Perhimpunan Peningkatan Kebudayaan Masyarakat (1983)- Anggota Komisi Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komisi Brundtland) mewakili Asia bersama Saburo Okita dari Jepang (1984-1987)- Deputy Chairperson pada Dewan Penasehat Tinggi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan (1992) - Anggota Kehormatan Persatuan Insinyur Indonesia (1992)- Co-chair pada Komisi Dunia untuk Hutan dan Pembangunan Berkelanjutan (1994) - Pendiri dan Ketua Yayasan Pembangunan Berkelanjutan - Program Kepemimpinan Mengenai Lingkungan dan Pembangunan - LEAD (1994)- Pendiri dan Ketua Umum Yayasan Keragaman Hayati - Kehati (1994)- Ketua Tim Screening UNDP (1999) - Anggota Komnas HAMOrganisasi:- Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Sumatera Selatan (1946-1949)- Ketua Tentara Pelajar Palembang (1946-1949)- Ketua IPPI Bogor dan anggota Korps Mobilisasi Pelajar Siliwangi (1949) - PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) 1954Karya/Buku:- Collection of Writings 1969-1971, Secretariat of Bappenas, 1971 - Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia (1976) - Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, Idayu, 1974 - Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, 1981 - Kembali ke Jalan Lurus (kumpulan esai 1966-1999) Penghargaan:- Bintang Mahaputera Adipradana (1973)- Pria Berbusana Terbaik (1980)- Golden ARK (Comandeur) of Netherlands (1982)- J Paul Getty Wildlife Concervation Prize (1990)Doctor Honoris Causa dari University Kebangsaan Malaysia (1996)- Zayed International Prize for the Environment dari Uni Emirat Arab (2006)- Blue Planet Prize ke-15 dari Yayasan Asahi Glass, Jepang (2006)Alamat Rumah:Jalan Bona Indah C II / 1, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12440 Telepon (021) 7503115




9. Frans Seda
Dedikasi dan Integritas untuk Bangsa
Franciscus Xaverius Seda salah seorang putera terbaik bangsa kelahiran Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926. Mantan Menteri Perkebunan (1963-1964), Menteri Keuangan (1966-1968) dan Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973) ini seorang politisi, tokoh gereja, pengamat politik dan pengusaha Indonesia yang berdedikasi dan intergritas tinggi kepada kemajuan dan kesatuan Indonesia.
Popularitas vs Kepribadian Politik
Dalam pengalaman aktivitas politik, saya mengenal dua tipe politisi, yakni para politisi yang dalam mengambil sikap terhadap suatu masalah politik mendahulukan popularitas politik, dan mereka yang mengutamakan kepribadian politiknya. Ini tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki kepribadian politik tidak juga memperhatikan masalah popularitas, dan sebaliknya bahwa seseorang yang mengejar popularitas tidak memiliki kepribadian politik. Namun masalahnya adalah masalah mendahulukan, masalah prioritas dan preferensi dalam mengambil sikap politik. Dalam hal kepribadian politik, seperti dalam setiap masalah kepribadian, maka watak, karakter dan pembawaan (bukan terutama kemampuan) seseorang politikuslah yang menentukan sikap politiknya, sementara dalam hal popularitas politik, yang diandalkan adalah persepsi orang terhadap si politikus. Seseorang yang berkepribadian politik mantap dan prinsipil. Sementara seseorang yang mengejar popularitas, senantiasa menyesuaikan diri pada sikon politik, mencla-mencle dan bersikap oportunistis. Seseorang yang berkepribadian politik akan menonjolkan kepribadiannya, watak, karakter dalam sikapnya, sementara seseorang yang mengandalkan popularitas, karena mendahulukan/mementingkan penilaian dan apa yang dikatakan orang lain, masyarakat, dan opini publik, maka yang diutamakan adalah penampilan, bukan watak ataupun karakter. Dan sering dalam penampilannya itu, si politikus itu justru menyembunyikan watak/karakternya yang sebenarnya! Ia berpenampilan bersahaja, rendah hati dan mau mendengar semua, tetapi nanti, jika ia telah menguasai sikon dan kekuasaan politik, barulah watak dan karakter yang sebenarnya muncul! Pada awal pengalaman politik, saya pun menghadapi masalah popularitas vs kepribadian politik ini, namun bukanlah masalah popularitas politik vs kepribadian politik dalam sikap dari seseorang politikus, melainkan dalam sikap dari sebuah partai politik yakni Partai Katolik. Para anggota dan pimpinan di pusat dan di daerah dari partai itu menggerutu terhadap kepemimpinan Pa Kasimo, karena Partai Katolik yang senantiasa duduk dalam hampir semua kabinet sejak zaman revolusi, tidak pernah memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka. Timbul suatu upaya untuk mengganti Pa Kasimo sebagai Ketua Umum. Melihat perkembangan ini, maka Sdr VB (Centis) da Costa SH yang mewakili dan memperoleh mandat penuh dari Flores, sebagai daerah Katolik yang paling utama di negara ini, untuk berusaha agar Pa Kasimo diganti, berbalik arah dan justru membela Pa Kasimo. SdrVB (Centis) da Costa SH dibantu oleh dua pemuda orator dan "tukang pukul" politik yakni Sdr Kanis Pari (tadinya Kanis Parera menjadi Kanis Pari) dan Sdr Drs John Jelahut Tagung. Berkatalah Pa Kasimo dengan pertanyaan beliau yang menjadi klasik dan yang membuat Sdr da Costa berbalik menjadi pembela beliau. "Partai Katolik ini mau jadi partai yang bagaimana, sebuah beginsel partij/partai yang mempunyai prinsip-prinsip (beginselen) dan mendahulukan kepentingan umum dalam berbakti pada nusa dan bangsa atau sebuah partai oportunis, yang mencari rejeki untuk para pimpinan dan para anggotanya". Dengan demikian Pa Kasimo adalah contoh dari seorang politikus yang berkepribadian dalam politik. Dan beliau dipertahankan sebagai ketua umum partai, dalam Kongres Partai Katolik di Yogyakarta itu, termasuk/terutama oleh FloresPada masa Orba pun ada pengalaman saya dengan para politisi yang lebih mendahulukan popularitas dan backing daripada prinsip dan moral politik. Orba pada awalnya mengingini demokrasi dan demokratisasi (salah satu dari 3 programnya, yakni pembubaran PKI, pembangunan secara berencana, dan demokrasi). Dan pada awalnya penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara demokratis.Presiden masuk DPR dan meminta pesetujuan bagi APBN dalam suatu musyawarah untuk mufakat yang dilaksanakan benar-benar secara bebas, dengan mengakui penuh "Hak Budget" DPR, dan semua Keputusan Presiden/Kepres, sebelum dikeluarkan, dibicarakan dulu materinya dengan DPR. Namun ternyata sikap Demokratis itu hanyalah kedok belaka untuk memantapkan kekuasaan. Sekali kekuasaan diperoleh muka topeng Demokrasi dibuang dan Bangsa dan Negara digiring ke arah Otokrasi/Otoriterisme dan Diktatur. WaspadalahJadi waspadalah terhadap penampilan, sosok dari seorang politikus! Dengan kepercayaan Saudara, secara emosional Saudara bisa beli kucing dalam karung! Dan seperti pernah saya utarakan dalam sebuah tulisan, tidak semua yang ada dalam karung yang "meong-meong" itu benar-benar kucing, tetapi semua kucing tanpa karung, walaupun tidak "meong-meong" itu memang benar-benar kucing!Dalam pemilu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, apakah amanat rakyat yang dapat dibaca dari hasilnya? Dalam hal Pemilu DPR, yang masih dikuasai oleh partai-partai politik, rakyat memberi amanat bahwa kebebasan politik dan demokrasi politik tidak harus berarti semaunya mendirikan partai politik, karena tidak puas, dan demokrasi tidak identik dengan sebanyak mungkin partai politik. Diadakan pembatasan terhadap parpol yang ikut pemilu DPR, hanya 24 parpol yang dapat ikut serta. Dari 24 parpol itu, hanya 17 parpol yang memperoleh kursi, dan dari mereka itu ada 7 parpol yang memperoleh kursi dibawah 5. DPR jadinya sangat terfragmentasi yang memperlemah daya kontrolnya terhadap Pemerintah. Sedangkan bangsa dan negara justru memerlukan sebuah DPR yang kuat sebagai mitra dari pemerintah/presiden yang pasti kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Dalam 5 tahun mendatang ini, kita akan menghadapi banyak tantangan dari dalam dan luar negeri yang akan menentukan nasib kita sebagai bangsa, sebagai negara, dalam pergolakan politik, ekonomi dan sosial di dalam dan di luar negeri. Juga dalam menghadapi tantangan-tantangan ini diperlukan pemerintah yang kuat, DPR yang kuat dan mampu menjadi mitra yang kuat, serta bangsa dan negara yang kuat pula. Namun di atas kekuatan-kekuatan ini semua, diperlukan persatuan bangsa yang kuat. Dan melihat kondisi keterpurukan dari Bangsa dewasa ini, maka diperlukan bukan bantuan/ pinjaman dari luar negeri, namun suatu booth strap operation dari kita semua bersama-sama.Tantangan-Tantangan Di dalam Negeri. Tantangan dalam hidup berbangsa adalah tantangan terhadap eksistensi atau keberadaan kita sebagai satu bangsa yang utuh bersatu! Sedangkan dalam hidup bernegara, adalah tantangan terhadap eksistensi atau keberadaan dari Negara Kebangsaan dan Negara Kesatuan RI dan terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara. Kemudian tantangan dalam hidup bermasyarakat adalah terhadap eksistensi atau keberadaan kita sebagai bangsa yang plural, yang beradab dan berkepribadian, antidiskriminasi dalam bentuk apa pun, dan yang mendahulukan kepentingan bersama, diikat oleh suatu solidaritas sosial dan nasional yang tangguh!Dalam hal kesejahteraan, tantangan yang dihadapi dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan, yang mengakibatkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan secara luas di kota dan di daerah-daerah, terlebih di kalangan kaum muda (antara 15 - 30 tahun). Ditambah lagi bahwa, di samping tantangan-tantangan terhadap eksistensi atau keberadaan kita sebagai bangsa, negara dan masyarakat itu, kita pun digerogoti oleh korupsi dan KKN, yang jika tidak diberantas akan merintangi dan menyulitkan kita dalam proses/transisi menjadi negara yang demokratisi, negara hukum dan negara sejahtera yang sejati.Ada pula masalah politik yang timbul dalam post pemilu ini, yakni berfungsinya suatu pemerintahan yang kuat, pilihan langsung dari dan oleh rakyat, namun suatu DPR yang lemah, karena terfragmentasi dan penyelenggaraan pemerintahan tanpa ada GBHN. Keadaan yang timpang ini perlu diatasi dengan memperkuat persatuan bangsa dan negara. (Bukan dengan koalisi-koalisi politik yang didasarkan pada power sharing)Kemudian tantangan dari luar negeri berupa arus globalisasi dan liberalisasi yang makin mengganas dan meluas. Dominasi dari kepemimpinan Amerika Serikat dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan keamanan internasional, dan obsesinya terhadap terorisme internasional. Perkembangan ekonomi dunia yang tidak menentu disebabkan antara lain oleh masalah apresiasi dolar AS yang tidak menentu dan kegoncangan harga minyak dunia. Perkembangan dari Free Trade Areas, menggantikan Multilateral Agreements. Perkembangan dari ekonomi dan pembangunan Cina Daratan dan India, yang dapat merupakan pasar-pasar bagi suplai kekayaan alam (SDA) kita, tetapai di lain pihak merupakan konkurensi kita dalam pengembangan industri manufaktur, yang kita perlukan untuk mengatasi masalah pengangguran.Dalam menghadapi tantangan-tantangan dari dalam dan luar negeri ini, akan diperlukan tindakan-tindakan yang tidak popular demi kepentingan bangsa dan negara, yang berkelanjutan (bukan yang sesaat). Dan seorang politikus yang mengutamakan popularitas politik, tidak dapat diandalkan dalam hal ini. Karena itulah diperlukan presiden/pimpinan bangsa dan negara yang berkepribadian politik, yang tangguh, mantap dan prinsipil, bukan yang mengejar popularitas politik belaka.Perkembangan perhitungan hasil Pilpres 5 Juli yang baru lalu menunjukkan suatu tren bahwa yang akan maju ke putaran kedua bulan September yang akan datang adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan pasangan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi. Tentunya harapan kita adalah para pemimpin inilah yang nantinya membawa bangsa ini dalam menghadapi berbagai tantangan-tantangan yang ada, untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan memperhatikan nasib rakyat. Track record para calon, terutama dari sosok kepribadian politik tentu juga menjadi pertimbangan. ►Sumber: Suara Pembaruan, 19 Juli 2004, Penulis adalah pengamat politik, mantan menteri keuangan.

Tidak ada komentar:

Kok Rapid Test Bayar?

Kok Rapid Test Bayar? Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni   soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kit...